x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Urip Iku Urub

Riwayat 70 tahun sang pemburu Diponegoro

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Urip iku Urub

Editor: FX Domini BB Hera

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kompas Media Nusantara

Tebal: xl + 568

ISBN:  978-602-412-534-9

 

Sebuah bangsa yang lupa atau lebih buruk mengubah kembali sejarahnya akan menghadapi beberapa bahaya (hal. 68).

Kutipan di atas disampaikan oleh Peter Carey dalam Kuliah Perdana beliau sebagai Adjunct Profesor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tanggal 1 Desember 2014. Kutipan ini disampaikan sebagai nasihat kepada Indonesia yang dianggapnya sebagai “Tanah Leluhur” baginya. Pengakuan sejarah yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya adalah sebuah syarat bagi langkah maju sebuah bangsa. Ia memberikan contoh bagaimana Inggris dan Irlandia mengakui sejarah kelam di masa lalu sehingga mampu menjalin hubungan yang lebih konstruktif ke depan.

Peter Carey dikenal sebagai penggali tokoh Diponegoro. Melalui penelitiannya yang sangat intensif sosok Diponegoro yang dikenal oleh orang Indonesia dari para sejarahwan Belanda, menjadi lebih lengkap. Melalui penelitian yang dituangkan dalam disertasinya yang dipertahankan di Cornell University dan kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia berjudul “Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855,” Peter Carey menampilkan sosok Diponegoro dari berbagai sisi. Melalui tulisannya ini kita menjadi tahu masa kecil Diponegoro, religiusitas Diponegoro, keyakinannya sebagai seorang pangeran Jawa dan alasan mengapa ia melakukan pemberontakan.

Mengapa Peter Carey tertarik Diponegoro? Ketertarikan Carey kepada sosok Diponegoro terjadi secara tidak sengaja. Saat mempelajari Bahasa Belanda, Carey bertemu dengan sosok Diponegoro di sketsa Mayor F.V.H.A Ridder de Stuers (hal. 23). Sebagai seorang yang tumbuh di Asia, tepatnya Myanmar, Peter Carey mempunyai pemahaman akan kehidupan supra natural (gaib). Hal ini tentu berbeda dengan sarjana barat pada umumnya. Itulah sebabnya, saat kunjungannya ke Indonesia untuk mengunjungi kampung halaman Diponegoro yang begitu berat, dan kemudian hal-hal yang serba kebetulan saat memulai penelitian, ia menafsirkan hal ini sebagai sebuah tanda bahwa ia memang harus menggali sosok Diponegoro.

Di tangan Peter Carey, tokoh Diponegoro seakan hadir lengkap dengan segala detailnya. Diponegoro tidak tampil hanya sebagai seorang tokoh militer saja. Sosok Diponegoro dimunculkan dari berbagai sumber, khususnya babad. Di tangan Carey-lah Diponegoro tampil sebagai manusia seutuhnya, termasuk dengan kekurangannya.

Buku ini dilengkapi prakata dari Merle C. Ricklefs. (Ricklefs adalah teman diskusi Peter Carey tentang perang Jawa.) Ricklefs menyampaikan kesan pertamanya tentang Peter Carey yang dianggapnya tersaring masuk ke dalam budaya Jawa (hal. xiv) dan menyangsikan bahwa Peter Carey akan mampu menulis disertasi seperti yang disampaikan kepadanya. Ricklefs ternyata keliru, karena Carey ternyata mampu mewujudkan disertasinya dengan sangat baik.

Buku ini menyajikan lima bagian. Bagian pertama adalah tentang Peter Carey dalam Refleksi. Bagian ini menjelaskan pertemuan Peter Carey dengan sosok Diponegoro. Bagian kedua adalah tentang Perang Jawa, Sumber Inspirasi Kreasi Seni. Bagian yang ditulis oleh teman-teman Peter Carey ini memuat bagaimana sosok Diponegoro sebagai sumber inspirasi kerasi seni, termasuk di dalamnya adalah komik.

Bagian ketiga adalah tentang Tatanan Lama Jawa. Bagian ini memberikan informasi yang lebih mendalam tentang lokus Diponegoro dalam sejarah (prang) Jawa. Bagian keempat berisi tentang Lima Tahun (masa perang Diponegoro) yang Mengubah Segalanya. Dan, bagian kelima berisi informasi tentang pasca keruntuhan tatanan Jawa.

Teman-teman Peter Carey memberikan banyak informasi tambahan tentang latar belakang dan soso Diponegoro itu sendiri. Salah satu tulisan Werner Kraus yang menarik adalah tentang sosok Diponegoro dalam Gerakan Nasional dan Seni Rupa.

Sejak selesainya perang, nama Diponegoro seakan hilang ditelan sejarah. Sosok Diponegoro sebagai pahlawan baru muncul pada Konggres Insulinde pada bulan Maret 1913. Diponegoro tampil sebagai “pejuang pembebas.” Diponegoro sebagai “Pahlawan Rakyat,” kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia pada tahun 1917 (hal. 134). Sejak itu banyak pihak menggunakan sosok Diponegoro sebagai pejuang rakyat. Para pejuang kemerdekaan memakai Diponegoro sebagai simbol perjuangannya. Selain dari PKI ada PNI, Muhammadiyah, Taman Siswa, Syarekat Islam, Persatoean Moeslim Indonesia (PERMI) dan Parindra, juga para pramuka yang mengadakan perayaan api unggun untuk memperingati hari wafatnya Diponegoro setiap tangga 8 Februari. Pada jaman kemerdekaan Diponegoro menjadi salah satu pahlawan yang dimunculkan. Baru pada tahun 1973 Diponegoro resmi menjadi Pahlawan Nasional.

Selain menghasilkan karya tentang Diponegoro, Peter Carey juga menyumbang pengetahuan tentang sejarah Indonesia khususnya tentang Majapahit (hal. 100) dan peranakan Tionghoa (Orang Cina, Bandar Tol, Candu & Perang Jawa) (hal. 401). Dua sumbangan Carey dalam sejarah Indonesia, selain dari tentang Perang Jawa menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang sangat perhatian kepada sejarah Jawa.

Bersama dengan Wardiman Djojonegoro, Peter Carey berjuang supaya Babad Diponegoro mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai Memory of the World (MoW). Wardiman menyaksikan betapa tekun dan sabarnya Carey memperjuangkan naskah ini sehingga akhirnya bisa ditetapkan sebagai MoW. Berbagai kendala yang cukup rumit dihadapi saat Indonesia berupaya mendaftarkan Babad Diponegoro sebagai MoW. Diantaranya adalah bahwa tidak didapatinya naskah asli. Namun berkat kegigihan Carey bersama Wardiman, akhirnya pada tanggal 5 Oktober 2015 naskah ini diterima oleh UNESCO sebagai MoW.

Peter Carey bukan hanya seorang sejarahwan. Ia juga adalah orang yang sangat peduli kepada kemanusiaan, khususnya korban perang. Ia adalah pendiri Cambodia Trust (1989) di Cambodia. Organisasi ini membantu para korban perang dengan penyediaan kaki palsu. Organisasi ini juga bekerja di Timor Leste setelah negara kecil ini mendapatkan kemerdekaannya. Karyanya di bidang kemanusiaan ini membawa Peter Carey menerima gelar Member of the British Empire (MBE) dari Ratu Elizabet II pada tanggal 28 Juni 2011.

Selamat ulang tahun ke-70 Pak Peter Carey. Mugi panjenengan tansah pikantuk berkah karahayon, kasantosan saha mulya basuki saking Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu