x

Cover buku Pramoedya Dari Dekat Sekali

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 5 Juli 2019 14:55 WIB

Pramoedya Ternyata Punya Masalah Kecanduan

Hal-hal yang belum diketahui umum tentang Pramoedya yang diungkap oleh adiknya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pramoedya Dari Dekat Sekali

Penulis: Koesalah Soebagyo Toer

Tahun Terbit: 2018 (Cetakan II)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: xv + 272

ISBN: 978-602-481-015-3

 

Tak bisa dipungkiri Pramoedya Ananta Toer adalah seorang legenda. Ia dikagumi di dalam dan luar negeri. Bahkan ada peneliti yang rela memperhatikannya selama bertahun-tahun. Daniel Dhakidae meneliti Pram selama 25 tahun, A Teeuw 40 tahun dan H.B. Yasin selama 45 tahun. Karya-karya beliau telah merambah pembaca di berbagai belahan dunia. Karya-karya Pram setidaknya sudah diterjemahkan ke 41 bahasa asing. Pram adalah satu-satunya sastrawan dari Indonesia yang pernah dinominasikan untuk menerima Nobel Sastra. Tetraloginya – yang dalam Bahasa Inggris dinamai The Buru Quartet membuatnya dinominasikan untuk menerima penghargaan sastra tertinggi dunia. Sebuah penghargaan bergengsi dari negeri Swedia.

Namun bagaimana sesungguhnya Pram sebagai manusia biasa? Bagaimana posisi Pram di keluarganya? Buku ini mengungkap secara detail hubungan Pram dengan keluarganya. Koesalah Toer adalah adik kesayangan Pram. Itulah sebabnya cerita-cerita dari Koesalah tentu sangat dekat dan sangat dalam. Itulah sebabnya buku ini dijuduli “Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali.” Buku ini semakin melengkapi pengetahuan saya tentang Pram, karena sebelumnya saya sudah membaca buku “Pram Dari Dalam” karya Soesilo Toer, adik Pram lainnya.

Mungkin banyak dari kita yang meyakini bahwa Pram adalah seorang yang sangat logis dan tidak percaya kepada tahyul. Nyatanya, Pram bercerita tentang pengalamannya saat menjadi tentara. Ia pernah mendatangi dukun supaya mendapat kekebalan. Meski ia tidak percaya tetapi leher dan lidahnya tidak putus saat diiris dengan pedang. Jimat berupa tulisan Arab yang disimpannya di dalam topinya membuat peluru yang diberondongkan para tentara Inggris luput semua. Demikian juga bayonet yang ditusukkan ke pelipisnya tidak menimbulkan luka.

Setelah pulang dari Pulau Buru, kesehatan Pram tidaklah prima. Ia menderita gula darah. Alih-alih berobat ke dokter, Pram lebih percaya kepada bawang putih. Ia selalu “mengeremus” – memakan bawang putih setelah makan. Ia sangat yakin dengan khasiat bawang putih ini. Bahkan ia menyarankan kepada teman-temannya yang sakit untuk menirunya.

Meski Pram adalah orang yang sangat logis dan selalu menggunakan nalar dalam menulis, ternyata ia tak mengesampingkan pengalamannya dengan klenik dan keyakinannya akan obat herbal (bawang putih) yang belum ada rujukan akademisnya.

Pram adalah seorang yang sangat peduli kepada keluarganya. Pramlah yang membawa kedua adiknya yaitu Koesalah dan Soesilo ke Jakarta untuk disekolahkan. Ia juga sangat perhatian kepada adik-adiknya. Baik adik perempuan maupun adik lelakinya. Keluarga Mastoer yang dikomandoi oleh Pram selalu saling membantu. Meski ia sangat perhatian kepada keluarganya, ia bukan orang yang suka menghabiskan waktu dengan keluarganya. Salah satu hal yang menjadi pokok bahasan di buku ini adalah tanah di Blora. Tanah warisan Mastoer itu telah menyita banyak emosi keluarga besar Pram. Tanah itu secara semena-mena dikuasai oleh negara sejak tragedi 1965. Proses untuk mengmabil kembali dan mau diapakan tanah tersebut membuat pertengkaran di antara anak-anak Mastoer. Pram berhasrat supaya tanah tersebut dijadikan musium – Pram ingin tinggal di Blora di masa tuanya. Namun dinamika yang luar biasa membuat beberapa kerabatnya ingin menjual saja tanah tersebut.

Tak bisa dipungkiri bahwa Pram sangat erat dikaitkan dengan Lekra dan PKI. Pram tidak pernah memungkiri hal tersebut. Bahkan ia menganggap hal itu adalah sebuah kehormatan (hal. 185). Ia tidak pernah menyesal akan pilihannya itu. Namun harus diakui bahwa Pram bukanlah orang yang senantiasa setuju dengan apa saja yang ada di lingkungan PKI. Pram tidak disukai Njoto (hal. 136). Pram merasa aneh Aidit membanggakan rakyat yang merebut tanah dengan golok di Kabupaten Bandung (hal. 137). Konflik dengan Njoto dan Aidit serta para petinggi PKI lainnya menunjukkan bahwa Pram memiliki pendapatnya sendiri tentang bagaimana kebangsaan dan kemanusiaan harus dijalankan.

Kepengarangan Pram bermula dari majalah yang diterbitkan oleh pamannya, Moedigdo, yang dipanggilnya Om Dig. Om Dig inilah yang membawa Pram ke Jakarta untuk disekolahkan di Taman Siswa. Ia berkawan dengan Asrul Sani dan Soekirno. Mereka adalah siswa-siswa yang gemar mengarang. Ketika akhirnya Pram memutuskan untuk keluar dari tentara dan bekerja sebagai insan kata-kata (wartawan dan menulis), ia berkembang menjadi seorang penulis yang disegani. Sebagai seorang penulis ia mempunyai kawan-kawan biasa dan yang akrab serta lawan-lawan. Apalagi saat Pram bergabung dengan Lekra. Di antara kawan yang sangat membantunya adalah Mahbub Junaidi dan Resink. Kedua orang ini membantu Pram untuk supaya ia tetap bisa menulis dan menerbitkan tulisannya. Sementara lawan-lawannya adalah Taufiq Ismail, Mochtar Lubis dan Rosehan Anwar. Meski mereka tidak akur, tetapi mereka masih bisa saling bertemu. Contohnya pertemuan di rumah Ajip Rosidi tanggal 8 Agustus 2001. 

Tentang hadiah nobel Pram memang sangat mengharap (hal. 217). Meski dinominasikan berkali-kali, namun akhirnya toh penghargaan dari Swedia itu tak pernah diterimanya. Alasan yang dikemukakan oleh Jomo - kawannya dari Malaysia adalah karena panitia Nobel hanya membaca karya Pram dalam Bahasa Inggris yang terjemahannya kurang baik“ (hal. 249).

Satu lagi yang diungkap dalam buku ini adalah bahwa karya Pram selalu berdasar dari kisah nyata. Kisah tentang ibunya, tentang pertempuran saat dia menjadi tentara dan kisah-kisah lain yang ia catat, dijadikan sebagai bahan tulisan-tulisannya.

Tentang agama, Koesalah menyatakan bahwa Pram pernah ikut sembahyang Jumat saat ditahan di Bukit Duri. Pram juga mengucap “Allahuakbar” saat melepas nyawa ayahnya. Cerita tentang Pram yang mengucap Allahuakbar juga disampaikan oleh Soesila Toer dalam bukunya “Pram Dari Dalam.” Menurut pengakuan Pram sendiri, saat masih kecil ia ikut mengaji saat di Blora. Namun Pram memang tidak begitu perduli dengan ibadah. Bahkan ia berpesan supaya saat dia mati tidak dilakukan persembahyangan.

Ada fakta lain yang disampaikan oleh Koesalah dalam buku ini tentang Pram. Pram ternyata kecanduan rokok dan kecanduan bakar sampah. Ah… ada-ada saja cerita orang besar yang ternyata adalah manusia biasa yang bisa marah, cerewet, manja dan ngeyel.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu