x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Public Sphere Habermas dan Kedai Kopi Aliong

Kedai Kopi Tionghoa sebagai ruang publik yang memberi tempat kepada semua warga untuk berbincang tentang masalah mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti biasa, Minggu pagi kali ini saya juga berkunjung ke Kedai Kopi Aliong, di tepi Sungai Kayan. Ritual ngopi Minggu pagi sudah saya lakukan satu setengah tahun sejak saya tinggal di Tanjung Selor. Cuaca mendung; sehingga perjalanan dari kost ke Kedai Aliong cukup nyaman. Setelah setengah jam menyusuri trotoar baru, saya sampai ke Kedai Aliong. Tanjung Selor sedang berdandan untuk menyiapkan diri menjadi Kota Mandiri.

Kedai sudah sangat ramai. Saya melihat masih ada satu meja kosong di dekat jendela. Saya pun segera menuju meja tersebut. Meja di samping jendela ini sangat cocok untuk membaca karena sangat terang. Tanpa perlu memesan, Aliong sudah langsung membuatkan saya kopi hitam tanpa gula. Ia juga mengantarkan dua gulung ketan, satu cakwee isi selai srikaya dan kacang goreng.

Sebagai sebuah ritual rutin, sebelum aku seruput kopi dan kunikmati kudapan, aku memfotonya dan memamerkan ibadahku kepada teman-teman di group WA. Maka terjadilah percakapan antara saya dengan Pak Didi Kwartanada, sesama anggota sebuah group WA. Pak Didi Kwartanada adalah seorang sejarawan. Kami membahas tentang sejarah kedai kopi Tionghoa yang menyebar dari Malaysia, Singapura, Sumatra, Kalimantan dan sebagian Sulawesi, tetapi sangat jarang ditemui di Jawa. (Entah mengapa Jawa tidak ditemukan banyak kedai kopi Tionghoa.) Kami membahas dari mana atau dari kelompok mana pengelola kedai kopi Tionghoa di Nusantara ini. Pak Didi menduga mereka adalah imigran dari Kuang Tung. Sementara artikel di detik.com mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Hainan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perbincangan kami melebar sampai dengan ciri khas pengunjung kedai-kedai Tionghoa. Pak Didi menyampaikan bahwa pengunjung kedai-kedai kopi Tionghoa adalah multi etnik. Siapa saja bisa berkunjung di kedai kopi Tionghoa. Mereka bisa berbincang tentang apa saja. “Menariknya, warkop Tionghoa ini pengunjung setianya multi etnik. Jadi semacam public sphere-nya Habermas,” demikian Mas Didi memberi komentar. Maka segera saya meng-gooogle definisi public sphere Habermas untuk menyegarkan pengertian saya tentang hal ini.

Memang benar. Pengunjung Kedai Kopi Aliong itu berasal dari berbagai kalangan. Saya sering bertemu dengan para pejabat Provinsi maupun pejabat Kabupaten Bulungan ngopi di kedai ini. Para pejabat ini bukan hanya dari kalangan pejabat rendahan. Kepala Bappeda dan Kepala Dinas sering saya jumpai menikmati bakpao sambil menyeruput kopi di Kedai Aliong. Bahkan kadang-kadang Pak Bupati dan anggota DPRD juga berkunjung di kedai ini.

Pagi ini saya melihat pasangan muda yang membawa bayinya, sekelompok pesepeda, keluarga yang menyempatkan sarapan sebelum ke gereja (mereka menenteng Alkitab) dan masih banyak lagi pengunjung yang memang beragam. Oh iya, saya lupa menyampaikan bahwa di Kedai Aliong, ada juga tuna wisma yang tinggal hanya punya celana yang menjadi pengunjung setia. Bapak tua ini membantu mengangkuti gelas-gelas kosong bekas kopi, teh atau telur setengah matang dari meja-meja yang sudah ditinggalkan oleh pengunjungnya. Pak Tua selalu mendapatkan pelayanan kopi gratis dan kudapan sebanyak yang ia bisa makan. Para pengunjung tidak pernah merasa terganggu dengan keberadaan Pak Tua. Ada juga bapak tua lainnya yang berpakaian rapi yang selalu ada di kedai. Tugas bapak tua ini sama dengan bapak tuna wisma. Yaitu mengambili gelas-gelas kosong. Tidak seperti bapak tuna wisma yang segera pergi begitu kopi dan kudapan sudah didapatnya, bapak yang selalu berpakaian rapi ini sering ikut berdiskusi.

Para pengunjung ini berdiskusi tentang apa saja. Kadang-kadang, kalau sedang ada isu hangat, diskusi terjadi antarmeja. Misalnya beberapa minggu lalu, ketika bahan bakar minyak langka di Tanjung Selor, diskusi tentang siapa yang salah dan bagaimana mengatasinya terjadi sangat meriah. Ada yang menyalahkan kepolisian karena menahan mobil tangki yang kedapatan menjual bensin secara eceran. Mobil tangki - yang jumlahnya terbatas, ditahan polisi sehingga frekuensi pengiriman menjadi terganggu. Ada yang menyalahkan jalan yang semakin rusak. Ada yang berargumen bahwa permainan kotor para penimbunlah yang menyebabkan BBM langka. Ada pula yang mengomentari bahwa kebijakan BBM satu harga tidaklah tepat. “Mestinya Pak Jokowi mengutamakan suplai BBM. Apa gunanya BBM satu harga kalau tidak ada barangnya?”

Meski para pengunjung ini berdebat dengan keras mempertahankan pendapat masing-masing, namun tidak ada yang tersinggung. Padahal di kedai tersebut ada juga para pejabat. Namun saat mereka menyeruput kopi, mereka menjadi orang biasa. Semua menanggalkan jabatan, etnisitas dan agamanya.

Apakah hasil perbincangan di Kedai Aliong ini mempengaruhi kebijakan publik di Kabupaten Bulungan atau Provinsi Kaltara? Saya tidak tahu. Perlu ada yang meneliti apakah para pejabat ini dalam mengambil kebijakan dipengaruhi oleh perbincangan bebas di kedai yang dihadirinya. Jika benar, maka cita-cita Habermas tentang public sphere sudah benar-benar terwujud di Kedai Aliong.

Atau jangan-jangan Habermas mendapat ide tentang public sphere saat ia ngopi di kedai kopi Tionghoa? Siapa tahu…

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB