x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika NU Dukung Jokowi dan Muhammadiyah Dukung Prabowo

Sebuah hasil survei dirilis oleh Media Survei Nasional (Median) dengan membuat polarisasi pemilih berdasarkan basis keagamaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah hasil survei dirilis oleh Media Survei Nasional (Median) dengan membuat polarisasi pemilih berdasarkan basis keagamaan yang hasilnya menunjukkan, capres petahana Joko Widodo meraup dukungan pemilih dari kalangan NU dan capres Prabowo Subianto unggul di kalangan pemilih berlatarbelakang Muhammadiyah. Menariknya, di kalangan pemilih NU, Jokowi mendapatkan dukungan sebanyak 47,6 persen sedangkan ketika survei dilakukan kepada kalangan Muhammadiyah, Prabowo justru memperoleh dukungan sebanyak 62 persen. Hasil survei ini bagi saya menarik, terutama bagaimana menjelaskan polarisasi pandangan keagamaan yang dihubungkan dengan pilihan politik masyarakat.

NU dan Muhammadiyah, memang memiliki kultur keagamaan yang cukup berbeda bahkan dalam beberapa hal berseberangan. Namun harus diakui, kedua ormas Islam ini merupakan wujud gambaran paling dominan ketika dikaitkan dengan prinsip keberagamaan masyarakat muslim Indonesia. Kedua ormas Islam ini memiliki sejarah panjang dalam hal politik, bahkan juga pernah mengalami pasang surut dalam konteks politik kekuasaan. Fusi parpol yang pernah diberlakukan ketika rezim Orde Baru berkuasa, membuat dua ormas keagamaan ini dipaksa bergabung dalam satu partai berasaskan Islam, yaitu PPP. Walaupun keberadaan mereka dalam rumah baru politik itu dapat saling bersinergi, namun tak jarang konflik internal mewarnai perjalanan panjang kepolitikan dua ormas Islam terbesar ini.

Melihat pada konteks politik kekinian, nuansa keagamaan memang seringkali muncul ketika dihadapkan pada situasi pemilih dalam hal dukungan politik kepada masing-masing kandidat. Sudah sejak lama, NU sepertinya menunjukkan kesamaan ideologi politiknya dengan Jokowi yang notabene kader PDIP. NU yang getol mengawal tradisi dan budaya keagamaannya, bahkan belakangan semakin diperketat akibat kuatnya arus besar kelompok yang “melawan” tradisi keagamaan yang diwarisi NU, tetapi justru selalu mendapatkan pembelaan dari Jokowi dan organisasi politik pendukungnya. Ormas seperti Muhammadiyah, tentu saja terkesan puritan, sehingga kadang bertolak belakang dengan kebiasaan tradisi keagamaan yang dijalankan warga NU.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ekspresi keberagamaan masyarakat muslim Indonesia memang akan mengerucut hanya kedalam dua model ormas terbesar yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Bagi kalangan yang cenderung terbiasa dengan berbagai tradisi keagamaan, jelas akan merawat dan mempertahankannya dan komunitas itu akan lebih dekat kepada NU. Disisi lain, kalangan yang kurang respon terhadap tradisi—untuk tidak menyebut anti-tradisi—atau mereka yang memiliki kecenderungan puritan terhadap aspek keagamaan Islam jelas akan lebih dekat kepada Muhammadiyah. Belakangan, nuansa keagamaan seperti disebut diatas, tampaknya memang ikut mewarnai dinamika politik ditengah ekspektasi pergantian kekuasaan.

Keduanya jelas dapat sangat mungkin bersaing secara politik, karena memang terdapat perbedaan unsur ideologis, dimana NU lebih dekat dengan tradisi dan budaya—khususnya Jawa—sedangkan Muhammadiyah terkesan tak bersahabat dan cenderung menjauhi tradisi seperti yang dijalankan NU. Wajar saya kira, terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang lebih dekat secara ideologis dengan Muhammadiyah, terlebih mereka yang seringkali tak mau kompromi dengan berbagai tradisi yang menurut anggapan mereka bukan berasal dari Islam. Sulit untuk tidak mengatakan, NU dan Muhammadiyah sudah lama menjadi “rival” politik dan konsekuensinya dapat dibuktikan oleh hasil rilis sigi paling teranyar yang dilakukan Median.  

Mungkin tak berlebihan, jika capres petahana Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya juga menunjukkan kedekatan ideologis antara Jokowi dan NU. Jokowi dan NU sepertinya terus menunjukkan kemesraan bahkan sejak dirinya terpilih sebagai presiden di pemilu 2014 yang lalu. Keputusan untuk berkhidmat kepada NU, ditunjukkan Jokowi ketika menetapkan Hari Santri Nasional yang jatuh pada bulan Oktober. Keputusan tersebut jelas politis, karena Jokowi memang berharap bahwa NU akan terus mendukungnya hingga dua periode kepemimpinannya. Tidak hanya itu, persetujuan RUU pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan sebagai usul inisiatif DPR merupakan bagian dari dukungan politik parpol pendukung Jokowi terhadap NU.

Sangat kontras dengan keberadaan Muhammadiyah saya kira, dimana ormas Islam terbesar ini cenderung tak terlalu diperhatikan pihak penguasa. Beberapa kader Muhammadiyah yang berada di parlemen, terkesan kritis terhadap pemerintahan, bahkan mungkin paling kritis disuarakan oleh mereka yang berlatarbelakang Muhammadiyah diluar parlemen. PAN, mungkin satu-satunya parpol yang seringkali memiliki hubungan baik dengan parpol dan kekuatan oposisi lainnya di luar parlemen. Tokoh senior PAN, Amien Rais, justru tampak paling vokal mengkritik pemerintahan Jokowi dan hal ini tentu saja berdampak pada dinamika politik di internal Muhammadiyah sendiri. Keberadaan Dahnil Anzar dan beberapa kader Muhammadiyah lainnya yang masuk dalam lingkaran tim pemenangan Prabowo, juga menunjukkan ormas ini “berseberangan” dengan NU yang memang secara ideologi politik, mendapatkan perhatian dari Jokowi.  

Hasil survei Median saya kira cukup valid, dalam hal membuat polarisasi pilihan politik berdasarkan cara pandang keagamaan. Dan memang pada kenyataannya, dukungan pemilih berlatarbelakang NU kepada petahana terkesan cukup kuat dan dominan karena tentu saja didorong atas keberadaan tokohnya yang ditunjuk menjadi pendamping Jokowi. Muhammadiyah walaupun terkesan netral dalam hal dukungan politik—hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ketua umumnya sendiri—namun tak dapat menjadi ukuran bahwa ormas ini tak memiliki kedekatan sama sekali dengan salah satu kontestan politik. Netralitas politik yang secara legal-formal keormasan berarti menjaga jarak dengan politik praktis, tentu saja tak dapat diterjemahkan sebagai bentuk apatisme politik yang tak memiliki kecenderungan. Buktinya, para pemilih yang secara ideologi keagamaan dekat dengan Muhammadiyah lebih memilih Prabowo dalam Pilpres tahun depan.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler