x

Iklan

Dewa Made

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 14 Mei 2019 15:18 WIB

Ujaran Memenggal Kepala Bukanlah Bahan Candaan

Sudah saatnya kita menyadari bahwa melontarkan kalimat ancaman, entah itu saat demonstrasi atau di media sosial, adalah kesalahan fatal yang tak bisa dianggap lumrah dan 'enteng'.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah video yang memperlihatkan seorang pemuda mengancam untuk memenggal kepala Presiden Jokowi, viral di media sosial. Pemuda yang belakangan diketahui berinisal HS (25 tahun) itu mungkin tidak menyangka celoteh gaharnya saat demo akan berbuntut panjang. Terlepas dari tudingan dukung medukung salah satu capres, fenomena HS ini selayaknya jadi pelajaran terakhir untuk masyarakat Indonesia.

Hanya karena saya menulis opini tentang ini, bukan berarti mendukung sepenuhnya upaya represif aparat, yang ‘bergerak cepat’ melacak dan meringkus HS namun ‘bergerak lambat’ dalam mengungkap kasus penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan. Atau pada kasus lainnya, polisi sangat responsif menangani kasus hoax Ratna Sarumpaet sampai sangat kreatif memberikan paparan kronologi detail kebohongannya.

Saya menggaris bawahi tindakan HS terlepas dari subjek ancaman yang dituju. Karena siapapun orangnya, kalimat ancaman tetaplah meresahkan. Kesalahan fatal HS yang ditindak seharusnya bukan semata karena kalimat ancaman yang ditujukan ke presiden, biar tidak terkesan “mentang-mentang menyangkut presiden, aparat langsung responsif”. Namun kita sebaiknya mulai menyadari bahwa melontarkan kalimat ancaman -entah itu hanya gurauan- di ranah publik atau media sosial, harus dihentikan. Karena kalimat semacam itu bisa diinterprestasikan lain di tiap individu. Dan yang paling dikahawatirkan, memicu aksi brutal dan menebar ketakutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masih ingatkah anda dengan curhat pebulu tangkis asal Denmark, Mathias Boe atas kritiknya terhadap fans bulu tangkis Indonesia yang bringas pada 2017 silam. Saat konferensi pers dia menyatakan kalau dirinya mendapat kecaman bahkan ancaman pembunuhan lewat media sosial karena telah menumbangkan para pemain Indonesia. Dia berkata, “Di media sosial, saya mendapat ancaman akan hidup saya”. Pernyataan itu disambut gelak tawa wartawan, yang kita kira itu hanya gurauan. Namun tawa itu berakhir ketika dia melanjutkan pernyataanya, ”Saya disebut macam-macam dan di sini kalian duduk sambil tertawa. Padahal jika anda mengancam hidup seseorang di negara lain, anda bisa dipenjara. Anda pikir itu lelucon seperti 'Saya ingin meledakkan bom bunuh diri' dan sebagainya”.  Diapun menambahkan,"Kalau saya tak dihormati mungkin itu bagian dari pertandingan. Tapi kalau kalian pikir mengancam orang itu lucu berarti Anda salah didikan orang tua," katanya. Cuplikan videonya bisa disimak di sini.

Kejadian itu seharusnya menampar kita dan mulai memperhatikan etika berbahasa di media sosial, meskipun itu hanya untuk lingkungan pergaulan informal. Walaupun hanya bermaksud bercanda, namun belum tentu kalimat ancaman itu dipersepsikan gurauan oleh penerima/ pembacanya. Alih-alih mengundang tawa, malah membuat penerima pesan itu terancam. Lalu mengutip dari pernyataan Boe, jika menyerukan ancaman pembunuhan dianggap enteng, mungkin anda dan HS memang salah didikan dari orang tuanya (tanpa mengurangi rasa hormat orang tua di seluruh dunia).

Namun, membawa kasus HS ke arah makar juga tidak memperlihatkan tindakan polisi yang elegan dalam menyikapi kelompok anti pemerintah. Padahal, belum tentu HS itu sendiri paham apa itu makar. Kesalahan fatal HS yang perlu ditonjolkan bukanlah soal makar, menyinggung simbol negara, mengancam keamanan negara, dan sebagainya, tetapi lebih menyoroti penggunaan kalimat ancaman itu sendiri. Karena kita tidak seharusnya mendidik masyarakat untuk melontarkan kalimat-kalimat macam itu meskipun saat demo atau di media sosial. Dan memang butuh sanksi yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Tapi yang terpenting juga, polisi harus transparan dalam menangani kasus ini.

Semoga dengan terangkatnya berita mengenai HS membuat kita belajar untuk tidak mudah melontarkan kata-kata bernada mengancam ataupun celotahan kebencian yang brutal. Jika kita semua merasa pintar dan terdidik, seharusnya ada diksi lain yang bisa digunakan untuk menyuarakan kritik. Tapi ingatlah, jangan sampai kebencian malah membutakan kita dalam membedakan benar-salah atau baik-buruk. Dan seperti kata para pemuka agama jagalah selalu iman dan jaga nurani.

Ikuti tulisan menarik Dewa Made lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu