x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Api Sumpah Pemuda ~ Imam Nahrawi

Perdebatan soal bahasa pemersatu ini menunjukkan betapa para pemuda pendiri bangsa ini memiliki kelapangan hati untuk menanggalkan identitas sosialnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Imam Nahrawi

Menteri Pemuda dan Olahraga

Dua tahun sebelum Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, sudah muncul perdebatan di kalangan para penggagas Sumpah Pemuda. Perdebatan terjadi dalam hal bahasa pemersatu yang akan digunakan oleh Indonesia jika nanti merdeka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perdebatan soal bahasa dimulai ketika Kongres Pemuda I, 30 April 1926. Dalam kongres ini, bahasa yang digunakan selama kongres adalah bahasa Belanda. Bahasa Belanda pada saat itu menjadi bahasa nasional pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikan Belanda. Mayoritas peserta kongres adalah pemuda terdidik yang mengenyam pendidikan Belanda.

Semangat nasionalisme yang tinggi di kalangan peserta kongres mendorong mereka untuk memikirkan bahasa persatuan selain bahasa Belanda. Muhammad Yamin, wakil dari Jong Sumatranen Bond, menyampaikan bahwa hanya ada dua bahasa yang layak untuk diajukan sebagai bahasa pemersatu, yaitu bahasa Jawa dan Melayu.

Namun, menurut keyakinan Yamin, bahasa Melayu lebih terjamin akan bisa berkembang dibanding bahasa Jawa. Tidak diketahui secara pasti apa yang melandasi keyakinan Yamin itu. Mungkin karena ada pengaruh subyektivitasnya sebagai orang Melayu. Namun bisa juga ada alasan obyektif bahwa bahasa Melayu saat itu lebih populer dibanding bahasa Jawa.

Mayoritas surat kabar pergerakan pada era 1920-an menggunakan bahasa Melayu. Karya-karya sastra, seperti roman, puisi, dan hikayat, pada era itu mayoritas menggunakan bahasa Melayu. Ada beberapa surat kabar dan karya sastra yang menggunakan bahasa Jawa, tapi jumlahnya terbatas. Bahkan Babad Tanah Jawa-yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo-ditulis dalam bahasa Melayu, bukan Jawa.

Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya kongres memutuskan bahasa persatuan yang digunakan adalah bahasa Melayu. Keputusan ini diamini oleh Djamaludin, sekretaris panitia, dan semua peserta kongres.

Namun keputusan itu kemudian dianulir karena ketua kongres, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, keberatan. Menurut Tabrani, jika memang Indonesia sudah disepakati sebagai identitas tunggal kebangsaan, bahasa pemersatu juga harus merujuk pada identitas tunggal tersebut, bukan pada kesukuan. Lelaki kelahiran Pamekasan, Madura, ini mengusulkan bahasa pemersatunya disebut bahasa Indonesia, meskipun unsur-unsur di dalamnya dominan bahasa Melayu.

Yamin dan peserta kongres dapat menerima dan memahami usul tersebut. Keputusan soal bahasa pemersatu tersebut ditunda dan akan dibahas lagi di Kongres Pemuda II pada 1928.

Di Kongres Pemuda II inilah disepakati rumusan bahasa pemersatu adalah bahasa Indonesia, selaras dengan identitas nusa dan bangsa yang lebih dulu dilekatkan dengan kata Indonesia. Jadilah rumusan Sumpah Pemuda menjadi "satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia".

Perdebatan soal bahasa pemersatu ini menunjukkan betapa para pemuda pendiri bangsa ini memiliki kelapangan hati untuk menanggalkan identitas sosialnya demi persatuan Indonesia. Muhammad Yamin legawa tidak memaksakan kehendak dengan bahasa Melayu. Yamin dan kawan-kawannya dari Jong Sumatranen Bond bahkan merelakan dengan ikhlas bahasa Melayu diadopsi menjadi bahasa persatuan, dihilangkan label Melayunya, diganti Indonesia, kemudian dimiliki bersama oleh seluruh elemen bangsa.

Panitia dan peserta kongres ini adalah para pemuda yang berasal dari tempat yang jauh. Yamin datang dari Sawah Lunto, Sumatera Barat. Johannes Leimena datang dari Ambon, Maluku. Ada R. Katjasungkana dari Madura dan ada Lefrand Senduk dari Sulawesi. Bahasa, adat, dan budaya mereka berbeda. Begitu juga dengan 70 peserta kongres lainnya. Sebagian peserta kongres mungkin sudah pernah bertemu dan berkawan karib, tapi sebagian yang lain saya duga baru dipertemukan di arena tersebut.

Kerelaan para pemuda Indonesia menanggalkan identitas suku, agama, ras, dan golongannya itulah yang patut menjadi teladan kita semua. Diperlukan sebuah keberanian yang luar biasa untuk melampaui sekat-sekat sosiologis yang sudah telanjur terpatri dari lahir dan terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari. Diperlukan keluasan hati untuk mengesampingkan syak wasangka, praduga, dan kecurigaan yang mengarah pada perpecahan. Itulah yang kami sebut dengan "Berani Bersatu" dan menjadi tema utama peringatan Sumpah Pemuda ke-89 yang kita rayakan sekarang.

Presiden pertama, Sukarno, pernah menyampaikan: "Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, Saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, satu bangsa, dan satu Tanah Air. Tapi ini bukan tujuan akhir."

Pernyataan itu adalah tamparan keras buat kita. Mestinya kita hari ini sudah tidak lagi meributkan soal keindonesiaan dan alasan kita bernegara. Seharusnya kita sudah melesat jauh memikirkan hal-hal lain yang lebih substantif dan progresif untuk tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial. Kebersamaan kita hanya berarti jika sudah diwujudkan dalam kebersamaan program-program pembangunan.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu