Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Masyarakat selama ini telah mengidentikkan aktivitas menangis sebagai bentuk ketidakmampuan, kelemahan, dan hal-hal inferior lainnya. Padahal jika menangis dibebaskan dari segala citra yang dikonstruk oleh masyarakat, menangis hanya bagian dari aktivitas kemanusiaan seorang manusia.
Anggapan bahwa orang miskin berada di kondisinya karena kemalasan adalah hal yang tidak selalu benar. Sering kali mereka miskin bukan akibat internal secara individu, namun dimiskinkan oleh sistem dan akses yang tidak menjangkau mereka.
Tanggal 10 Oktober ditetapkan sebagai hari kesehatan mental sedunia. Hari ini seharus tidaknya hanya penting untuk mengurangi stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa, mengupayakan akses pelayanan kesehatan mental di tengah masyarakat, namun juga advokasi bahwasanya kesehatan mental merupakan kebutuhan seluruh umat manusia. Kesehatan mental yang sering dianggap kecil oleh banyak orang bahkan bisa menjadi penentu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, untuk mengurangi kemungkinan terburuk tersebut mari bersikap lebih ramah pada diri kita.
Mahasiswa lagi-lagi masih perlu turun ke jalan untuk melawan Undang-undang yang berpotensi mengurangi kesejahteraan pekerja dan merusak lingkungan. Sebagai mahasiswa dengan privilege, saya rasa saya punya tanggung jawab untuk memperjuangan orang-orang yang tidak lebih memiliki privilege dari saya. Maka saya memilih untuk berjuang melawan UU ini karena dengan tindakan ini saya menunjukan bagaimana sikap saya terhadap penindasan.
Perbedabat di sosial media terkesan selalu hitam dan putih. Seolah-olah argumentasi terkait satu isu sangat eksklusif dan tertutup hanya untuk dua jenis pendapat. Padahal masih banyak cara untuk benar-benar memahami permasalahan secara holistik, bisa jadi kedua jenis argumentasi tidak ada yang salah. Semuanya benar tergantung konteks dibalik permasalahan tersebut
Saya terlahir dari keluarga yang kurang lebih ber-previlege tapi merasa gagal memanfaatkan kesempatan. Saya merasa dipermalukan oleh privilege yang saya miliki. Saya yang memiliki akses dan kesempatan lebih banyak daripada orang lain, gagal dalam memanfaatkan privilege. Walaupun sebenarnya saya tidak sebodoh itu, tapi tetap saja saya selalu melihat bahwa saya merupakan produk gagal akibat kemalasan. Sampai akhirnya saya mengubah cara pandang saya tentang gagal dan sukses...