Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Mau sampai kapan perilaku kepemimpinan tersebut dapat ditolerir? Berapa banyak kerugian finansial, tangible, serta dampak negatif pada yang intangible – termasuk nasib ratusan atau ribuan karyawan – harus dipikul suatu organisasi akibat orang-orang yang dalam posisi pimpinan kurang akuntable, suka berkelit dari fakta? Kalau di institusi publik, perilaku semacam itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi jutaan manusia.
Rupanya, selama tiga tahun itu Mr. CEO atau Pak Dirut selalu lebih memaksakan gayanya, karena merasa ada di pucuk pimpinan. Kewenangannya sebagai pimpinan digunakannya secara tidak sesuai dengan tujuan-tujuan organisasi untuk kepentingan jangka panjang. Bos macam ini kalau punya sepeda Brompton kemungkinan untuk off road terus – kan didapat dari upaya sendiri (seperti juga jabatannya), sepeda itu dibawah kendali dia pula, bisa sesukannya. Dengan perilaku semacam itu, dia disconnected dengan realitas.
Meraih prestasi di lingkungan profesi dengan tuntutan standard tinggi umumnya memerlukan sederet persyaratan yang tidak dapat dikompromikan. Masing-masing pelaku memiliki “pagar-pagar pengaman” agar setiap langkah, proses latihan, dan persiapan untuk tampil semua compliance dengan ukuran baru yang lebih baik dari sebelumnya. Kalau sekedar sama dengan capaian lama, umumnya kurang menantang. Menutupi kelemahan dengan segala cara, dan sulit menerima perspektif baru yang beda. Mereka ibarat hidup di balik tameng
Hidup tenang bersama keluarga, aktif untuk jadi lebih bermakna dengan memberikan kontribusi positif bagi komunitas, bagi mereka bisa merupakan ancaman eksistensial. Masih dapat kita temui orang-orang yang berburu sukses demi sukses seperti mengejar cakrawala – menikmati ketegangan, sensasi batin di dalamnya, dan melupakan keluarga. Mereka bahkan menganggap tim sebagai alat mencapai target, bukan mitra membangun akuntabilitas. Akhirnya, akuntabilitas mereka sangat diragukan. Barangkali mereka perlu belajar pada Mas Paimo.
Di masa krisis akibat pandemi, organisasi bisnis yang dapat benefit adalah dengan cara merayakan kehidupan. Di Indonesia, antara lain, sebuah hotel bintang empat di Jawa Tengah, telah mempraktekan. Lewat komunikasi audio visual, hotel tersebut dapat meyakinkan prospek bahwa mereka mampu menerapkan protokol kesehatan lebih baik dibanding para kompetitor. Akhirya calon pelangggan menjadi penyewa untuk event penting.
Pertama, berani bertanya kepada diri sendiri setiap saat: Apakah kehadiran kita memberikan kabar baik bagi para stakeholder – teman sejawat, tim, atasan, pelanggan, pemasok, dan tentu keluarga kita? Apakah kita bisa menebar energi (pikiran, dana, waktu) bagi lingkungan kita, berkontribusi positif bagi masyarakat? Dalam penyelenggaraan negara, apakah sebagai pejabat publik, apalagi sebagai presiden, kehadirannya mampu membahagiakan rakyat?
Di tingkat penyelenggaraan negara, rasanya hanya pemerintahan otoriter yang cenderung mengelola kepentingan publik berdasarkan asumsi sepihak dan kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada di benak pejabat, sesuai kepentingan polit biro partai penguasa. Semua urusan seperti sudah ada jawabannya – atau dipaksakan sesuai dengan yang tersedia di brangkas aparat.
Sebagian pejabat publik mengalami leadership blind spot, bahkan ada yang terkena sudden incompetent, mengakibatkan uang negara untuk mengatasi krisis tidak tersalurkan. Ada bupati komplain, beras untuk bantuan sosial yang dibelinya dari perusahaan milik negara ternyata sebagian busuk, tidak layak dimakan manusia. Krisis akibat pandemi sekarang sepertinya tidak perlu menunggu kerugian organisasi milyaran dollar untuk mengubah perilaku orang-orang yang kebetulan sedang memimpin – di organisasi bisnis, nonprofit, atau di pemerintahan (yang eksistensinya ditopang uang publik). Juga tidak perlu menunggu publik marah.
Bidang kesehatan, dianggarkan Rp 75 Trilyun, antara lain untuk tunjangan para dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis, serta keperluan peralatan. Baru keluar cuma 1,53 persen. Bidang ekonomi juga, stimulus ekonomi perlu segara masuk ke usaha kecil, usaha mikro. “Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu. Tidak ada artinya,” kata Presiden. ”Saya ngomong apa adanya, tidak ada progress.”
Apakah Anda yakin, kata-kata yang terhidang di media atau diucapkan pejabat publik, serta disuarakan para pakar, membawa pesan apa adanya atau ada agenda di balik itu? Apakah semua semburan kalimat-kalimat normatif mereka akan diartikan sama oleh anggota masyarakat yang berlatar belakang beda, kepentingan tidak sama, atau dengan daya tafsir masing-masing yang variatif? Sering sekali kata-kata memiliki makna ganda dan pikiran-pikiran kita pun tidak luput dari bias pula – antara lain cenderung bereaksi kelewat cepat, tanpa penggalian lebih dalam.
Pemerintah membangkang terhadap aspirasi publik, masyarakat membangkang ajakan bebuat lebih baik untuk hidup bersama, individu-individu membangkang para guru dan tuntunan agamanya. Krisis dalam interaksi antar pribadi, di arena sosial dan politik, terjadi indikasinya akibat perilaku orang-orang yang kebetulan sedang dalam posisi pimpinan memaksakan perspektif lama yang sudah tidak relevan lagi untuk melihat dan menyelesaikan persoalan sekarang. Sebaliknya, masyarakat juga cenderung tidak dapat menahan diri, mudah terpicu oleh glorifikasi isu hasil engineering media.
Siapa pun yang mengaku pemimpin, di level organisasi bisnis, nonprofit, apalagi di tingkat penyelenggaraan negara, tidak pantas menyebut diri sudah menjalankan kepemimpinan secara demokratis dan sesuai zaman, jika masih memilih jalan pintas membahayakan kesatuan bangsa. Penggunaan otot saja (kekuatan polisi dan tentara), pembungkaman opini publik, dan proses pengambilan keputusan yang kurang dewasa, dapat menyebabkan kepemimpinan seseorang tidak memiliki legitimasi lagi.
Bayangkan Anda adalah seorang CEO, atau memimpin kementrian, atau Presiden (Kepala Negara), tapi gagap untuk memberikan clarity kepada para pemangku kepentingan apa tujuan hidup dan arah kepemimpinan Anda, semantara tindakan nyata Anda hanya sebatas yang normatif saja. Apa jadinya? Apakah pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, dan publik masih dapat Anda harapkan mendukung Anda -- utamanya -- dalam mengatasi krisis?
Hari-hari ini kita, utamanya yang masih melakukan isolasi diri dan disiplin mengikuti aturan social distancing, perlu mengingat Chris Hadfield. Mereka hidup dalam tekanan tugas yang berat, dengan standard operating procedure sangat ketat – meleset sedikit taruhannya nyawa mereka sendiri. Misi mereka menyangkut kepentingan ratusan juta orang dari pelbagai bangsa. Mereka diminta menafsirkan peradaban manusia dari perspektif baru.
Hari-hari ini terdengar ada beberapa pejabat publik setingkat mentri masih bekerja dalam pola tindak business as usual, tidak memperlihatkan sikap sense of crisis. Indikasi batin yang tertidur bisa pula terbaca dari perilaku yang sering memperlihatkan “parade ego dan keunggulan diri”. Golongan ini, karena jabatan dan posisi, sering berbicara atau bertindak merendahkan pihak lain untuk mengerek dirinya agar tampak pintar atau bahkan paling benar.
Apakah jabatan, kecerdasan, ketrampilan dan pengaruh kita gaungnya sudah menembus tembok batas organisasi, memasuki sanubari manusia-manusia lain yang membutuhkan pertolongan? Apakah kita bisa mengajak tim membangun cognitive empathy dan engaged dengan masyarakat? Karena untuk mengatasi keadaan saat ini dan menyiapkan fondasi hidup lebih solid pasca wabah, mustahil hanya mengandalkan pemerintah. Kita sebaiknya punya peran ikut membangun sejarah. "A crisis is a terrible thing to waste."
Selain ego yang menguasai pola pikir dan perilaku mereka, ada indikasi mereka – seperti juga kencenderungan yang terjadi di kalangan eksekutif atau pimpinan organisasi – telah terjebak dalam situasi sebagaimana kata orang bijak, “In life we don’t see what it is there, we see what we think supposed to be there”. Sebuah kecenderungan negatif, dapat memampatkan kecerdasan, serta dapat menimbulkan banyak korban.
Perilaku para pengendali pemerintahan yang to govern tanpa kendali, eksesif, terbukti menjadi counterproductive. Menyebabkan mereka kehilangan energi politik publik. Karena menjauhkan manusia dari hidup selaras dengan Alam Semesta. Sudah waktunya kita bersikap lebih mandiri, melepaskan diri dari ketergantungan pada pemerintahan – nyatanya para birokrat tidak menjamin bisa memberikan solusi terbaik atas setiap masalah, termasuk menyangkut kesehatan masyarakat seperti saat ini.
Krisis akibat wabah coronavirus menguji kepemimpinan dari level komunitas, korporasi, lembaga nonprofit, sampai tingkat negara. Kita bisa sama-sama melihat, para pemimpin pada mengalami gejala sudden incompetence, termasuk di negeri-negeri yang selama ini kita anggap sebagai negara kuat. Kedok-kedok terbuka, siapa emas dan mana yang ternyata loyang -- tidak sensitif, sibuk memupuk ego.
Ketika sudah memperoleh posisi tersebut, untuk mempertahankannya mereka tega pula menggadaikan jiwa mereka – berkolaborasi dengan “kuasa gelap”, menipu, menggerogoti aset perusahaan (profit anjlok, para pimpinannya malah minta tantiem naik dibanding tahun silam – btw, para pemegang saham, termasuk Kementrian BUMN, bisa melakukan pengecekan, mana saja perusahaan yang setelah diaudit ketahuan profit turun, sampai 50%, tapi para direksinya minta tantiem naik).
Situasinya menjadi lebih genting ketika perilaku kepemimpinan seseorang menimbulkan akibat signifikan bagi banyak orang – di lingkungan organisasi mungkin puluhan ribu, di pemerintahan bisa puluhan juta manusia. Bagi yang mengaku pemimpin, ukuran kedewasaan (ada pertumbuhan jiwa) dan akuntabilitasnya, dapat kita lihat dari kemampuannya selalu eling lan waspada (bukti memiliki intelligence dan tanggungjawab).
Di negeri-negeri totaliter, atau di organisasi-organisasi dengan kepemimpinan otoriter, dari masa Perang Dunia sampai hari ini, selalu ada kecenderungan dan upaya untuk membengkokkan fakta dan realitas, menjadi kemasan informasi yang menyenangkan presiden, ketua partai, atau bos. Selalu ada “komisaris politik” yang menghidangkan informasi yang sudah dipoles.
Apa saja upaya terbaik Anda untuk memperlihatkan respect kepada tim? Kata orang-orang bijak, bukankah kita hanya bisa memberi dari yang kita punya, termasuk kemampuan menghormati orang lain? Artinya, kalau tidak bisa respect kepada orang lain, jangan-jangan karena tidak punya self respect.
Jati diri mereka lumer dicengkeram oleh kecanggihan gadget di tangan. Mereka, yang mengaku para pemimpin itu, kehilangan kendali, tidak tahu lagi siapa diri mereka dan apa tujuan hadir di Bumi. Ini dapat menimbulkan nausea, rasa mual. Manusia dalam kondisi seperti itu, jika berkelanjutan, kemungkinan hanya akan jadi isapan jempol belaka dalam imajinasi agung bernama kehidupan.
Manusia memiliki kecenderungan lebih betah hidup dalam “ketidaknyamanan kronis yang sudah mereka kenal” – seperti revenue dan profit yang “no up-up”, atau berupa batuk/pilek yang menahun, ketagihan rokok, alkohol, dan seks, serta kebiasaan menunda pekerjaan dan pulang malam – ketimbang harus berubah, melakukan hal baru yang belum mereka kenal.
Dari sejak terkuaknya informasi wabah sampai hari ini, hal yang tidak wajar atau kurang patut dilakukan adalah pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif, karena ikut menambah kecemasan publik. Sangat disayangkan ucapan asal nyelonong semacam itu bahkan datang dari kalangan yang dianggap memiliki otoritas atau secara akademik bergelar ahli. Jika orang tersebut punya jabatan (publik), perilaku kepemimpinannya layak diuji ulang.
Dari proses yang dilakukan Kublai Khan dalam upayanya membangun China, hal mendasar yang tetap relevan untuk menghadapi situasi sekarang adalah bahwa kepemimpinan bukan sekedar penaklukan suatu wilayah (organisasi).
Kelihatannya China punya kalkulasi lain untuk menghadapi Indonesia dalam hal Natuna, maka segera hengkang. Beda dengan caranya mencaplok Spratly – dimana Malaysia, Filipina, dan Vietnam tampak kurang berani. Ibarat lobster yang bernafsu memasuki teritori pihak lain, China mundur setelah tahu Indonesia punya “serotonin” (sumber daya untuk menang) lebih.
Gejala yang kelihatan antara lain berupa perilaku disparage people – merendahkan pihak lain (tim) demi mengamankan jabatan, ego, dan (kemungkinan juga) kepentingan pribadi. Dampaknya antara lain: organisasi mengalami bottleneck. Masalah bermunculan dari pelanggan, rekan kerja, vendors, dan diri mereka sendiri (para eksekutif senior tidak aligned). Para line managers berada pada kondisi constant alertness – ini merupakan pemborosan kecerdasan.
Stereotype seorang corporate leader itu lelaki kulit putih usia sekitar 50 tahun, selalu didampingi sekretaris, dan tekanan darahnya tinggi, jelas-jelas sudah berubah, kata Marshall Goldsmith. Bagaimana kalau Kementrian BUMN, sebagai bagian dari upaya pembenahan dan peningkatan kinerja perusahaan di lingkungan BUMN, juga terbuka untuk menggunakan tools dan metode yang sudah proven dipakai organisasi-organisasi multinasional kelas dunia untuk melakukan asesmen ulang para eksekutif di BUMN-BUMN?