Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Genderang pengesahan RKUHP segera berbunyi. Berbagai reaksi mengemuka tatkala aroma pengesahan kian mendekat. Fragmentasi pun mulai bermunculan, dan tentu saja menimbulkan arus diskursif yang menggelora. Dari berbagai reaksi kritik yang tampak di permukaan, salah satunya mengenai masa depan hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Tahun 2021 sangat bergejolak bagi sebagian masyarakat menghadapi musuh utama, yakni patriarki. Berbagai kasus kekerasan seksual ter-blow up di media sosial. Kita mengernyitkan dahi, karena beberapa kasus kekerasan seksual dilakukan orang-orang terhormat. Tapi terjadi antiklimkas, karena DPR RI di akhir tahun menetapkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai undang-undang.
Jika melihat kasus per kasus pembalaan diri terdakwa, rata-rata hakim cenderung tidak mengabulkan karena kepentingan hukum yang dirasa jauh lebih besar. Dalam perspektif hukum pidana, pembelaan diri (nodweer) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, tidak dipidana. Namun, membaca norma tersebut tidak dapat dilakukan secara gramatikal maupun tekstual. Perlu mengelaborasi kandungan norma tersebut dengan melihat berbagai yurisprudensi maupun doktrin hukum pidana.