x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dubes Osama Kesandung Reuni 212

acara Reuni 212 tak lebih merupakan ekses politik akibat pembakaran bendera tauhid yang dilakukan oleh ormas sesat dan menyimpang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegiatan Reuni 212 telah usai, namun aksi simpatik jutaan umat Islam di Monas ini banyak menyisakan cerita dalam banyak versi yang diunggah oleh sekian banyak orang. Ada yang mengkritik, mendukung, menyesali, bahkan menyebut bahwa kegiatan ini bersifat politis. Dubes Arab Saudi untuk Indonesia, Osama Muhammad Al-Suabi malah berpandangan lain, bahwa acara Reuni 212 tak lebih merupakan ekses politik akibat pembakaran bendera tauhid yang dilakukan oleh ormas sesat dan menyimpang. Dalam akun pribadi twitternya yang telah dihapus, ia menulis, “berkumpulnya jutaan umat Islam beberapa waktu yang lalu merupakan penolakan atas pembakaran bendera tauhid oleh salah satu organisasi yang menyimpang”.

Osama tanpa menyebutkan siapa ormas yang dimaksud, tetapi terkait peristiwa pembakaran bendera tauhid yang pernah terjadi di Garut dan telah diselesaikan secara hukum, maka tak lain itu dilakukan oleh oknum Banser, salah satu sayap organisasi kepemudaan GP Ansor. Tuduhan Osama ini jelas membuat berang PBNU, karena secara tidak langsung Dubes Saudi ini menuding NU sebagai ormas menyimpang karena GP Ansor merupakan organisasi banom dibawah kendali langsung PBNU. Pernyataan Dubes Osama tentu saja melanggar kode etik kenegaraan, karena terlampau mencampuri urusan dalam negeri negara lain sehingga mengganggu hubungan kerjasama diplomatik yang semestinya ia jalankan.

Muncul sekelumit pertanyaan kemudian, mungkinkah ada kepentingan politik Arab Saudi di kegiatan Reuni 212 lalu? Mengingat bahwa kegiatan tersebut memang bertemakan pengibaran sejuta bendera tauhid dimana bendera tersebut identik dengan Arab Saudi? Tak menutup kemungkinan bahwa banyak diantara politisi yang menggagas gerakan seperti ini juga mereka yang notabene lulusan berbagai universitas di Arab Saudi. Berbagai pertanyaan justru timbul terlebih ketika Dubes Arab Saudi untuk Indonesia, justru melontarkan unggahan yang menyebut secara khusus bahwa acara Reuni 212 merupakan aksi “balasan” atas kasus pembakaran bendera bertuliskan tauhid yang dilakukan oleh organisasi yang menyimpang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin tak berlebihan, ketika kita menyebut bahwa dari sisi ideologi keagamaan, Arab Saudi memang pada kenyataannya sangat bertolak belakang dengan NU. Sejak dulu, peristiwa lahirnya NU justru didorong oleh arogansi Arab Saudi yang pada waktu itu akan memberangus semua unsur tradisi yang dianggapnya bukan berasal dari Islam. Istilah “Nahdlatul Ulama” yang melekat sebagai  ormas Islam pembela tradisi keagamaan dan pengikut ajaran para ulama, masuk menjadi bagian dari delegasi Komite Hijaz dengan tujuan mengawal tradisi dan mempertahankan seluruh aspek tradisi keagamaan yang telah menjadi bagian dari unsur budaya dan ajaran Islam. NU sangat kental menyuarakan pembelaan atas tradisi yang berbeda terbalik dengan otoritas Arab Saudi.

Kenyataan ini justru muncul dalam konteks kekinian, dimana Dubes Osama justru membuat pernyataan yang seolah-olah menuding NU sebagai ormas menyimpang, terlebih ketika ada oknum anggotanya yang membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid. Saya kira, Osama terlampau simplistis membuat kesimpulan, bahkan mungkin terdorong oleh asumsi ideologis yang memang memandang terdapat pertentangan ideologis antara dirinya dengan NU. Hal ini semakin diperkuat oleh kondisi dimana para peserta Reuni 212 justru didominasi oleh mereka yang memang memiliki kecenderungan yang dalam banyak hal, tak menyukai NU.

Jika ditarik suatu benang merah, keberadaan NU dalam gerakan 212 ini hampir dipastikan tak pernah terlibat, bahkan mungkin tak dapat dibenarkan secara nilai ketradisian yang hidup dalam nilai-nilai ke-NU-an itu sendiri. NU jelas ormas yang paling menolak setiap gerakan apapun yang mengatasnamakan agama tetapi ditujukan untuk kepentingan politik bagi kelompok-kelompok tertentu. Itulah kenapa, NU lebih menyukai perkumpulan yang bersifat tradisi yang tak ada pretensi kepolitikan apapun, seperti istogosah, peringatan maulid Nabi, atau kegiatan keagamaan yang lebih bernuansa tradisional mengikuti kebiasaan para pendahulunya. Jikapun mungkin ada soal himbauan mendukung kandidat politik tertentu di kegiatan tradisi ini, namun itu tak lebih dari sekadar bentuk dukungan untuk para tokohnya yang berkompetisi dalam kancah politik praktis.

Cuitan Dubes Osama yang menuding NU, tentu saja merupakan preseden buruk bagi hubungan diplomatik Indonesia-Arab Saudi jika tak segera dilakukan klarifikasi. Osama tentu saja kesandung masalah kediplomatikan gara-gara ikut mengomentari kegiatan Reuni 212 diluar konsekuensi dirinya sebagai seorang diplomat. Hal ini jelas merugikan, megingat Indonesia merupakan negara dimana mayoritasnya muslim dan penyumbang terbesar jumlah jamaah haji yang sangat menguntungkan Saudi. Sejauh ini, hubungan kerjasama dua negara dinilai selalu baik dan saling menguntungkan, terlebih Indonesia disebut penyumbang terbesar devisa mereka terutama disaat musim haji tiba.

Tudingan Dubes Osama yang kontraproduktif terhadap NU, tak hanya menyisakan polusi bagi hubungan bilateral antarnegara, namun telah menyinggung perasaan jutaan muslim Indonesia yang notabene terikat secara kultural dengan NU. Perlu juga diingat, bahwa NU sebagai ormas sosial keagamaan sejauh ini selalu menjaga hubungan-hubungan baik dan bersikap moderat terhadap ajaran manapun yang berbeda, termasuk perbedaan ideologis terhadap ajaran-ajaran yang berasal dari Islam di Timur Tengah. Setiap perbedaan ideologi keagamaan, tak kemudian harus dituding sebagai kelompok tertentu yang dianggap menyimpang, terlebih bahwa NU juga merupakan ormas Islam yang selalu mengedepankan toleransi dan berdamai dengan pihak-pihak yang berbeda.

Memang, NU sejauh ini seringkali dituding sebagai ormas yang “menyimpang” dikarenakan keberadaan dirinya yang enggan terlibat dalam konsekuensi agama yang terus menerus dimanipulasi demi kepentingan politik. Para tokoh-tokoh NU seringkali distigmatisasi oleh beberap pihak sebagai pribadi oprtunis yang memanfaatkan kekuasaan, disaat kelompok-kelompok tertentu justru gencar menyuarakan pergantian kekuasaan. Kenyataan politik bahkan seringkali membalikkan banyak fakta yang tak menguntungkan NU, sekalipun NU tak pernah mau mengambil keuntungan kekuasaan yang justru tampak berpihak kepadanya. Kita memang perlu melihat lebih jernih dan objektif segala kenyataan sosial-politik belakangan yang didominasi “para penunggang gelap” yang selalu memanfaatkan kepentingan politik pribadinya.

Saya kira, akan ada konsekuensi lain jika Dubes Osama tak segera mengklarifikasi pernyataan dirinya terkait tuduhan apa dan siapa yang dimaksud dengan “organisasi menyimpang” (al-jamaa’at al-munharifah). Hal ini penting, mengingat tugas dubes justru menjaga wibawa negara asalnya dan membuat segala hal dalam menjaga kepentingan politik negaranya ditengah negara asing dengan tak mencampuri urusan dalam negeri dimana ia diutus sebagai diplomat. Tak bijak seorang diplomat berkomentar tentang soal politik dalam negeri, terlebih bahwa kegiatan Reuni 212 tak dapat dikategorikan murni kegiatan keagamaan sebagaimana yang kemudian ia persepsikan. Terlebih disederhanakan, sebagai bentuk reaksi atas pembakaran bendera bertuliskan Tauhid yang telah diselesaikan secara hukum di dalam negeri.   

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB