x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merawat Tradisi Keislaman, Kebangsaan, dan Keindonesiaan

Selama hampir dari satu abad, NU dan Muhammadiyah sukses membuka ruang terbuka pemberdayaan masyarakat, melalui nilai-nilai tradisi-keagamaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat telah mewarisi beragam tradisi yang erat kaitannya dengan keberagamaan, kebangsaan, dan keindonesiaan. Kelahiran dua ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyah, paling tidak, mewakili sekian banyak segmentasi masyarakat muslim untuk bersama-sama merawat dan menjaga kultur keagamaan yang berdampak luas pada semangat kebangsaan dan keindonesiaan. Muhammadiyah memiliki seperangkat tradisi yang ditawarkan dalam kerangka islamisasi pendidikan, memodernisasinya tanpa harus mencerabut akar tradisi yang telah dulu hidup di tengah-tengah umat. Tak berbeda dengan NU, yang mempertahankan tradisi keislaman masa lalu, tanpa harus alergi terhadap pergeseran dan perubahan zaman.

Selama hampir dari satu abad, NU dan Muhammadiyah sukses membuka ruang terbuka pemberdayaan masyarakat, melalui nilai-nilai tradisi-keagamaan yang ditanamkannya. Ruang terbuka ini jelas tumbuh subur, bahkan pohon-pohon tradisi telah menguratakar dalam benak masyarakat dan tetap terpelihara secara baik. Sulit dibayangkan, bagaimana seperangkat tradisi ini tetap terjaga dengan baik—tanpa campur tangan NU dan Muhammadiyah—mungkin saja antara keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan tak lebih dari sekadar penggalan cerita. Bahkan ditengah gejolak sosial-keagamaan belakangan ini, NU dan Muhammadiyah tetap menjamin bahwa tradisi keagamaan yang telah kuat terbangun, tak mudah digeser ataupun dirusak oleh hal apapun.

Memang harus diakui, terdapat upaya-upaya terstruktur untuk menumbangkan tradisi keagamaan yang sejauh ini dirawat dan dibangun bersama. Tradisi-tradisi yang baik justru terusik pada awalnya, meski kini merambah pada aspek politik. Ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memanfaatkan semangat agama demi kepentingan-kepentingan politik atau mengaburkan nilai-nilai tradisi yang sudah lebih dulu ada dengan seperangkat “nilai baru” yang gencar digaungkan. Nilai baru tersebut ternyata tak hanya berupaya mendongkel nilai-nilai lama yang selama ini telah hidup ditengah umat, namun perlahan tapi pasti menggerus nilai-nilai bersama kebangsaan dan keindonesiaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

NU sebagai ormas Islam terbesar yang nampak paling gencar mendapatkan serangan, karena ormas ini dikenal sangat dekat dengan kekuasaan. Awalnya, tradisi-tradisi keislaman yang dibangun NU tampak mulus, tanpa gesekan sedikitpun dengan tradisi masyarakat, namun belakangan, malah seringkali dipertanyakan. Munculnya gerakan “TBC” (takhayul, bid’ah, dan churafat) kian massif dan terstruktur, bahkan gelombang ini menyapu bersih berbagai tradisi keislaman lokal pada tataran basis muslim perkotaan. Gerakan ini cukup berhasil mengubah cara pandang warisan keislaman tradisional, melalui pemahaman nilai-nilai baru yang kontra-tradisi.

Muhammadiyah sebagai “rival” NU, juga disasar agar lebih banyak mengekspor nilai-nilai dari “luar” dan menanggalkan nilai-nilai kulturalnya sendiri. Gerakan-gerakan ini secara massif menciptakan ruang-ruang pendidikan yang lepas dari nilai-nilai tradisi kebangsaan dan keindonesiaan, dibuat seolah-olah murni dari sisi keagamaan, padahal sedang berupaya menggembosi keberadaan Muhammadiyah yang sukses sekian lama menggabungkan nilai tradisi keislaman dan “kebaratan” sekaligus, tanpa ada pertentangan dengan model pendidikan manapun. Pendidikan modern ala Muhammadiyah mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak—baik secara langsung maupun tidak—dan “dipaksa” untuk menggantinya dengan “nilai baru” keagamaan yang memberangus tradisi dan nilai-nilai lokal yang telah dirawat selama ini.  

Menurut hemat saya, gerakan-gerakan itu mulai muncul ke ruang publik setelah mendapat “legitimasi” dari sebagian masyarakat dengan mengangkat tema kepolitikan dalam skala lebih besar. Dalam banyak hal, gerakan ini memang sukses mendapatkan simpati masyarakat melalui pemanfaatan simbol-simbol dan semangat keagamaan dan berhasil menjauhkan mereka dari tradisi dan nilai-nilai keislaman yang selama ini hidup harmonis dalam tradisi NU-Muhammadiyah. Untuk lebih memperkuat legitimasinya, gerakan ini memang telah masuk kedalam struktur-struktur politik-kekuasaan, baik di parpol, ormas keagamaan, atau kelompok-kelompok sosial penekan (pressure group) yang belakangan semakin mudah teridentifikasi.

Kasus pembakaran bendera di Garut, tampak menjadi pintu masuk bagi gerakan anti-tradisi ini, memanfaatkan berbagai kelompok pendukungnya untuk lebih mempertajam nilai-nilai kepolitikan yang mereka usung, membuat seolah-olah oknum pembakar bendera adalah penista agama yang dilindungi oleh ormas tertentu. Narasi keagamaan yang kian mengental diubah menjadi jargon-jargon politik, ternyata cukup ampuh menggerakan wacana pergantian kekuasaan. Bukan tidak mungkin, bahwa momen kontestasi politik nasional benar-benar dimanfaatkan sebagi ajang “politisasi agama” yang terus-menerus diwacanakan bahkan dipertentangkan secara langsung dengan tradisi keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan yang sejauh ini dirawat oleh dua ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyah.

Mungkin tak ada salahnya, mengutip ungkapan salah satu tokoh muslim kenamaan, Ibnu Rusyd (1126-1198) ketika melihat fenomena kebatilan—dalam konteks upaya merusak tradisi dan nilai-nilai dalam masyarakat—yang sedemikian mudah diikuti, kemudian dimanfaatkan dalam ruang-ruang publik kekuasaan. Ia menulis, “idza aradta an tatahakkama fi jaahilin fa ‘alaika ‘an taghlafa kullu baathilin bi ghalaafi diini” (jika engkau ingin menguasai orang-orang bodoh, maka bungkuslah sesuatu yang bathil dengan kemasan agama). Saya kira, ada benarnya ungkapan Ibnu Rusyd dengan melihat fenomena gejolak sosial-politik belakangan ini, dimana agama seringkali dimanfaatkan untuk menutupi “kebathilan” yang sejauh ini diskenariokan gerakan-gerakan tertentu untuk membongkar, menumbangkan, dan memberangus nilai-nilai tradisi keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan.

Merawat tradisi tentu lebih sulit dan bahkan jauh lebih beresiko ketika harus menjadi penjaganya. NU dan Muhammadiyah, saya kira, sedang berjibaku “menghadang” dan “melawan” gerakan-gerakan antri-tradisi yang kini justru berubah menjadi gerakan politik. NU bahkan tampak lebih “keras” dalam melakukan perlawanan, sehingga seolah-olah ormas ini dipersepsikan sebagai kelompok yang “bertentangan” dengan Islam sehingga muncul aksi-aksi politik yang mewacanakan pembubabaran salah satu organisasi sayapnya. Perlu diingat, kedua ormas ini telah lama menjadi pioneer bagi tradisi keagamaan, sosial-politik, yang selama ini selalu akomodatif terhadap kekuasaan. Mereka telah merawat dan menjaga tradisi keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan secara harmonis. Lalu, jika ada gerakan-gerakan tertentu yang mencoba mengganggu harmonisasi ini, akankah mereka tinggal diam?    

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler