x

Iklan

Fathiyah Nur Zalfa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Mei 2019

Jumat, 10 Mei 2019 04:53 WIB

Politik Uang dan Eksistensinya di Masa Pemilu

Artikel ini berisi penjelasan mengenai apa itu politik uang dan eksistensinya di masa Pemilu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Politik Uang dan Eksistensinya di Masa Pemilu

 

Pemilihan Umum atau yang lebih sering didengar dengan nama Pemilu adalah suatu proses pemilihan pemimpin bangsa yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu merupakan ajang rakyat untuk menentukan kearah mana bangsa dan negara ini akan dibawa. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasal 1 ayat (1) yang dimaksud Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahaun 1945. Definisi tersebut mengartikan bahwa Pemilu merupakan instrumen rakyat untuk mewujudkan demokrasi berupa kedaulatan rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedaulatan rakyat dijalankan dan diamanahkan kepada wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu dengan sistem perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Rakyat memilih melalui Pemilu yang dilakukan secara berulang setiap lima tahun sekali guna memperjuangkan serta mewujudkan aspirasinya.

Namun perlu digaris bawahi dalam pelaksanakan Pemilu pasti ada saja pihak-pihak yang tidak menggunakan cara bersih dan jujur dalam menarik dan mendapatkan dukungan atau simpati dari rakyat. Karena dalam ajang atau kontestasi politik besar seperti ini banyak pihak yang mencari keuntungan untuk menaikan tingkat starta sosial mereka dengan cara mempengaruhi pemilih/rakyat melalui berbagai cara seperti pemberian berupa uang ataupun barang yang sering disebut sebagai fenomena politik uang untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan.

Money politic atau politik uang adalah suatu fenomena yang sering terjadi ketika mendekati atau sedang terjadi dimasa Pemilu. Secara umum, pengertian politik uang dalam tulisan ini adalah suatu praktik ilegal dalam Pemilu dalam upaya untuk mempengaruhi massa Pemilu dengan memberikan imbalan berupa materi dalam bentuk tunai maupun sumbangan bantuan berupa barang, pemberian bahan pokok berupa sembako dan/ataupun menjanjikan “sesuatu” agar seolah-olah mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat untuk mencapai keinginan yang diharapkan.

Fenomena politik uang ini biasa tumbuh dengan subur di Indonesia di masa Pemilu, seperti yang telah terjadi di Pemilu 2019 lalu. Hal ini di karena masyarakat menganggap bahwa politik uang adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu di resahkan. Masyarakat membiarkan tindakan ini karena merasa bahwa politik uang secara normatif tidak harus dijauhi karena meras bahwa politik uang merupakan bagian dari usaha untuk menaiki jabatan, sehingga semua itu berjalan seakan-akan merupakan suatu hal yang wajar saja, padahal pada kenyataannya politik uang jelas terjadi dan itu merupakn penyimpangan, hal tersebut pun diakui oleh masyarakat namun tidak ada protes dari masayarkat terkait politik uang tersebut.

Kasus-kasus politik uang sudah sering terjad di Indonesia. Seperti laporan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat yang mencatat sekiranya ada sekitar 636 dugaan pelanggaran selama masa kampanye Pemilu 2019 yang lalu. Bahkan pada masa tenang pun Bawaslu Jabar masih menemukan pelanggaran terkait politik uang tersebut. Menurut Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jawa Barat Sutarno, Bawaslu Jabar telah menemukan tiga dugaan pelanggaran tersebut saat melakukan patroli di masa tenang yang dimulai sejak Ahad (14/1) pukul 00.00. kasus tersebut terkait politik uang baik pembagian uang tunai maupun barang yang bernilai.

Padahal praktik politik uang ini telah diatur dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu tersebut, untuk kasus Politik uang, pasal 284 menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘menjanjikan atau memberikan’ adalah  inisiatifnya berasal dari pelaksanaan dan tim Kampanye Pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi Pemilih. Yang dimaksud dengan ‘materi lainnya’ tidak termasuk meliputi pemberian barang-barang yang merupakan atribut Kampanye Pemilu, antara lain kaus, bendera, topi dan atribut lainnya serta biaya makan dan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan peraturan KPU.” Namun yang disayangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini hanya mengatur larangan mengenai politik uang yang terbatas dalam waktu dan objek saja. Oleh karena itu aturan ini masih memungkinkan seseorang atau kelompok tertentu untuk melakukan praktik politik uang selama mereka bukan bagian dari tim kampanye, peserta pemilu atau pun tim pelaksana pemilu.

Aturan-aturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut hanya dapat memberikan sanksi terhadap siapa saja yang melakukan politik uang di masa tenang atau pemungutan dan penghitungan suara. Sanksi dan hukuman biasanya mulai dari sanksi 3-4 tahun penjara dan denda hingga Rp36-48 juta rupiah.

Jika masyarakat menganggap bahwa politik uang adalah hal yang wajar dan lumrah maka hal ini menjadi urgent karena kita akan sulit mendapatkan seorang pemimpin ataupun wakil rakyat yang memang mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik dalam melaksanakan dan mewujudkan aspirasi rakyat. Sebab dengan begitu penentuan anggota dewan cenderung relatif di monopoli oleh Parpol yang mempunyai kepentingan pribadi sendiri tanpa memperdulikan kepentigan rakyat, dalam hal ini korupsi dapat menjadi salah satu hasil dari dibiarkannya politik uang tersebut.

Ikuti tulisan menarik Fathiyah Nur Zalfa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler