x

Cover buku Saya, Ayah dan Tragedi 1965

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 28 Juni 2019 17:11 WIB

Saya, Ayah dan Tragedi 1965

Kisah hidup Nani Sutojo dan sebagai anak korban Tragedi 1965 dan pandangannya untuk menyelesaikan persoalan Tragedi 1965.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Kenangan Tak Terucap - Saya, Ayah dan Tragedi 1965

Penulis: Nani Nurrachman Sutojo

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: xliv + 228

ISBN: 978-979-709-693-9

Siapa sesungguhnya korban Tragedi 1965? Apakah keluarga para jenderal yang diculik dan kemudian dibunuh? Apakah keluarga-keluarga PKI dan yang dianggap sebagai PKI juga adalah korban? Buku ini sangat menarik karena membahas Tragedi 1965 dengan perspektif yang berbeda. Perspektif para korban. Dan korbannya adalah keluarga para jenderal yang terbunuh dalam tragedi tersebut serta keluarga-keluarga yang dituduh sebagai PKI yang juga ditinggalkan oleh orang tercintanya. Mengapa Nani melihat tragedi ini dengan cara yang berbeda? Mengapa ia lebih mengedepankan korban sebagai titik pandang? Ternyata pengalaman hidupnya sejak kecil ditinggal ibu, pengalamannya dalam bertemu dengan kemajemukan, pendidikannya di fakultas psikologi dan trauma yang dihadapi sebagai anak salah satu jenderal yang terbunuh telah membentuk Nani sedemikian rupa.

Nani kehilangan ibu saat berumur 2 tahun. Meski ia mendapatkan ibu pengganti yang sangat menyayanginya, namun ia merasa ada yang hilang dalam hidup masa kecilnya.

Guru, buku dan ayahlah yang menjadi pendidik. Nani sangat kagum kepada ayahnya karena dari beliaulah ia belajar banyak tentang kehidupan. Bahkan Ali Said mengatakan bahwa Nani sangat mirip dengan ayahnya (hal. 54). Buku-adalah teman Nani yang sesungguhnya. Ayahnya mengenalkan buku-buku yang baik kepada Nani. Buku tentang Kartini adalah salah satu buku yang memberi kesan mendalam kepadanya.

Selain dari buku-buku, Nani juga sangat terkesan tentang pengalamannya bersekolah di London. Pengalaman menjadi minoritas (satu-satunya kulit berwarna di antara murid kulit putih) dan diperlakukan secara baik, membuat pandangannya tentang liyan sangat dipengaruhi oleh pengalaman tersebut. Nani juga sangat terkesan dengan bagaimana proses belajar di dalam kelas dan tentang guru-gurunya.

Dalam buku ini Nani menggambarkan sosok ayah (Brigjen Sutojo) yang sangat dikagumi Nani. Brigjen Sutojo adalah teladan hidup bagi Nani. Nani bercerita sangat banyak tentang sosok sang ayah ini; Sutojo sebagai seorang ayah, bukan sebagai seorang militer. Memang Nani menyadari bahwa bagaimana pun gaya tentara merasuk juga dalam cara Sutojo menjadi ayah. Terutama dalam hal disipilin. Sutojo tidak suka anggota keluarganya yang ceroboh dan tidak mengembalikan barang pada tempatnya. Itulah sebabnya Nani sempat berdiaman dengan ayahnya karena dituduh tidak memperlakukan mesin ketik dengan benar. Nani sangat menyesal karena peristiwa mesin ketik tersebut tidak sempat diselesaikannya dengan ayahnya. Sutojo keburu diculik dan dibunuh dalam tragedi 1965.

Setelah ditinggalkan sosok ibu, tiba-tiba Nani juga harus kehilangan sosok ayah yang dikaguminya. Ada suatu saat di mana tiba-tiba saya sadar bahwa kami bertiga telah menjadi yatim-piatu! … Rasa kedukaan seorang anak yang ditinggalkan orang tua untuk selamanya, sebetulnya justru baru dimulai ketika rasa duka orang dewasa berakhir (hal. 68). Kedukaan, tepatnya trauma yang dialami digambarkan begitu rinci. Perasaan seorang anak yang ditinggal oleh orang tuanya melalui sebuah peristiwa yang tragik sangat membebani Nani. Bahkan ia memerlukan waktu 22 tahun untuk bisa berdamai dengan situasinya (hal. 71). Penghargaan dan sebutan sebagai keluarga Pahlawan Revolusi tidak mampu mengisi dan menghibur kekosongan dan rasa kesepian yang luar biasa. Ia sempat memandang sebutan tersebut dengan sinis karena merasa tidak mendapat keuntungan apa-apa. Posisinya sebagai keluarga Pahlawan Revolusi justru membuatnya merasa lelah. Orang-orang dengan tanpa perasaan menanyakan detail kejadian seperti menanyakan tentang sebuah benda dan dilain sisi orang-orang merasa betapa enaknya sebagai keluarga Pahlawan Revolusi yang hidupnya ditanggung negara (hal. 77).

Trauma itu bahkan merengut Ari, adiknya karena terserang penyakit sirosis dan Nani sendiri menderita kanker payudara! Ari yang terus dihantui tragedi akhirnya harus menyerah kepada penyakit sirosis. Hanya melalui perdamaian dengan diri sendirilah yang membuat Nani mampu mempertahankan hidupnya dan bahkan ikut serta memperjuangkan pihak-pihak korban. Rekonsoliasi harus dimulai dari diri sendiri.

Siapa sesungguhnya korban dari Tragedi September 1965? Apakah hanya keluarga para jeneral yang menjadi korban? Atau ada pihak lain yang menjadi korban? Secara jujur Nani berpendapat bahwa “beberapa ratus bahkan beberapa ribu orang yang dituduh PKI diambil paksa, ditahan, disiksa, baik di dalam penjara maupun yang kemudian dibuang ke Pulau Buru” (hal. 75). Berkaca dari peristiwa pembunuhan Presiden Kenedy, Nani menyadari bahwa proses investigasi pembunuhan berlatar politik tidaklah mudah. Nani menyatakan bahwa rekonstruksi sejarah atas peristiwa adalah milik mereka yang berkuasa (hal. 94). Sehingga Nani lebih memahami peristiwa Tragedi 1965 dari sisi korban. Bukan dari sisi siapa yang (harus menjadi) menang dan siapa yang kalah.

Setelah berhasil berdamai dengan diri sendiri, Nani berupaya untuk melakukan rekonsiliasi. Bagi Nani, rekonsiliasi tidak perlu menunggu kebenaran sejarah. Rekonsiliasi sangat mendesak supaya kita sebagai bangsa bisa mewariskan sesuatu yang membangun di masa depan. Kekelaman masa lalu tetap harus diingat. Namun menggunakan kekelaman masa lalu untuk saling menyalahkan dan saling menghujat, justru membuat bangsa ini tidak bisa melangkah maju. “Selama ini kita menjadi bangsa yang kalah karena takut menatap bayangannya sendiri, dan tidak berani menyelesaikan masalahnya,” ungkapnya (hal. 108).

Nani mula-mula terlibat dalam Forum Leuven, yang menyelenggarakan sarasehan bertema “Mawas Diri Peristiwa September 1965” (hal. 98). Ia menyampaikan pergumulannya sebagai korban yang disebut sebagai pihak “yang menang.” Padahal penderitaan dan bahkan trauma tak bisa dihindarinya. Dalam forum ini hadir juga korban dari pihak yang dianggap “kalah.” Sejak Forum Leuven, Nani kemudian aktif di Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).  Saat ada gagasan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Nani melamar dan lolos sebagai calon. Sayang Komisi ini tidak jadi dibentuk oleh Negara.

Sudah saatnya generasi muda bangsa ini meneladani Nani untuk berani menyelesaikan masa lalu dan melakukan rekonsiliasi supaya kita bisa semakin maju sebagai bangsa.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler