x

Iklan

Wayan Agus Purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 11 Juni 2019 11:10 WIB

Susah Nggak Sih Kuliah di Inggris?

Apa sih rasanya kuliah di Inggris? Saya ingin membagi pengalaman karena saya sempat mengalami shock academic culture alias gegar budaya akademik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa sih rasanya kuliah di Inggris? Saya ingin membagi pengalaman karena saya sempat mengalami shock academic culture alias gegar budaya akademik. Sejak tahun lalu saya kuliah di Glasgow dengan jurusan komunikasi politik. Di Inggris, program master ditempuh dalam waktu setahun, berbeda dengan di Australia atau Amerika yang durasinya mencapai dua tahun. Karenanya, dinamika akademik di negara ini berlangsung cepat dan dinamis.

Kampus-kampus di Inggris (sepertinya) memiliki otonomi untuk menentukan model perkuliahan, sistem kredit semester dan standar penilaian. Setiap kampus memiliki model berbeda untuk sistem kredit. Saya misalnya harus mengambil dan lulus di 180 kredit. Satu mata kuliah, nilainya 10 kredit atau 20 kredit, plus skripsi sebesar 60 kredit. Dengan pertimbangan efisiensi dan minat, saya mengambil enam kuliah (tiga pada term pertama dan tiga di term kedua) plus satu disertasi.

Di jurusan lain, sistemnya berbeda. Apalagi di universitas lain. Ada satu mata kuliah yang dipelajari dalam rentang dua term. Namun ada pula yang hanya dipelajari dalam satu term. Enaknya kampus-kampus di sini adalah pilihan mata kuliah, jenis tugas (apakah ujian, esai atau proyek berkelompok), bahan bacaan tertera dengan terang sebelum memilih mata kuliah. Bahkan statistik nilai mahasiswa tahun lalu pun bisa dilihat secara online, sekadar untuk melihat derajat kesulitan sebuah mata kuliah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaannya, sejak kapan kita bisa memilih mata kuliah? Pengalaman saya jawabannya adalah, sejak kita diterima perkuliahan dan membayar uang pendidikan. Saya memperoleh akses ke portal kampus sejak memperoleh CAS alias confirmation of acceptance of studies. CAS ini kira-kira satu tahap setelah kita menerima letter of acceptance. Urutannya begini: setelah kita mendapatkan LoA (unconditional), kampus akan menanyakan ke kita apakah kita bakal mengambil program yang kita lamar.

Ini lumrah, sebab calon mahasiswa umumnya melamar ke berbagai kampus (sebagai modal mencari beasiswa). Jika kita mengiyakan, kampus akan memberikan nomor CAS, yang juga nantinya berfungsi untuk melamar visa Tier 4 (student visa). Nomor CAS menjadi semacam jaminan bahwa kampus bersedia menjadi penjamin visa.

Setelah mendapatkan CAS, saya mendapatkan akses ke My Campus, instrumen terpenting dalam kuliah karena menjadi pintu masuk ke Moodle, perpustakaan, academic record, jadwal kuliah, memilih mata kuliah, jaringan alumni dan FORUM JUAL BELI barang lungsuran dari mahasiswa yang mau balik ke negaranya! HAHAHAHA.

Mari kita kulik satu-satu.

Perkuliahan
Perkuliahan di Inggris dimulai dari September/Oktober selama setahun. Periode perkuliahan dibagi menjadi dua term yakni term pertama dan berakhir sebelum libur musim dingin. Kemudian term kedua sejak Januari dan berakhir saat liburan musim semi. Setelah itu pada Mei-Juni adalah musim ujian atau deadline esai. Musim panas hingga September digunakan untuk mengerjakan disertasi. Kampus mewanti-wanti, periode musim panas bukan periode liburan meskipun tidak ada perkuliahan.

Secara total, saya mengambil enam mata kuliah. Tiga mata kuliah di masing-masing term. Praktis kemudian saya hanya kuliah selama tiga kali seminggu. Saya sempat berpikir, ini kok nyantai sekali ya, kuliah CUMA tiga hari dalam seminggu. Ternyata, saya salah saudara-saudara. Kuliah di sini sama sekali nggak ada santai-santainya.

Satu term umumnya terdiri dari 10 hingga 11 kali pertemuan. Sejak awal perkuliahan, dosen sudah menentukan buku-buku atau jurnal-jurnal yang wajib dibaca dalam setiap pertemuan. Bahan bacaan ini bakalan didiskusikan di kelas. Biasanya ada empat jurnal atau chapter sebuah buku yang menjadi bacaan wajib setiap kelas. Kemudian ada sekurang-kurangnya empat recommendation reading.

Kalau dirata-rata, mahasiswa pascasarjana membaca sekurang-kurangnya 75 halaman per satu kali pertemuan untuk satu mata kuliah. Ini baru bacaan wajib, belum termasuk bacaan yang direkomendasikan. Wajib nggak sih baca ini? Menurut saya wajib kalau mau datang kelas. Kalau nggak baca, ya bisa dipastikan kita bakalan cengok di kelas.

Kuliah di Inggris dibagi menjadi dua jenis yakni lecture dan seminar (di beberapa kampus disebut tutorial). Lecture adalah kelas besar yang bisa diisi oleh puluhan mahasiswa atau bahkan ratusan mahasiswa. Sedangkan seminar adalah kelas kecil yang pesertanya umumnya tidak lebih dari 20 orang. Seminar umumnya berisi penajaman-penajaman atas teori yang diberikan selama lecture, yang kadang juga diisi dengan perdebatan yang menjemukan. Hehehe.

Salah satu hal yang saya suka dalam iklim akademik di Inggris adalah kebebasan berpendapat. Setidak-nyambung apapun pendapat mahasiswa, tidak bakal ada yang berusaha untuk memotong atau menghakimi, termasuk dari mahasiswa atau dosen. Termasuk ketika kita misalnya tersendat-sendat menyampaikan pendapat karena keterbatasan bahasa. Biasanya dosen akan menghentikan perdebatan jika situasinya sudah meruncing atau ‘menghentikan secara halus’ mahasiswa yang mendominasi forum secara sewenang-wenang. Hehehe.

Esai Akademik
Di Inggris, penilaian umumnya ditentukan oleh tugas (assessment) atau ujian. Tugas umumnya dalam bentuk esai akademik atau proyek untuk jurusan tertentu. Ketika orang tahu saya seorang wartawan, mereka kerap bilang begini, “Wah lo pasti nggak sulit dong bikin esai, kan udah sering nulis.”

Ini pendapat yang sama sekali salah besar saudara-saudara.

Saya merasa academic writing berada pada dimensi yang berbeda dengan tulisan jurnalistik. Sama sekali berbeda. Kesulitannya juga berbeda. Kesalahan saya di pada tugas pertama adalah tidak membaca dengan benar seperti apa tulisan academik itu. Termasuk bagaimana menulis esai dengan baik dan benar. Walhasil, esai pertama saya sukses mendapatkan C2. Hahaha.

Hal lain yang mesti diperhatikan saat menulis esai adalah plagiarisme. Ini pelanggaran serius dalam dunia akademik. Plagiarisme bukan melulu soal mencontek tulisan orang lain, tetapi bagaimana mengutip secara proper. Salah cara mengutip pun bisa masuk dikategorikan plagiat. Bahkan ketika kamu melakukan secara tak sengaja. Awal-awal kuliah, saya stress memikirkan soal plagiarisme ini. Kampus menyediakan piranti lunak seperti Urkund atau Turnitin untuk mengecek plagiarisme karya mahasiswa. Pelajari baik-baik soal plagiarisme ini.

Selama dua term awal, kalau diakumulasi, saya mengerjakan 12 tugas esai plus dua ujian untuk satu mata kuliah. Jumlah kata per esai sekitar 3000 hingga 4000 kata. Yah kalau ditotal, mungkin saya sudah mengerjakan 36 ribu (plus minus 10 persen) kata untuk keseluruhan tugas. Pada term dua, ada enam esai yang dikerjakan dalam kurun waktu tiga bulan. Saya sempat menghitung, satu esai dikerjakan dalam rentang waktu dua minggu. Gimana nggak semaput nih otak kadang-kadang.

Dan, tugas-tugas itu belum termasuk tugas mingguan. Jenis tugas ini sebenarnya nggak wajib dikerjakan dan tidak masuk syarat penilaian. Namun jika nggak mengerjakan, niscaya pasti bakalan cengok dalam seminar. Jadi biasanya saya selalu menyiapkan bahan untuk didiskusikan di kelas. Gini-gini kan saya membawa nama negara. Hehehehe.

Di kampus saya, nilai dihitung dengan skala 1-22, dari H hingga A1 dengan nilai tertinggi. Syarat kelulusan adalah memperoleh nilai C3 atau 13. Di kampus lain, penilaian berdasarkan skala 1-100. Namun pada akhirnya, nilai-nilai itu akan diakumulasi dan dikonversi ke dalam penilaian akhir dengan kategori distinction, merit, pass dan failed.

Perpustakaan/Moodle
Inilah lokasi favorit mahasiswa kere seperti saya. Saya hobi di perpustakaan karena pertama: murah. Nongkrong di perpustakaan nggak usah keluar biaya untuk membeli bir yang harganya 5 pound satu pin. Jadi nongkrong dengan teman sekelas jadi lebih hemat. Kalau mau beli bir tetapi tetap hemat, ya cukup ke bar kampus. Harga birnya cuma 2 pound per pin. Cuma kadang nongkrong di bar kampus sering ketemu alay-alay mahasiswa Universitas Glasgow. Percayalah, kelakuan bule kadang bisa lebih norak ketimbang kita, apalagi kalau sudah mabuk. Hehehehe.

Kedua, perpustakaan adalah pusat kegiatan akademik. Meskipun perpustakaan bisa diakses dari mana saja, kadang enak saja duduk di perpustakaan. Kalau di rumah bawaaanya tidur atau nonton film. Kalau di perpustakaan, kita bisa merasakan aura-aura kompetisi. Kerennya, aura-aura akademik. Mau buka Facebook atau Youtube kok ya rasanya malu. Padahal sebenarnya nggak ada yang peduli juga. Hehehe.

Tetapi sejak di Inggris inilah saya melihat perpustakaan begitu hidup. Perpustakaan kampus saya buka dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 malam. Dan nyaris selalu ramai dari pagi sampai tengah malam. Apalagi kalau musim-musim tugas dan ujian. Mencari satu tempat duduk di perpustakaan sama seperti nyari parkir di Grand Indonesia ketika akhir pekan. Susah!

Perpustakaan di kampus-kampus sini fasilitasnya amat lengkap. Ada kantin, ruang keluarga, hingga mini teater. Tempat hahaha-hihihi ada. Tempat merimbik juga ada. Ada kampus yang perpustakaannya buka 24 jam seperti LSE. Waktu kuliah S1 dulu, kunjungan ke perpustakaan kampus cuma bisa dihitung dengan jari. Sekarang, nyaris saban hari ke perpustakaan. Ketika menjelang tenggat esai, saya bahkan selalu menghabiskan waktu hingga perpustakaan tutup. Ketika musim ujian, perpustakaan Glasgow dibuka selama 24 jam.

Salah satu kecanggihan dunia akademik di sini adalah Moodle (maaf norak hehehe). Dari Moodle inilah kita bisa mengakses berbagai macam hal tentang rekam jejak akademik kita, mengunggah tugas, hingga melihat penilaian. Pengumuman kelas, tugas mingguan, atau tambahan bahan bacaan juga disampaikan lewat Moodle. Sampai sekarang, orang kampung macam saya masih terkagum-kagum dengan Moodle ini. Hehehe.

Layanan akademik
Karena dinamikanya tinggi, serta menyadari bahwa mahasiswanya datang dari berbagai macam belahan dunia dengan system yang berbeda-beda, kampus-kampus di Inggris juga menyediakan berbagai macam fasilitas dan program untuk mahasiswa internasional. Kampus saya misalnya menyediakan kelas secara regular mengenai academic writing dengan beragam topik. Awal-awal kuliah, saya memanfaatkan betul kelas-kelas ini untuk menyamakan frekuensi dengan pendidikan di sini.

Dosen-dosen di sini juga sangat terbuka untuk berdiskusi dengan mahasiswa. Umumnya mereka punya office hour. Kita tinggal mengirimkan email untuk membuat janji dengan mereka. Cuma ya mereka pelit waktu. Mereka nggak ada waktu untuk berbasa-basi. Waktu yang disediakan pun hanya 15 menit. Kalau diskusinya asyik, mungkin bisa lebih dari itu. Jadi, pastikan kita sudah membawa isu apa yang mau didiskusikan.

Nah, kampus-kampus juga menyediakan layanan konseling bagi mahasiswa yang stress karena ritme akademik yang tinggi. Bagi saya, iklim akademik di Inggris memang mengagetkan. Buat yang lebih tidak siap, ini bisa membuat depresi. Apalagi kalau proses adaptasi lingkungan dan akademik tidak berjalan mulus. Kampus di sini sama sekali tidak memandang sepele mahasiswa yang stress.

Setelah hampir sembilan kuliah, saya telah mendapatkan seluruh nilai di dua term. Syukurnya, tidak malu-maluin. Hehehe.

Ikuti tulisan menarik Wayan Agus Purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB