x

Gambar Ilustrasi

Iklan

Febriano Kabur

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Juli 2019

Senin, 8 Juli 2019 17:42 WIB

Upaya Seorang Guru dalam Membangkitkan Semangat Mental Siswa

Upaya Seorang Guru dalam Membangkitkan Semangat Mental Siswa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

                    

           Oleh: Febriano Kabur

Di sebuah kota kecil yang begitu nun jauh di negeri seberang, akhir-akhir ini bahkan dari dulu kala kota itu selalu disebut dengan kota yang bersuhu dingin, dengan dihiasi pohon-pohon yang begitu menjulang tinggi. Dengan gunung-gunung yang begitu terlihat tinggi.

Pohon terbesar yang dinobatkan sebagai pohon sejarah pun masih saja berdiri kokoh di pusat kota dingin itu hingga saat ini. Pohon itu biasa disebut oleh para penghuninya dengan sebutan pohon beringin.

Bangunan-bangunan tua yang telah berdiri sejak lama itu pun masih saja berdiri kokoh. Bangunan-bangunan itu hingga kini terletak diantara toko-toko. Toko-toko yang dibangun sebagai pusat perbelanjaan di kota dingin itu yang baru-baru saja dibangun dengan kokoh.

Ketiga orang Musafir yang tak diketahui namanya tiba-tiba datang dengan jalan gontai sambil menggendong masing-masing tas ransel dengan memandang ke arah mana-mana, ketiga kepala mereka tegak melihat cakrawala, memandang bangunan-bangunan itu seolah-olah ada yang sedang dicari. Mereka melintas di kota dingin itu tanpa berkata-kata, tanpa menyapa entah kepada siapa. Mereka tak memiliki keluarga ataupun kenalan. Kedatangan pertama di kota dingin itu, mereka terlihat diam. Tampak mereka sunyi dalam keriuhan berpikir, dengan kepala mereka yang terlihat pusing tujuh keliling.

Apakah mereka mencari sesuatu untuk dibawah pulang? Apakah mereka mencari tempat untuk mereka mencari nafkah? Entahlah.

Kabar pun tersiar, bahwa ketiga orang Musafir itu datang lantaran ingin mencari tempat untuk mereka mengabdi ilmu dan ingin melanjutkan jenjang pendidikan mereka ke sekolah yang lebih tinggi.

Seorang supir angkot yang sementara mengemudi menaikkan volume musiknya yang begitu tempias tampak menggetarkan dinding kaca-kaca pada bangunan-bangunan tua yang berada di kota dingin itu. Ia pun menghampiri ketiga orang Musafir tersebut di pinggir jalan, Ia mengecilkan volume musiknya lalu bertanya, "kemana kalian ingin pergi?,"

Salah Seorang Musafir dari mereka menjawab, "kedatangan kami untuk mencari sebuah sekolah. Sekolah yang diajar oleh seorang guru yang hebat. Ia kerap disapa ' Guru Frans'. Orang-orang mengakuinya hebat, termasuk orang-orang di negri kami. Katanya guru Frans bisa mengubah kehidupan orang lain. Dan, kami ingin datang menemuinya untuk mengubah hidup kami ke arah yang lebih baik. Guru Frans juga dianggap mampu mencerdaskan kehidupan kami dari ketersesatan cara berpikir kami yang bodoh ini," ungkap salah satu dari ketiga Musafir itu.

Mendengar nama guru Frans, tampak sudah tak asing lagi terdengar di telinga supir angkot dan khalayak ramai di kota itu. Dengan spontan, supir angkot itu pun meminta ketiga orang Musafir tersebut untuk menaiki angkotnya. Ia pun langsung mengantarkan ketiga orang Musafir tersebut ke sekolah dimana tempat guru Frans mengajar.

Setibanya di sekolah guru Frans, ketiga orang Musafir tersebut menatap serius bangunan sekolah tempat guru Frans mengajar. Terlihat megah. Lingkungan bersih. Mereka menatap sekolah itu dengan cahaya imajinasi bayang-bayang tatkala harapan sukses menanti.

Guru Frans, bersama rekan-rekannya menyambut kedatangan mereka serta mempersilahkan ketiganya untuk menunjukkan berkas-berkas yang mereka bawakan itu. Sejumlah uang yang dibawa ketiga orang Musafir tersebut pun turut dilimpahkan kepada guru Frans sebagai tanda pembelian jasa.

Guru Frans pun menerimanya dengan memberikan sebuah kwitansi kelunasan sebagai bukti bahwa ketiga Musafir tersebut telah resmi menjadi murid guru Frans itu di sekolahnya, dengan imbalan bahwa guru Frans akan mendidik mereka dengan kemampuan-kemampuannya beserta yang dimiliki para guru lainnya.

Rasa haru bercampur bangga begitu dirasakan oleh ketiga Musafir itu, lantaran kini mereka telah resmi dinyatakan sebagai murid baru Guru Frans di sekolahnya.

Dengan mengenakan pakaian seragam khusus yang berlogo sebagai tanda sekolah Guru Frans yang telah dilimpahkan terhadap ketiganya, tampak membuat ketiga Musafir itu gengsi. Gengsinya tak lain selain mereka berada di tempat umum dan di hadapan khalayak ramai. Gengsi saat mereka berada di jalanan. Gengsi terhadap mereka-mereka yang penuh akan keterbatasan hidup. Bahkan, mereka pun gengsi terhadap sesama yang sedang mengabdi ilmu melalui didikan guru-guru di sekolah lain.

Seragam yang mereka kenakan itu pun akan mudah diketahui khalayak ramai bahwa mereka adalah murid baru guru Frans di sebuah sekolah yang terkenal itu.

Tatkala guru Frans selalu menghimbau keras terhadap murid-muridnya, agar dapat menjaga diri, jaga nama baik guru-guru, serta harus menjaga nama baik sekolah disaat mengenakan pakaian seragam sekolah mereka di tempat umum dan di jalanan. Guru Frans tak inginkan itu terjadi. Guru Frans tak ingin sekolahnya dinodai dengan hal-hal yang negatif akibat dari kelakuan murid-muridnya itu di jalanan dengan mengenakan seragam sekolahnya.

Tak lepas pula dari kalimat sinis dari ketiga Musafir itu terhadap orang-orang yang selalu saja menyudutkan keterbatasan dan kemampuan mereka. Salah satu dari ketiganya pun berkata, "Terserah! Intinya sekarang kami sudah menjadi muridnya guru Frans di sekolahnya. Lalu, kalian mau apa?"

Selain dikenal dengan mutu sekolahnya yang dikatakan baik, siapa yang tidak mengenal guru Frans ini? Guru Frans dianggap telah berjasa dan kini telah banyak orang-orang sukses melalui tangan guru Frans serta peranan guru-guru di sekolahnya dengan memiliki modal kemampuan mereka dalam mendidik murid-muridnya dengan segala cara dan berbagai cara yang dilakukan untuk kebaikan anak-anak didik mereka.

Tatkala pula di suatu waktu, orang-orang bertanya mengenai asal usul ketiga orang Musafir tersebut, mereka selalu saja mengungkapkan isi hati mereka dengan dibaluti penuh rasa haru, salah satunya berujar, "Kami bukan orang sini. Kami hanya orang-orang yang dilahirkan dari negri berantah yang begitu penuh akan keterbatasan hidup. Hidup di tempat kami hanyalah penderitaan yang kami rasakan. Sejak kami lahir di dunia ini. Bahkan penderitaan orang tua kami begitu tak pernah kunjung ada ujung. Penderitaan kami tak pernah tersentuh oleh uluran tangan pemerintah. Kami ingin merubah segalanya itu. Tetapi kami tak pernah menemukan solusi yang baik di tempat asal kami. Dan solusi terbaik yang kami temukan hanyalah dengan beranjak ke kota ini dengan berharap agar dapat mengubah nasib kami kelak melalui jalur pendidikan. Dan, saat ini kami bangga. Bangga atas diterimanya kami sebagai murid didikan Guru Frans di sekolahnya," ungkap salah satu dari ketiga Musafir itu.

Namun, harapan mereka itu ternyata hanyalah sebuah impian semata. Kabar perih kini tiba dan dirasakan ketiga Musafir itu lantaran guru Frans yang mereka bangga-banggakan itu terpaksa harus mengeluarkan ke tiga orang Musafir tersebut dari sekolahnya dikarenakan kemampuan yang mereka miliki begitu terbatas, mereka dinyatakan bodoh, nilai mereka anjlok, dan tak sesuai dengan keinginan guru Frans beserta guru lainnya.

Ketiga Musafir itu pun diminta keluar dan dinyatakan tidak sebagai murid guru Frans lagi di sekolah itu. Ketiganya divonis 'gugur'  dari sekolah guru Frans, atau yang biasa disebut dengan 'naik kelas dipindahkan'.

Guru Frans dan guru lainnya pun meminta mereka untuk sesegera mungkin untuk pindah ke sekolah lain untuk mencari Guru-guru yang jauh lebih mampu mendidik kebodohan mereka. Guru Frans beserta guru lainnya seakan-akan begitu pasrah mendidik keterbatasan intelektual yang mereka miliki.

Sungguh tak terbayangkan lagi, bukan? Bagaimana dengan perasaan ketiga orang Musafir itu yang jauh-jauh hari telah lama menanti dan bermimpi agar kesuksesan tiba melalui tangan guru Frans di sekolahnya yang dikatakan terkenal itu? Yah. Ketiganya kini harus pergi dan cukup berpasrah atas keputusan guru Frans dan guru lainnya itu yang begitu keji dengan secara langsung menghancurkan diri mereka secara psikologi yang mereka alami.

Ketiganya pun pergi meninggalkan sekolah Guru Frans beserta guru lainnya dengan pipi mereka yang dibasahi dengan tetesan air mata penyesalan.

Mereka menyesal, menyesal lantaran telah memilih guru Frans dan memilih sekolahnya itu dengan rela menghabiskan uang yang begitu banyak dan telah mereka limpahkan semuanya untuk memperoleh hak pendidikan yang baik di sekolah itu.

Sambil berjalan meninggalkan sekolah guru Frans, salah satu dari ketiga orang Musafir tersebut berujar dengan raut wajah nan penuh kecewa, "guru Frans tidak mendidik kita dengan keterbatasan yang kita miliki. Kita bisa apa? Telah sekian banyak uang telah kita habiskan di sekolahnya untuk meraih didikan yang baik untuk menjemput masa depan yang kita cita-citakan. Tetapi guru Frans sepertinya menganggap kita ini sebagai pekerjanya. Karena hanya orang-orang yang bekerja sajalah yang patut untuk dikeluarkan apabila pekerjaannya tidak sesuai dengan keinginan dari Sang Tuannya, kita kok disamakan saja dengan pekerja. Lagian kedatangan kita disini bukan untuk mencari gaji, tetapi kita datang mencari ilmu," ujarnya kritis dengan nada kesal.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Mereka berjalan di bawah terik panasnya siang hari di kota itu. Dan, mereka tak sengaja menemui seorang pria paruh baya yang mengenakan baju kemeja bermotif batik. Menenteng buku. Lalu ketiganya menyapa, "siang Pak, Bapak sedang menunggu siapa?" Tanya salah satu dari Musafir itu.

"Saya sedang menunggu ojek. Mau pulang ke rumah. Kenapa Nak? Kalian mau kemana?" tanya pria paruh baya itu.

"Sekarang kami bingung, Pak. Kami ingin pulang ke tempat asal kami, tetapi kami takut dimarahi orang tua kami. Kami sebelumnya merupakan murid di sekolah guru Frans. Namun, guru Frans begitu tega mengeluarkan kami hanya karena nilai kami anjlok dan tidak sesuai dengan keinginan guru Frans dan guru-guru yang lain," jawab salah seorang Musafir itu.

Pria paru bayah itu pun menyambut kegelisahan mereka dengan senyumannya yang begitu terpancar jelas di wajahnya sambil menguatkan dan memberi
motivasi terhadap ketiga Musafir itu.

Tak terduga sebelumnya, pria paruh baya itu ternyata merupakan salah seorang Guru. Ia kerap disapa 'Guru Nober'. Dia mengajar di sebuah sekolah di kota tersebut. Sekolah yang tak pernah di anggap baik dari khalayak ramai di kota itu. Mereka sering menganggap bahwa sekolah guru Nober merupakan 'Sekolah sesuka hati, pergi sesuka hati, pulang juga sesuka hati,'. Banyak yang menganggap bahwa sekolah itu sesuka siswa. Guru-gurunya pun dianggap lemah dan tak mampu mencerdaskan siswa-siswi. Sekolah yang penuh keterbatasan. Keterbatasan ruang, maupun fasilitas yang dimiliki lembaga.

Tetapi sebagian orang menganggap bahwa sekolah tempat guru Nober mengajar itu dikatakan sebagai sekolah yang mampu membangkitkan semangat-semangat peserta didik yang terbuang dari sekolah-sekolah asal mereka.

Pada kesempatan itu, guru Nober berkata kepada ketiga Musafir itu, "Tidak apa-apa. Kalian jangan putus asa begini hanya karena dikeluarkan guru Frans. Masa depan kalian masih panjang. Kalian boleh saja saat ini terjatuh, tetapi kalian harus kembali bangkit untuk meraih impian dan cita-cita kalian. Sudahlah! Lebih baik sekarang kamu pulang ke rumah masing-masing. Ingat ya! Jangan jadikan masalah ini sebagai alasan agar kamu tidak ingin berusaha lagi. Anggap ini sebagai pelajaran. Sekarang pulang, besok kamu bertiga temui saya di sekolah kami di depan itu. Bawa dengan berkas-berkas kalian, jika kalian ingin bangkit, dan masih ingin sekolah!" Pinta Guru Nober menguatkan mereka sambil berjalan dengan menunjuk sebuah bangunan tua yang merupakan sekolah dimana tempat guru Nober itu mengajar. Guru Nober pun mengajak ketiganya untuk menemuinya dihari esok.

Mendengar perkataan dari guru Nober, ketiga orang Musafir itu pun tak lagi murung. Mereka kembali bersemangat. Sesama mereka saling menyahut dan salah satunya berujar, "Bapak ini telah menyemangatkan kita. Saya yakin, Beliau merupakan seorang Bapak pendidik yang begitu bijak dan bermanusiawi. Dia membangkitkan kita yang jatuh dan menyemangatkan kita yang lemah ini," akunya.

Keesokan harinya mereka menemui guru Nober. Dengan hati guru Nober yang begitu terbuka atas belas kasih yang dirasakannya terhadap ketiga Musafir itu, guru Nober bersedia terhadap ketiganya untuk menjadi muridnya, dan menerima mereka untuk belajar di sekolahnya.

"Jika kalian mau, kalian boleh belajar disini dan menjadi murid saya,". Ujar guru Nober tersenyum.

"Di kota ini kamu tidak mempunyai alasan untuk berputus asa. Tak hanya sekolah guru Frans yang kamu kenal itu yang bisa mendidik kalian. Banyak pula guru-guru yang bisa mendidik kalian di sekolah ini. Termasuk saya sendiri. Saya bersama teman-teman yang ada disini bersedia mendidik kamu dengan kepala dingin dan dengan penuh kesabaran yang kami miliki, walaupun sedikit dengan cara kekerasan. Tetapi demi kebaikan kamu semua, agar kelak kamu akan menjadi orang-orang berguna bagi masa depan," Tambah guru Nober dengan terus memberi mereka motivasi.

Mendengar ucapan guru Nober yang penuh nasehat serta mempunyai makna dan nilai itu, ketiga Musafir itu pun tampak kembali tersenyum bercampur haru. Ketiganya telah bertekad untuk melanjutkan hak pendidikan mereka itu di sekolah guru Nober dengan melalui uluran belas kasih yang diberikan guru Nober terhadap ketiganya.

Disitulah ketiga Musafir itu sadar secara kasat mata, secara hati dan pikiran. Bahwa guru yang benar-benar memiliki jiwa pendidik itu, telah tertanam pada diri guru Nober.

Yah. Guru Nober tampak lebih jauh memahami psikologi ketiga Musafir itu. Hati guru Nober begitu terbuka lebar. Guru Nober tak tega melihat nasib mereka sebagai generasi penerus itu, harus putus di tengah jalan.

Guru Nober sebagai guru yang patut diteladani.

Dalam cerita yang dikisahkan ini, guru Nober memang layak dikatakan sebagai contoh lantaran guru Nober memiliki pengetahuan psikologi pendidikan yang sangat memadai pada zaman sa'at ini.

Guru Nober telah dinyatakan mampu melayani sepenuh hati terhadap ketiga Musafir yang bodoh itu dengan kemampuan serta akal pikiran yang dimilikinya.

Guru Nober memiliki tanggung jawab penuh, guru Nober memiliki motivasi dalam mendidik ketiga orang Musafir yang bodoh itu.

Lantas, buat apa dikatakan guru kalau siswanya diharuskan untuk mengikuti kemauan yang diinginkan? Memaksakan siswa itu harus mengikuti keinginan sang guru? Bukankah itu merupakan bagian dari tekanan terhadap siswa?

Guru Nober, yang dikisahkan disini, benar-benar paham terkait tugas dan fungsinya sebagai seorang guru. Guru Nober tampil apa adanya sebagai seorang guru. Bukan ada apanya. Guru Nober dinyatakan telah mampu mengembangkan pola pikir terhadap anak yang akan dididiknya itu.

Guru Nober telah bersedia dengan ikhlas menerima ketiga Musafir yang sebelumnya telah diusir guru Frans dari sekolahnya. Guru Nober pun menerima ketiganya dengan lapang hati.

Guru Nober merupakan guru yang berintegritas lantaran Ia mampu menumbuhakan nilai, ide dan inovasi terhadap ketiga Musafir itu. Karena menjadi guru yang profesional sebetulnya, sedikit mengutip pernyataan yang sering kali Om Rocky Gerung sebut "sebuah keharusan dalam upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa. Itu merupakan perintah konstitusional," Dan, kalimat itu telah tertanam pada diri guru Nober.

Yah. Karena menimbang para guru ialah garda terdepan yang berinteraksi langsung terhadap anak didik.

Gurulah yang menjadi orang pertama yang membuat siswa mengerti dan paham mengenai materi yang diajarkan.

Guru Nober, telah berperan menjadi aktor yang berpengaruh terhadap ketiga sang Musafir tadi, yang erat kaitannya dengan etika, kemampuan untuk bertahan dalam hidup, moral, empati, kreasi, dan sebagainya.

Sepatutnya kita perlu banyak belajar dari guru Nober. Guru Nober dikatakan sebagai seorang guru yang berhasil menanamkan cara berpikir ilmiah terhadap ketiga Musafir tadi, serta guru Nober pula memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai promotor, fasilitator, korektor, konsultan, dan manajer dalam mengelola proses terhadap anak didik.

Guru Nober mempunyai sikap yang profesional lantaran dirinya mampu membangun dan membina hubungan dengan ketiga Musafir yang tadinya berpatah semangat itu. Guru Nober mendidik ketiga Musafir itu dalam suasana yang begitu berlangsung harmonis dengan merajut hubungan yang begitu erat layaknya seperti keluarga.

Meningkatkan kemampuan dan sensitivitas terhadap anak didik untuk mengenal kondisi, sifat, tingkah laku, dan berbagai hal lain terkait dengan mengubah pola pikir anak didik. Itulah yang menjadi sebuah keharusan bagi guru yang ingin bersikap profesional. Sama halnya dengan guru Nober.

Sosok cerminan guru Nober masih sangat diharapkan dan dibutuhkan bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Begitulah.

(Kisah ini hanyalah fiksi belaka. Apabila ada kesamaan nama dan tempat, itu hanya terjadi secara kebetulan)




 

 

 

Ikuti tulisan menarik Febriano Kabur lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB