x

Iklan

Tatang Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesan Perjuangan dari Kota Pergerakan (Yogyakarta)

ogyakarta merupakan salah satu kota bersejarah di Indonesia, di dalamnya tersimpan berbagai peristiwa besar yang mesti terus digali dan dipelajari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pesan Perjuangan dari Kota Pergerakan Yogyakarta

Oleh : Tatang Hidayat

Yogyakarta merupakan salah satu kota bersejarah di Indonesia, di dalamnya tersimpan berbagai peristiwa besar yang mesti terus digali dan dipelajari. Yogyakarta mungkin tidak asing bagi kalangan aktivis pergerakan, karena Yogyakarta merupakan salah satu Kota Pergerakan di Indonesia selain Jakarta dan Bandung. Maka penting sekali bagi kalangan aktivis pergerakan saat ini untuk belajar pergerakan ke Yogyakarta.

Pada hari Ahad, 18 November 2018 menjadi salah satu hari yang bersejarah bagi hidup saya, karena pada hari tersebut  diberikan kesempatan untuk menelusuri dan mempelajari Kota Yogyakarta. Keberangkatan saya ke Yogyakarta salah satunya dalam rangka menghadiri The 1st International Conference on Islamic Guidance and Counseling di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun sangat rugi kiranya jika keberangkatan saya ke Yogyakarta tanpa disertai dengan menelusuri berbagai tempat sejarah di kota tersebut.

Saya berangkat pada hari Sabtu, 17 November 2018 tepatnya pukul 15.45 WIB dengan menggunakan kereta api dari Stasiun Kiara Condong Bandung dan tiba di Stasiun Tugu pada hari Ahad, 18 November 2018 pukul 01.00 WIB. Waktu perjalanan yang panjang saya manfaatkan dengan membaca buku karya guru saya sendiri yakni Dr. KH. Aam Abdussalam, M. Pd. dengan judul Pembelajaran dalam Islam : Konsep Ta’lim dalam Al-Qur`an. Buku tersebut merupakan pemberian langsung dari penulisnya, namun baru saat ini berkesempatan untuk membacanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat berada di Stasiun Tugu, saya teringat kisah dibalik pemindahan ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Operasi pemindahan ibukota berjalan secara rahasia dan menggunakan kereta api pada 3 Januari 1946 tengah malam. Jalur yang dilalui Soekarno berserta rombongan yakni dari Pegangsaan Timur - Manggarai - Jatinegara - Bekasi - Cikampek - Cirebon - Purwokerto - Kutoarjo - Yogyakarta. 

Saat tiba di stasiun Tugu, rombongan dijemput langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman para pejabat tinggi negara yang sudah lebih dahulu berada di Yogyakarta dan segenap rakyat kawula Yogyakarta. Mereka berarak-arakan menuju Gedung Agung melewati Jalan Malioboro. Saat saya merenung dan meresapi kembali sejarah peristiwa tersebut tentu akan memberikan kesan tersendiri, karena memang sedang berada di tempatnya.

Saat matahari mulai naik, saya segera bergegas menuju Alun-Alun Yogyakarta, tempat dimana di sana mengandung sejarah dengan adanya Kraton Yogyakarta dan Masjid Gedhe Kauman. Saya menyempatkan singgah di Masjid Gedhe Kauman, masjidyang  dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi'ul Akhir 1187 H.

Setelah dari Masjid Gedhe Kauman, saya melanjutkan perjalanan ke Kraton Yogyakarta. Saat pertama masuk ke dalamnya nampak suasana Kraton masih asri dengan masih adanya pohon beringin, angin yang sepoi-sepoi diiringi kicauan suara burung seolah ingin memberikan pesan bahwa masyarakat Yogyakarta memang terkenal dengan masyarakat yang ramah.

Sementara itu yang menjadi daya tarik saya berkunjung ke Kraton tidak lepas dari ingin menelusuri pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang Hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki, berdasarkan pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia ke 6 pada 9 Februari 2015 di Yogyakarta

"Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki" ungkapnya.

Selama di Kraton saya banyak mempelajari berbagai sejarah berdasarkan bukti peninggalannya, namun untuk bendera yang saya cari ternyata merupakan benda pusaka yang tidak diperlihatkan secara umum. Namun apa yang saya dapatkan dari Kraton sudah lebih dari cukup yang menjadi bukti bahwa Kraton Yogyakarta memang merupakan kesultanan wakil Kekhalifahan Turki.

Setelah dari Kraton, saya melanjutkan perajalanan ke Makam Pahlawan Islam Jang Utama, Guru Bangsa, Raja tanpa Mahkota yakni Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. beliau merupakan seorang pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI). Tokoh yang lebih dikenal dengan H.O.S Tjokroaminoto ini Lahir di Tegal Sari, Ponorogo, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882 dan Ia wafat pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta.

H.O.S. Tjokroaminoto, bukan hanya sekedar pahlawan Nasional, lebih dari itu, beliau merupakan aktor penting perjuangan umat Islam di Indonesia. Maka tatkala saya berkunjung ke makam beliau, ada suasana batin yang bergejolak dalam diri, seolah tidak percaya bisa berziarah langsung ke makam guru bangsa. Selain beliau, di komplek tersebut dimakamkan juga Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah periode 1942-1953), dan KH. Fachrudin (Ketua Umum Muhammadiyah periode 1968-1990).

Setelah itu, saya melanjutkan ziarah ke Makam K.H. Ahmad Dahlan selaku Pendiri Muhammadiyah, karena tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke Yogyakarta jika tidak berziarah ke K.H. Ahmad Dahlan. Ziarah saya kepada para Tokoh Muhammadiyah menjadi momen yang tidak akan terlupakan, karena bertepatan dengan dengan momentum Milad Muhammadiyah ke-106 (18 November 1912-18 November 2018). Selain makam K.H. Ahmad Dahlan, disana dimakamkan juga pendiri Himpunan Mahasiswa Islam yakni Prof. Dr. Lafran Pane, yang saat ini telah mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Setelah dari Makam K.H. Ahmad Dahlan, saya melanjutkan perjalanan ke Museum Jendral Sudirman, yang merupakan bekas dari rumah beliau. Namun saat saya tiba ternyata museum tersebut sedang direnovasi, nampak hanya ada satu penjaga yang sedang bertugas di pos. Saya memberanikan diri untuk silaturahim dan menyatakan maksud, dan sungguh di luar dugaan ternyata bapak itu sangat baik bisa menerima saya bahkan bisa berdiskusi hampir dua jam.

Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan selama diskusi dengan penjaga museum tersebut, terutama berkaitan dengan sosok Jendral Sudirman. Begitu banyak pesannya, sosok Jendral yang selalu menjaga wudhu dan memuliakan tamu, Jendral yang totalitas dalam berjuang dan melakukan perlawanan, banyak yang harus diteladaninya, begitu ikhlas perjuangannya, tanpa pamrih dedikasinya.

Saat sakit parah menimpanya, perjuangannya tidak pernah padam, mendidih darahnya saat terdengar penjajah itu menyerang kembali, ia tetap melakukan perlawanan tanpa mempedulikan jiwanya, karena yang sakit sudirman, panglima besar tidak pernah sakit.

Indonesia baru saja merdeka, Belanda ingkar janji. Suara bom pesawat Belanda mengagetkan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Anak buahnya mencoba menenangkan Sudirman, "Itu hanya anak-anak yang sedang latihan perang."

Sudirman baru saja kehilangan satu paru-parunya di meja operasi. Rasa sakit masih menyiksa. Akan tetapi, instingnya sebagai ahli taktik perang berkata, ada yang tidak beres. Sadar negara dalam keadaan genting, Sudirman menemui Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung, Yogyakarta.

Di hadapan Soekarno, Sudirman minta izin memulai gerilya untuk menghancurkan mental Belanda. Kala itu, Soekarno melarang, "Kang Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota". Sudirman menyahut, "Yang sakit Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit." (kompas.com, 17/8/2010).

Setelah diskusinya dirasa cukup, saya izin pamit kepada bapak penjaga museum, ada berat hati berpisah dengan bapak tersebut, karena beliau orangnya baik dan ramah, tidak merasa terganggu waktunya dihabiskan diskusi dengan saya selama 2 jam, beliau merasa senang bahkan jika tidak saya hentikan mungkin saja diskusi tersebut berlanjut. Namun karena waktu sudah sore, saya harus melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Taman Makam Pahlawan yang didalamnya di makamkan sosok Jendral Sudirman.

Setelah mengucapkan salam dan mendo’akan para pahlawan, terutama Jendral Sudirman, ternyata waktu sudah mau memasuki Maghrib, akhirnya perjalanan harus saya hentikan, meskipun sebenarnya masih banyak tempat yang ingin saya singgahi. Namun berhubung saya harus segera menuju penginapan dan mempersiapkan untuk seminar besoknya, akhirnya  saya segera menuju penginapan. Wallohu ‘Alam bi ash-Shawab.

  

 

 

Ikuti tulisan menarik Tatang Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler