x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keangkuhan Rohani ~ Joko Yuhono

Kekerasan beraromakan agama adalah sejarah yang terus berulang. Yang berganti hanya tokoh dan cerita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Joko Yuhono

Kepala Kejaksaan Negeri Ketapang Kalbar

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Teroris kembali beraksi. Rentetan bom diledakan. Berbagai serangan dilancarkan. Dari tempat ibadah hingga markas polisi. Korban kembali berjatuhan. Tua, muda dan anak-anak. Nyawa menjadi sia-sia dan tak berharga. Bumi menjadi berdarah-darah. Kemarahan dan hujatan menjadi hidangan. Kedukaan tak dapat disembunyikan, ketika anak-anak tak berdosa dilibatkan. Lagi-lagi jubah agama dijadikan landasan aksi. Peristiwa ini menyisakan pertanyaan. Mengapa orang yang beragama begitu besar hasratnya membunuh yang lainnya? Dan, fenomena apa yang sedang terjadi ?

Sejarah Berulang

       Kekerasan demi kekerasan terjadi belakangan ini. Korban yang jatuh tak terelakan. Namun, kita tak tahu dimana ujungnya. Kita hanya tahu ketika dentuman kekerasan meledak. Kita hanya merasakan keterkejutan ketika jiwa terguncang. Kita tersadar ketika kekerasan membajak simbol-simbol agama. Sanbil termenung bertanya dalam hati, kapan kekerasan akan berakhir ?

       Kekerasan beraromakan agama adalah sejarah yang terus berulang. Yang berganti hanya tokoh dan cerita. Yang tersisa hanya goresan luka. Sebut saja pendudukan Kota Yerikho. Atas nama Herem - Sang Tuhan - pasukan Bani Israel yang dipimpin Yoshua membasmi habis penduduk Yerikho. Sejarah berulang kembali. Ketika Kaum Yahudi melaksanakan gerakan "Segera Menuju Titik Akhir". Yang dalam bahasa Ibrani disebut  Dehikat Hakats. Artinya, penempatan kembali Yahudi di Palestina. Gerakan ini merupakan bagian dari keyakinan Kaum Yahudi untuk kembali ke Tanah Yang Dijanjikan. Gerakan ini menghasilkan sebuah tragedi yang dinamakan Tragedi Nakba. Dalam tragedi ini terjadi kekerasan yang mengenaskan yang dilakukan pasukan Israel terhadap rakyat Palestina

        Di India para ekstremis Hindu yang tergabung dalam kelompok Shiv Sena membumihanguskan sebuah kampung muslim. Dengan alasan menyelamatkan ajaran Hindu. Di Rohingnya sekelompok bhiksu yang didukung tentara meluluhlantakan pemukiman muslim. Di Baghdad dan Suriah pasukan ISIS membunuh orang-orang yang tak berdosa untuk menegakkan Islam. Di Milwaukee AS, seorang muslimah dihadang oleh seorang pria. Ia mendorong wanita itu dan memaksa untuk menbuka jilbabnya. Kemudian, wajah wanita itu dipukuli hingga berlumuran darah. Di Kota Srebnica pasukan Serbia secara sistematik membantai warga Bosnia Herzegovina yang mayoritas muslim.

      Dewasa ini aksi kekerasan mengalami perkembangan yang menyedihkan. Yakni, melibatkan kaum muda dan anak-anak dalam aksinya. Adalah Mousa Oukabir, pemuda berusia 18 tahun. Ia adalah pelaku teror di Barcelona. Salman Abedi adalah bomber peristiwa Manchester yang  berusia 22 tahun. Indonesia juga turut melahirkan bomber muda. Antara lain, Hafit Saiful Rosul, anggota ISIS berusia 13 tahun yang tewas di Suriah. Selanjutnya, Gusti Adam (15), Ridho (16) dan Ahmad Dani (18), adalah bomber pada peristiwa Gereja Oikumene Samarinda. Terakhir,  adalah bomber Surabaya yang masih satu ikatan keluarga yaitu Famela Rizqita (9), Fadhila Sari (12), Firman Halim (16), dan Yusuf Fadhil (18).

 

L’ Arroganza Dello Spirito

        Adalah Umberto Eco - seorang novelis- yang menyebut fenomena ini sebagai l’arroganza dello spirito ( keangkuhan rohani ). Pandangannya diungkapkan melalui Simonini. Tokoh dalam novelnya berjudul il cimitero de Praga ( Pekuburan di Praha ). Ia berkata : "Orang tak pernah begitu keji, sepenuh hati dan antusias, seperti ketika ia bertindak berdasarkan keyakinan agama. Karena agama bukan candu yang dihisap sembari berbaring hingga lemas, melainkan kokain yang merangsang orang berangkat buat membunuh".

        Fenomena keangkuhan rohani merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan  agama. Mengutip pendapat Imam Besar Al Azhar Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, agama semestinya menjadi sumber moral untuk menuntun politik demi memperjuangkan kebaikan umum dan kesejahteraan bersama. Namun kenyataannya, meminjam ungkapan Hanna Arendt, seorang filsuf politik, bahwa  kita tergoda mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideologi dan menodai usaha yang telah kita perjuangkan melawan totalitarianisme dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme musuh besar kebebasan.

      Orang yang mengalami keangkuhan rohani, menjadikan agama sebagai sebuahi ideologi. Di balik jubah agama,  niliai-nilai agama yang luhur itu dijadikan landasan ideologi tersebut. Namun, terhadap nilai-nilai tersebut dilakukan framing atau pemaknaan sesuai kehendak mereka, bukan tujuan agama sebenarnya. Di tangan mereka nilai-nilai luhur tersebut menjadi kontradiktif. Nilai-nilai itu yang akhirnya menjadi justifikasi oleh mereka untuk melakukan tindakan  kebencian,  kekerasan, hingga pembunuhan.

        Ada tiga hal penyebab munculnya fenomena ini. Pertama, alienasi. Adalah perasaan keterasingan yang lahir karena merasa dimarginalkan oleh lingkungannya. Kondisi sekitarnya dianggap menyudutkan posisinya dan menafikan eksistensinya. Ketika keadaan ini sudah dianggap sebagai ancaman, maka kekerasan merupakan opsi untuk mendapatkan pengakuan eksistensinya. Pertimbangannya adalah adanya keterbatasan potensi yang dimiliki. Selain itu, dampak kekerasan yang bersifat masif dianggap dapat meraih pengakuan kembali eksistensinya. Kemunculan NII di Riau yang sudah tertidur lama merupakan contoh dari kondisi ini. Serangan kelompok NII terhadap Mapolda Riau ingin mengisyaratkan bahwa eksistensi NII masih ada.

             Kedua, arogansi. Adalah sikap yang lahir karena adanya perasaan bahwa apa yang diyakininya adalah yang paling benar, yang lainnya salah. Keyakinan dalam beragama seperti ini diungkapkan dengan sebuah kata : Ecclesium Nulla Sallus. Artinya, tiada keyakinan yang lain yang benar, kecuali keyakinannya sendiri. Sikap yang demikian ini tidak menyisakan ruang bagi kebenaran lainnya. Kebenaran dirinya adalah kebenaran absolut. Kebenaran yang lainnya bukanlah sebuah kebenaran. Menegakan kebenaran, dengan cara apapun merupakan jalan menuju nirwana. Kekerasan adalah salah satu opsi untuk menegakan kebenaran tersebut. Kematiannya dianggap sebagai jalan untuk menggapai surgawi. Pelaku bom Surabaya merupakan representasi dari sikap arogansi ini.  

       Ketiga, reduksionisme. Menurut Amartya Sen - peraih nobel ekonomi berkebangsaan India - reduksionisme ada dua bentuk. Pertama, pengabaian identitas. Suatu perilaku yang menampik atau menihilkan sama sekali pengaruh rasa berbagi identitas apapun dengan orang lain, menihilkan apa yang kita beri nilai penting dengan cara kita bertingkah laku. Kedua, afiliasi tunggal. Mengandaikan bahwa setiap orang demi tujuan praktis, terkait hanya dengan satu kolektivitas saja, tak lebih dan tak kurang. Paham ini ingin menegaskan keberadaan identitas tunggal. Satu-satunya identitas yang boleh ada hanyalah identitasnya sendiri. Identitas lainnya tidak boleh ada. Keberadaan identitas lainnya harus dieliminir. Ketika paham ini mentranformasi dalam bentuk kelompok, maka hanya keberadaan kelompok itu sendiri yang boleh eksis. Eksistensi kelompok lainnya harus dinihilkan. Atau, direduksi untuk menjadi kelompoknya. Opsi kekerasan merupakan suatu cara untuk menjaga keberadaan identitas atau kelompok tunggal. Keberadaan ISIS merefleksikan paham ini. Kelompok ISIS tidak mentolerir kelompok lainnya. Tidak peduli islam ataupun tidak, jika tidak sepaham, maka kelompok tersebut harus dihilangkan dengan cara kekerasan.

         Keangkuhan rohani dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Secara internal, jika perbedaan terjadi pada kelompok yang satu keyakinan. Sedangkan eksternal, jika perbedaan tersebut terjadi pada kelompok yang berbeda keyakinan. Implikasi dari keangkuhan rohani dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan diwujudkan dalam sikap yang anti dengan yang lain, kecuali dirinya atau kelompoknya. Sehingga interaksi secara intens hanya terjalin sesama kelompoknya. Secara tindakan, kebencian dan permusuhan itu mewujud dalam bentuk ujaran kebencian, hujatan, hingga fitnah. Dalam skala yang lebih tinggi, mengejawantah dalam bentuk kekerasan. Dari yang mengakibatkan luka hingga kematian.

 

Agama Cinta

       Fenomena keangkuhan rohani ibarat memasuki lorong gelap. Kegelapan itu akan tetap gelap, jika tidak disinari cahaya. Karenanya, dibutuhkan cahaya untuk meneranginya. Seperti ungkapan seorang Marthin Luther King Jr. " Gelap tak kan mengusir gelap, hanya cahaya yang bisa melakukannya. Kebencian tak kan bisa mengusir kebencian. Hanya cinta kasih yang dapat melakukannya ".

        Seberkas cahaya akan menyinari ketika menjadikan agama sebagai prosa cinta, bukan sebagai senjata. Dalam konteks ini, cinta menjadi landasan dalam kehidupan keberagamaan.  Agama bukan lagi sebagai senjata yang melahirkan kekerasan dan kematian. Agama merupakan taman indah yang ditumbuhi bunga-bunga cinta, kasih sayang, keikhlasan dan bunga-bunga kebajikan lainnya. Keindahan taman ini alan mendatangkan kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian bagi sang penziarah. Harum wangi taman ini mengundang sang penziarah untuk datang dan datang lagi.

           Cinta adalah mata air kehidupan keberagamaan. Dari mata air itu akan mengalir rasa persaudaraan dan perdamaian. Cinta akan menumbuhkan rasa penerimaan dan pemaafan. Apapun agamanya cinta adalah landasannya. Karena itu, tidaklah salah, jika Ibnu Arabi dalam puisinya berjudul "Tarjuman Al Asywak" ( Penafsir Hasrat ) menyebut agamanya sebagai agama cinta. "Agamaku adalah agama cinta. Kemanapun aku berpaling, itulah agamaku, imanku".

     Membumikan agama cinta dibutuhkan sikap yang moderat dalam kehidupan keberagamaan. Dengan menanamkan sikap moderat dalam kehidupan keberagamaan berarti menjaga cinta itu sendiri. Kemoderatan  dilandasi oleh tujuh nilai yang luhur yang telah dideklarasikan menjadi Pesan Bogor. Pertama, tawassut. Berada pada posisi jalur tengah yang lurus. Kedua, i’tidal. Selalu adil dan proporsional dalam berperilaku serta bertanggung jawab. Ketiga, tasamuh. Bersedia mengakui dan menghormati adanya perbedaan segala aspek kehidupan.

           Keempat, syura. Keputusan-keputusan umat bersandar pada konsultasi dan penyelesaian masalah melalui musyawarah dan mufakat. Kelima, islah. Umat diharapkan terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama.Keenam, qudwah. Sikap yang melahirkan inisiatif yang mulia dan memimpin untuk kesejateraan seluruh umat manusia. Ketujuh, muwatonah. Sikap mengakui keberadaan negara bangsa dan menghormati konsep kewarganegaraan

       Dengan menanamkan agama cinta yang dibalut dengan sikap  moderat dalam kehidupan keberagamaan dapat mengeliminir atau mereduksi sebab-sebab terjadinya fenomena keangkuhan rohani. Cinta akan meluruhkan rasa alienasi, arogansi dan reduksionisme. Dalam cinta akan tumbuh rasa saling kasih sayang, saling menghormati dan saling membutuhkan. Karena, Tuhan menciptakan cinta untuk engkau, aku dan diriNya.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler