x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Seorang Pedagang Darah

Kemiskinan mutlak dan cara survival masyarakat Tiongkok di era Revolusi Kebudayaa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Kisah Seorang Pedagang Darah

Judul Dalam Bahasa Inggris:  Chronicle of a Blood Merchant

Penulis: Yu Hua

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Agustinus Wibowo

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                                        

Tebal: 288

ISBN: 978-602-03-3919-1

 

Ini adalah buku ketiga karya Yu Hua yang saya baca. Buku pertama berjudul “Hidup.” Buku kedua berjudul “Dua Bersaudara.” Ketiga  buku ini adalah hasil terjemahan Agustinus Wibowo langsung dari bahasa aslinya, yaitu Mandarin.

Seperti dua buku sebelumnya yang sudah saya baca, “Kisah Seorang Pedagang Darah” juga bercerita tentang betapa sulitnya hidup. Namun hidup harus disyukuri dan dipertahankan. Di tengah-tengah kesulitan hidup dan kasarnya cara hidup orang miskin – kadang tanpa sopan santun, ada kebaikan dan kesetiakawanan yang luar biasa. Itulah ciri khas tulisan Yu Hua. Hidup itu penting, sesulit apapun harus dijalani. Tidak masalah jika hidup tanpa sopan santun. Yang penting kebaikan dan rasa kemanusiaan yang asli tetap dijalankan.

Kisah diawali oleh Xu Sanguan seorang anak desa yang hidup di kota. Tanpa sengaja ia ikut serta menjual darahnya bersama dua orang desa tetangga pamannya. Sejak itu Xu Sanguang selalu mengandalkan darahnya untuk dijual demi mempertahankan hidup.

Sebagai seorang pemuda yang bekerja di pemintalan ulat sutera, Xu Sanguan juga jatuh cinta. Mula-mula ia berfikir untuk menikahi Lin Fenfang. Sanguan selalu memberikan kepompong yang sehat kepada Lin Fenfang supaya Fenfang tidak kesulitan dalam mengurai kepompong ulat sutera. Namun akhirnya Xu Sanguan lebih memilih Xu Yulan untuk dinikahinya.

Untuk melamar Xu Yulan, Sanguan harus menjual darahnya sebagai modal. Saat dilamar, Xu Yulan – si gadis penggoreng cakwee, sudah berpacaran dengan Ye Xiaoyong. Bahkan Xiaoyong sudah berhasil menidurinya.

Pernikahan Xu Sanguan dengan Xu Yulan berjalan lancar dan dikaruniai 3 anak, yaitu Xu Yile (bahagia pertama), Xu Erle (bahagia kedua) dan Xu Sanle (bahagia ketiga). Namun pernikahan ini guncang saat para tetangga menggunjingkan bahwa anak pertama mereka, yaitu Xu Yile sama sekali tidak mirip Sanguan, tetapi malah mirip Xiaoyong. Padahal mereka telah hidup bahagia selama 9 tahun.

Upaya untuk mengembalikan Xu Yile ke Ye Xiaoyong berlangsung dramatis. Xiaoyong tentu saja menolak. Apalagi istrinya. Meski harus berkelahi dan saling menjambak rambut antar kedua perempuan tersebut, toh akhirnya Ye Xiaoyong tetap tidak mengakui bahwa Yile adalah anaknya.

Dalam sebuah perkelahian antara anak-anak, Yile mencederai anak Fang si Tukang Besi sehingga harus dirawat di rumah sakit. Upaya untuk meminta tanggung jawab kepada Xiaoyong sebagai ayah Yile tidak berhasil. Maka Sanguan terpaksa menjual darah untuk membiayai pengobatan anak Fang si Tukang Besi.

Keisengan Xu Sanguan muncul. Ketika Lin Fenfang jatuh dan kakinya patah, ia mengunjunginya. Lin Fenfang yang sudah menikah sudah menjadi gemuk dan tidak cantik lagi. Namun Xu Sanguan tertarik untuk menidurinya. Lin Fenfang pun tidak keberatan dengan kelakuan Sanguan. Karena meniduri Fenfang dan merasa kasihan kepadanya, Sanguan menjual darah untuk membelikan makanan bergizi bagi Fenfang. Pemberian yang berlebihan ini tentu saja membuat suami Fenfang menjadi curiga. Ia melabrak Sanguan di rumahnya. Sejak saat itulah Sanguan dan Yulan sama-sama mempunyai cacat dalam hidupnya. Kini Sanguan tidak bisa lagi mengambil untung dari kesalahan Yulan di masa lalu.

Revolusi kebudayaan membawa sengsara keluarga Sanguan. Mereka sudah 5 minggu hanya makan bubur jagung encer. Bahkan mereka harus hemat bicara supaya bisa simpan tenaga. Kali ini, Sanguan harus jual darah kembali supaya bisa membawa anak dan istrinya makan di restoran. Namun Sanguan tidak rela jika Yile yang bukan anak kandungnya ikut makan di restoran. Yile diberi uang yang cukup untuk membeli sepotong ubi bakar. Karena masih merasa lapar dan sakit hati karena tidak dianggap sebagai anak, Yile pergi ke rumah Xiaoyong supaya bisa tinggal dengan mereka. Alih-alih diterima sebagai anak, Yile malah diusir. Yile pergi dari rumah Xiaoyong dan tidak kembali ke rumah Sanguan. Yulan dan Sanguan mencari Yile ke sana kemari. Sampai akhirnya Sanguan menemukan Yile yang kelaparan dan kedinginan. Maka Sanguan menggendong Yile kembali ke rumah. Sejak itu Sanguan memperlakukan Yile sebagai anak kandungnya sendiri.

Suatu hari Ye Xiaoyong tertabrak mobil. Dokter sudah menyerah. Sementara tabib mengatakan bahwa kalau anak lelaki Xiaoyong mau menangisinya dari atas atap dan meminta nyawa Xiaoyong balik, maka ada kemungkinan Xiaoyong bisa selamat. Maka istri Xiaoyong memohon-mohon supaya Yile diijinkan untuk memanggil nyawa bapaknya. Meski melalui percekcokan yang hebat, namun akhirnya Yile mau naik ke atas atap. Namun Yile tidak mau memanggil nyawa Xiaoyong.

Revolusi kebudayaan tidak hanya menimbulkan kelaparan. Revolusi kebudayaan juga telah membawa Yile dan Erle bekerja di desa. Yile terkena penyakit hepatitis karena terlalu keras bekerja di desa. Yile harus berobat ke Shanghai.

Di sinilah Yu Hua menunjukkan bahwa di tengah hidup yang susah dan kasar, ternyata rasa kemanusiaan di antara orang miskin tetap ada. Istri Xiaoyong yang dikecewakan oleh Yile tetap mau menyerahkan tabungannya untuk biaya berobat Yile. Demikian pun para tetangga rela membantu Sanguan untuk membiayai pengobatan Yile.

Dalam perjalanan dari kota ke Shanghai, Sanguan harus menjual darahnya untuk mengumpukan biaya pengobatan. Sanguan sampai pingsan karena menjual darahnya 4 kali dalam sepuluh hari. Untunglah ia tertolong. Uang hasil menjual darah dalam perjalanan bisa dipakai untuk membiayai pengobatan Yile.

Di akhir cerita, Yu Hua memberikan sebuah kebahagiaan. Sanguan yang ingin makan hati babi dan minum arak kuning berpaya menjual darahnya. Saat itu Sanguan telah berumur 60 tahun dan kurus. Tentu saja ia ditolak oleh rumah sakit. Namun karena keluarganya telah pulih ekonominya, maka Yulan dan anak-anak bisa membelikan hati babi goreng dan arak kuning. Bukan hanya seporsi, tetapi tiga porsi!

Hidup memang berat. Tetapi hidup itu penting. Meski hidup kasar dan kurang sopan santun, tetapi rasa kemanusiaan itu penting. Menolong sesama tidak harus mempertimbangkan dendam dan sakit hati.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler