x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aimuna dan Sobori

Novel yang menggambarkan kekejaman hongi - penghancuran perkebunan cengkeh rakyat di Maluku

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Aimuna dan Sobori

Penulis: Hanna Rambe

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tebal: 496

ISBN: 978-979-461-854-7

 

Selama ribuan tahun rahasia itu aman, karena belum ditemukannya perahu yang dapat mengarungi samodra (hal. 68).

 

Cengkeh telah menjadi komoditas utama perdagangan dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan cengkeh telah ditemukan di tepi Sungai Efrat di Suriah pada tahun 1721 sebelum masehi. Padahal cengkeh sampai dengan abd 15 hanya diketahui tumbuh di lima pulau kecil di kepulauan yang sekarang kita sebut Maluku. Kelima pulau kecil itu adalah Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan. Selama ribuan tahun, asal cengkeh tersembunyi dari banyak pihak. Hanya pelayar-pelayar tradisional yang membawa cengkeh keluar dari Maluku dan menjualnya di Jawa atau di bandar-bandar laut lain di barat Maluku. Barulah saat Bangsa Eropa menemukan teknologi kapal yang lebih canggih pada abat 16, orang-orang Eropa ini sampai ke pulau-pulau asal cengkeh. Dan...kedatangan orang Eropa itu membawa petaka bagi masyarakat yang dulu damai dan menikmati hasil putik bunga yang wangi dan berkhasiat itu.

Sebelum orang-orang Eropa menemukan sendiri pulau-pulau kecil di Maluku ini, cengkeh diperdagangkan oleh orang Hadramaut, orang Jawa dari Tuban dan orang Cina. Entah bagaimana mereka mendapatkan cengkeh dan pala dari wilayah Maluku. Mereka sangat merahasiakan bagaimana mereka mendapatkan calon putik bunga nan ajaib tersebut.

Persaingan orang Eropa untuk menguasai wilayah penghasil cengkeh itu akhirnya dimenangkan oleh bangsa Belanda. Upaya Belanda untuk memonopoli perdagangan cengkeh dunia mengakibatkan derita bagi masyarakat lokal. Teror horor melanda rakyat pulau-pulau penghasil cengkeh tersebut. Bukan hanya pohon cengkeh rakyat yang dibabat, tetapi nyawa rakyat yang tak mau patuh kepada peraturan pertanaman cengkeh harus dipertaruhkan. Program hongi, yaitu penghancuran perkebunan cengkeh rakyat diterapkan oleh Belanda untuk mengurangi suplai cengkeh dunia. Sementara Belanda memelihara kebun cengkehnya sendiri dan mengontrol jumlah produksi. Dengan demikian Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari monopoli yang kejam ini.

Hongi adalah pelayaran Sultan untuk memungut pajak kepada desa-desa yang menjual cengkeh atau pala. Namun Hongi mendapat arti lain saat VOC datang ke wilayah Maluku. Hongi menjadi pelayaran penghancuran. Bukan hanya penghancuran tanaman cengkeh rakyat, tetapi juga pembunuhan warga desa yang mencoba mempertahankan haknya atas tanaman cengkeh. Belanda membayar para Sultan dan penguasa lainnya supaya hak pengelolaan niaga cengkeh dan pala diserahkan kepadanya. Para penguasa lokal ini menikmati kekayaan yang diberikan oleh penjajah, sementara rakyat menderita karenanya.

Kekejaman hongi ini digambarkan dengan sangat dramatis oleh Hanna Rambe. Orang-orang frustasi ini menjadi kalap. Hanna Rambe menggambarkan betapa frustasinya rakyat yang kehilangan segalanya. Orang kalap ini menyerang membabibuta dengan senjata sabit. Ia tidak menghiraukan bahwa yang dihadapinya adalah bedil (hal. 72).

Hongi menyebabkan tercerai-berainya rakyat sehingga mereka tidak bisa lagi melaksanakan adat budayanya. Upacara-upacara, hubungan antar komunitas menjadi rusak karena mereka tidak lagi hidup sebagai satu kesatuan budaya (hal. 85).

Hanna Rambe menggunakan dua alur cerita, yaitu cerita keluarga Kakek Gamati dan kisah Lucas de Vries sang Residen Tutua. Dua kisah ini dibangun bersinambung untuk menggambarkan penderitaan rakyat dan pandangan orang Olan yang melakukan apa saja untuk melakukan monopoli perdagangan cengkeh.

Hanna Rambe memulai kisahnya dengan pembunuhan sadis masyarakat desa Tupamarangi, Tupawaikora dan Tupawalili. Penghuni tiga desa ini adalah pelarian dari Pulau Manipa. Mereka menanam cengkeh di pulau lain dan memperdagangkannya dengan para pelaut Tuban. Namun posisi kebun mereka diketahui oleh Pani-pani dan kemudian dihancurkan. Penduduk desa dibunuh dengan sadir. Hanya Sobori dan Aimuna yang lolos. Keduanya adalah cucu dari kakek Gamati.

Kakek Gamati berupaya untuk menyelamatkan Sobori dan Aimuna. Kakek Gamati ingin membangun desa baru yang bisa dipakai oleh Sobori dan Aimuna untuk meneruskan keturunannya. Kisah perjuangan Kakek Gamati, Sobori dan Aimuna dirangkai sedemikian rupa sebagai sarana mengungkap kekejakam Olan dan Pani-pani.

Hanna Rambe juga menggunakan kisah Lucas de Vries, seorang keturuan Inggris – Latin yang menjadi Residen di Tutua. Lucas de Vries tidak suka dengan pendekatan Olan dalam menguasai perdagangan cengkeh. Ia memiliki simpati kepada rakyat Maluku. Namun simpati saja tidak cukup. Sebab di Maluku juga ada pejabat yang rakus, seperti Martinus de Bruinj, si Gubernur Embong. Selain kejam, de Bruinj juga kerup (hal. 158).

Novel ini dibumbui oleh percintaan antara Sobori dan Aimuna dan de Vries dengan Rosamunda – si gadis keturunan Postugis - Maluku yang adalah musuh Belanda. Bumbu cerita roman ini tidak menonjol dalam novel sepanjang 480 halaman.

Rambe mengakhiri novelnya dengan eskalasi kisah. Hongi yang dipersiapkan gagal karena ada gempa bumi. Gempa bumi ini bahkan membunuh beberapa orang Olan dan membuat kaki de Vries pincang. Eskalasi digambarkan oleh Rambe dengan tertangkapnya Aimuna yang hamil besar. Aimuna ditahan di komplek residen Tutua. Dengan berpura-pura gila, Aimuna akhirnya bisa diselamatkan oleh Sobori. De Vries memutuskan untuk menikah dengan Rosamunda dan berketetapan untuk pulang ke Eropa. Ia berkeinginan untuk menetap di Portugis supaya tidak terkena larangan menikah dengan gadis pujaannya yang tidak memiliki darah Olan.

Sangat menarik mencermati akhir kisah di novel ini. Kegagalan hongi, kemenangan di pihak Gamati dan pulangnya de Vries bersama Rosamunda menunjukkan keberpihakan Hanna Rambe terhadap keteguhan rakyat yang mempertahankan hak-haknya. Rambe seakan mau mengatakan bahwa keserakahan ekonomi tidak akan mendapatkan keberhasilan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB