x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Pemimpin Kok Berkelit dari Fakta?

Keteguhan hati dan kompetensi semacam itu yang membedakan para pemimpin dengan kebanyakan orang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Embrace the Facts, Please

Mohamad Cholid

Practicing Certified Executive and Leadership Coach.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“If what you did yesterday still looks big to you, you aren’t growing today,” – John C. Maxwell

 

Ratu Elizabeth mengakhiri doanya di depan altar, lantas segera balik badan begitu namanya ada yang memanggil. Rupanya yang berteriak memanggil Elizabeth seorang pemuda dengan pistol sudah terarah siap menembak, niat membunuh. Seperti hendak menyatakan dirinya tatag (tegar) menghadapi kenyataan apa pun, Elizabeth dengan tenang memandang tajam ke arah si pemuda yang kelihatan mulai gemetar melihat tatapan Ratu Inggris tersebut.

Kemudian suara ledakan pistol menggema di gereja itu. Dan Elizabeth tetap hidup, karena pistol si pemuda ternyata tanpa peluru, hanya asap. Sementara si penembak segera diringkus para pengawal ratu dan dijebloskan ke penjara. Rencana pembunuhan Ratu Elizabeth tersebut bagian dari plot perebutan kekuasaan, hasil persekongkolan dan intrik yang dipengaruhi Kerajaan Spanyol.

Itu satu adegan filem Elizabeth The Golden Age (2007), disutradari Shekhar Kapur, dengan bintang Cate Blanchett dan Clive Owen (sebagai Sir Walter Raleigh).  

Elizabeth I of England (1533–1603) digambarkan sebagai pemimpin yang berani menghadapi realitas, segawat apa pun situasinya. Ketika Armada Spanyol menyerang negerinya, dengan jumlah kapal dan personel jauh melebihi pasukan Inggris, Ratu Elizabeth sigap. Ia memutuskan membebaskan seluruh tahanan untuk ikut bertempur, dengan alasan, “Inggris kan tanah air mereka juga.”

Usai pidato mengobarkan semangat pasukannya, dikenal sebagai The Speech to the Troops at Tilbury, Elizabeth digambarkan ikut berkemah bersama tentaranya, di tebing laut dekat muara Sungai Thames. Ia siap menyambut realitas sejarah.

Dalam pertempuran laut yang tidak seimbang, Angkatan Laut Inggris kemudian mengarahkan kapal-kapal yang sudah mereka bakar ke deretan kapal Spanyol. Sir Walter Raleigh diceritakan jadi orang terakhir yang lompat dari kapal, sebelum kapalnya yang sudah dipenuhi api menabrak perut kapal utama Armada Spanyol.

Kapal-kapal Spanyol rontok, tidak berhasil memasuki muara Thames, apalagi menyentuh daratan Inggris. Tercatat dalam sejarah, kejadian pada 1588 ini merupakan kekalahan paling memilukan bagi Armada Spanyol.

Kesigapan Ratu Elizabeth I menghadapi realitas politik antar bangsa dan kemampuannya menyikapi dengan cerdas kenyataan di dalam negeri, membuat kepemimpinannya berhasil membawa Inggris meraih zaman keemasan.

Kunci sukses Ratu Elizabeth 1 adalah sigap menghadapi dan mengelola realitas. Salah satu motonya dalam memerintah antara lain, "video et taceo" -- "I see but say nothing." Ia diceritakan menolak keras desakan para penasihatnya untuk menghukum sebagian rakyatnya yang berbeda keyakinan dengan kerajaan.

Elizabeth I dapat dijadikan contoh, efektivitas kememimpinan antara lain ditentukan oleh keberanian seorang pemimpin menghadapi realitas – bahkan ketika fakta-fakta di hadapannya sangat pahit, tidak sesuai dengan kemauannya. Atau merupakan “the brutal facts”, menurut Profesor Pasca Sarjana Bisnis Stanford University Jim Collins (Good to Great).

Sikap mental dan kompetensi yang fit untuk mengolah realitas (sepahit apa pun) sebagai tantangan yang mesti diatasi, menjadikan seorang pemimpin berpeluang meraih sukses lebih hebat. Keteguhan hati dan kompetensi semacam itu yang membedakan para pemimpin dengan kebanyakan orang.

Kecenderungan umum manusia adalah mengelak dari realitas atau menyangkal fakta, kalau perlu menyalahkan pihak lain atas kenyataan yang dijalaninya saat ini, dan itu dijadikannya pula sebagai alibi atas ketidakmampuannya bertindak benar pada waktu yang tepat. Padahal alibi sama sekali tidak mengubah fakta.

Orang-orang yang mengaku sebagai pemimpin organisasi, bisnis dan nonprofit, apalagi pejabat publik, dengan perilaku cenderung berkelit dari fakta, merasa unggul dengan cara merendahkan orang lain, atau selalu ada excuses sebagai alibi atas kebijakan yang merugikan publik, menurut Anda apa layak memimpin?

Perilaku kepemimpinan mediocre (kelas tanggung) semacam itu dapat menimbulkan bottleneck organisasi – sebagaimana sudah sering kita lihat. Ciri-ciri mereka antara lain sering mengungkit sukses masa lalu, mudah menghakimi pihak lain, dan mengkeramatkan jabatannya – feodalistis, bossy.

Kompleksitas yang dihadapi setiap organisasi hari ini makin pelik, utamanya bagi organisasi-organisasi yang mau scaling up, ingin menggapai pertumbuhan 100%. 

Dalam proses scaling up organisasi, utamanya di tengah kompleksitas sekarang, minimal ada tiga tantangan yang mesti diatasi.

Pertama, masalah leadership. Saat organisasi tumbuh, target yang harus diraih juga cukup tinggi, dan jumlah personel tambah, problem baru bermunculan, utamanya karena para team leaders belum siap, ditambah masalah pendelegasian dan ketajaman memprediksi keadaan yang perlu diasah.

Kedua, menyangkut infrastruktur. Komunikasi dan proses pengambilan keputusan jadi lebih pelik seiring dengan pertumbuhan. Diperlukan pengembangan sistem dan struktur (physical dan organizational) untuk menopang proses scaling up.

Ketiga, dinamika pasar. Tekanan kompetisi, yang mungkin saja mengancam margin, sepantasnya diatasi dengan excellent (lebih dari baik), agar Anda berhasil mengendalikan pertumbuhan. Ini juga berlaku bagi organisasi yang selama ini mengandalkan captive market -- mereka sepantasnya menyiapkan diri mampu memenangi kompetisi di pasar terbuka; kecuali memilih mandeg atau mati suri.

Dari pengalaman belasan tahun membantu ribuan organisasi (umumnya growing companies) di banyak negara, Verne Harnish dan Tim Gazelles (Growth Institute) juga menyimpulkan, "Handling a company's growth successfully requires three things: an increasing number of capable leaders: a scalable infrastructure: and the ability to navigate certain market dynamics."(Scaling Up, 2014).

Kalau Anda konsisten dan persisten mau sukses mengembangkan usaha, ketiga tantangan tersebut di atas sepantasnya diantisipasi, dihadapi, dan diatasi dengan kompetensi yang lebih baik dan perilaku kepemimpinan lebih efektif.    

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu