Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Menatap jauhnya langit yang memikat harapan, atau menikmati sebuah mangga bersama kawan-kawan, atau menyeka peluh paska berlarian sebelum pulang mendapatkan hukuman, mandi. Namun, itulah artifisial atas bonang di mana pendidikan, pekerjaan, bahkan status sosial bukanlah kemutlakan selain perjanjian dan percaya jalan hidup. Di sini, suatu strategi countersocialism juga seakan luput.
Bagai rutinnya waktu yang enggan berontak, namun retak mengukir tanah-tanah basah. Tentu saja, puisi senantiasa menjadi catatan lain bagi para punjangga menyimpan rahasia yang akan tetap gemantung serupa rasi bintang yang sahaja cahayanya seriuh deras hujan. Semoga batin tetap terjaga baik, Sahabat.
Dalam lembar baru saat catatan menyisa pergantian tahun, mungkin perubahan waktu bukan untuk kita rayakan dengan gempita, selain tentang renungan, sebab bisa jadi di tahun ini kita sudah berpisah dengan dunia yang kita cintai. Selamat mengisi lembar yang kosong di tahun baru dengan akal sehat dan damai. Selamat Tahun Baru 2023, Sahabat.
Catatan tentang pengalaman tubuh, mungkin menjadi rupa simbol ataupun dedah puisi. Namun, ini hanyalah tentang jelajah sastra, tentang ekspresi, tentang impresi, tentang kegelapan, yang dipenuhi rima di mana kepedihan dan kebahagiaan bukanlah peperangan diri yang harus ditiadakan. Seperti catatan diari masa kecil, yang menuliskan mimpi bintang-bintang sebagai cita-cita sebelum terlelap di malam hingga terbangun pada pagi hari untuk melampaui kompleks keseharian. Bagaimanaapun, menulis puisi bukanlah hal mudah selain latihan berdamai untuk kerumitan yang lain. Semoga sehat dalam damai selalu, Sahabat. Selamat menyambut tahun baru, ada haru atas berharganya hidup.
Kebersamaan dalam pertalian aktivitas tradisi dan budaya, hingga menjadikan keberagaman sebagai suatu tanda baca yang memang “terkesan” kompleks, belum lagi, saat bahasa terikat dalam geliat politik yang akan menentukan satu pendapatan dalam sudut pandang kesejahteraan sosial. Beradab menjadi ukuran akan moral etika yang seringkali terbentur di antara ragam dinding-dinding institusi akademi beserta keabsolutan berpikir individu yang terkesan melupa, bahwa hidup hanya tentang gerak. Sayangnya, suatu yang absolut masih menjadi “ikon” bagi masyarakat sebagai bentuk takwa.
Ada rimba yang tetap rahasia saat hijau sesekali berganti biru keunguan, serupa sipu kerikil mutiara manakala sang surya merayapkan tubuhnya di cakrawala dari arah timur. Di mana kemunculan dari pohon pisang, hingga penamaannya dari berbagai jenis yang telah meninggalkan kenangan tentang peradaban yang hilang; Musaceae/Mali/Mansa Musa, entah sebab migrasi yang dikarenakan masa awal peradaban agrikultur dimulai ataukah sebab terjadinya suatu perubahan iklim dengan dampak kepunahan manusia di saat daratan harus segera ditinggalkan.
Digital, bisa jadi, telah menjadi kosakata yang biasa bagi kita semua tanpa menyadari dari manakah, serta apa sebenarnya makna tersebut dan lantas, mengapa “digital/digits/digitus/digitum” menjadi kosakata yang kembali terangkat di era enam puluhan sebagai dunia yang matematis. --Seorang Cicero pernah menulisnya, bagaimana jika; “si tuos digitos novi” kepada Atticus.
Di balik anyaman jerami yang tersusun, seseorang hanya menatap dari balik celah-celah kepangan pandan sambil menunggu sosok bayangan datang dan menghampirinya. Kaso, begitu yang dia ingat tentang namanya, duduk di atas alas terpal, menyimpan tanda tanya yang terlampau padat. Tatkala dirinya bertanya-tanya tentang kelengkapan misteri kesadaran, sendirian, memperhatikan tubuhnya membujur dalam senyum manis.
Sebuah prosa pada masa abad pertengahan menjadi catatan tentang bagaimana cinta; terpatahkan, demi menjaga suatu sistem yang lebih luas; sistem bermasyarakat, sebagai kerangka sosial yang akan selalu membutuhkan perubahan, perkembangan, hingga penghabisan. Bahwa, realita ini serupa musim yang setia memaknai cinta sebagai artifisial realita, sebagai yang tragedi. --untuk setia memperdebatkan makna cinta hingga kebenaran absolut atas babad Tantu Panggelaran yang bersifat personal selain percaya bahwa kita semua; masih berdenyut.
Beberapa waktu lalu, dan akhirnya, tanah Jawa mengamali goyah dalam regenerasi kondisi bumi, seorang kawan menelpon dan berkabar tentang kondisi alam di sekitar Ternate. Dirinya bertanya kepada saya, apakah saya bersedia menulis tentang sebuah karya tari tradisi. Tarian Togal dari Makian, Halmahera Selatan, Maluku Utara. --Sementara langit Jakarta masih tetap setia dengan mendung yang dramatisnya, dalam bising mesin-mesin bermotor, saya bercita-cita bagaimana fufu, garam, serta rempah bisa mengisi perut saya untuk panganan hari ini bersama alunan musik dari Martin Stürtzer – Relativity, sebuah komposisi musik ambien eksperimental untuk hari yang tetap bergerak. Terimakasih untuk Terimakasih.
Percakapan, juga perbincangan, menata koreksinya untuk guguran embun yang menggigil pada sepi lumut di dinding-dinding yang tertinggal dan runtuh. Nyawa begitu kecut dijembut ajal, yang entah dari mana muasal; begitu pula aku bertanya, di dalam tiada batas bilangan garis, “apa itu hidup?”
Ini hanyalah catatan ekspresi distopian dari sisi dunia kegelapan dan gerilya dunia bawah tahan membentur mekanisme yang pada akhirnya menawarkan sifat puitis untuk metamanuskrip dan masa depan; manusia dan budaya sewujud sastra peradaban. Dan, hidup hanyalah tentang duka kesedihan hingga keterasingan.
Bagaimana kesanggupan menikmati keseragaman resahnya gelombang saat menyapa kerikil yang bimbang? Apabila, rembulan mengisyaratkan matahari sebagai penanda, mungkin saja jiwa akan tersenyum untuk beberapa detik sebelum lengkap pamit mempersilahkan malam; meruang sehati. “Sementara cinta kita bergelut di antara kiamat...”
Di perbatasan, Dita kembali bertemu dengan Doma, yang selama ini telah membantunya mengurus seluruh berkas pemindahan kerja serta kepulangannya. Tumpukan data yang masih kasar dan belum tersusun tersimpan rapi di dalam tas yang hendak diberangkatkan lebih dulu lewat cargo. Dita dan Doma, berlayar menuju kenangan kanak-kanak kembali membingkai awan di luas samudra. --Seekor domba menatap kedua orang asing di tanah getirnya, sambil menyandar pada lumpur kering yang berdebu, dengan tali tambang terpaku di pohon kelapa sawit; bergilir menunggu mati.
Persimpangan jalan hidup di antara mereka tidak pernah jamak, sejamak bulan Penumbra yang akan segera memantul di dalam pekatnya kopi pahit; pikiran yang aerobik. “Gelas kopiku seperti sumur tanpa dasar”
Oktober dan peristiwa sosial dalam konflik prakiraan cuaca. Pilihan seringkali menjadi pertarungan panjang bagi perjalanan hidup di mana akhirnya, manusia dan peristiwa memilih untuk bersikap “bagaimana berbohong”. Kebohongan memang lebih mudah disembunyikan; memalsukan sebagai cara alternatif menimbang keuntungan, dan, kebohongan seringkali tidak membutuhkan keharusan rekayasa sebab peristiwa tertangkap tanpa seluruh cerita. --Ekspresi bahasa yang dilematis, tentang moral dan etika, tentang sastra dan dunia penulisan.
Suara mesin mulai mendapatkan kembali keteracakan yang berlipat ganda. Kata kunci lain gelombang, seperti lempeng bumi, menggerakkan renjana yang terdalam dalam mimpi. Ini memang kegagalan mekanis pikiran. Bagaimana otak saat analisis ini mengalami kerusakan? Apakah ada bahasa yang diperlukan untuk menyatukan kembali semua manuskrip? --Sebuah tubuh telah rusak!
Mengawali pagi hari memasak sebelum sang surya mengintip, teh hangat dalam kumis kucing, serta Sad But True komposisi elektro untuk minimal art techno dari Boris Brejcha, adalah, seorang Moeldoko melintasi ingatan teknik tubuh performing arts on screen acting pada WOKO Channel Youtube episode 63 berjudul AIR SUSU KAU BALAS AIR TEH. --Bagaimanapun, chaos dan noise akan menjadi hening untuk waktu yang bersifat maya/artificial dalam mencipta; ini hanyalah tentang latihan melatih tubuh sebagai seni yang hidup. Sad But True.
Aulia tidak lagi mengenali sahabatnya yang bersikap acuh kepada kehidupan orang lain dengan cara beranda-andai untuk sebab yang tidak pernah terucapnya selama waktu di meja kopi sore. Ini bukanlah pertemuan yang diharapkannya, namun Inka memilih untuk diam atau, dia menjadi orang yang tidak jauh berbeda dengan Aulia. --Meskipun, di antara mereka tidak ada yang benar dan salah ketika ketidaktahuan menggerogoti kecerdasan dan itu dianggap cukup berharga.
Jauh sebelum kita berada di antara pecahan legenda | Serupa saum mendesah sebelum penghujan di akhiran | Pejalan bergaun sutra mendobrak barat timur di selatan | Menyulam kehilangan atas ingkar mata kompas kardinal --“lepaskanlah dahaga sehabis ikatannya menafsir paron”
Namun berita telah megah menyebar ke seluruh penjuru daerah. Itu tidak akan membuat segala yang terjadi dapat dihapus; kejadian masa lalu bukan catatan yang dengan mudah dapat tersentuh oleh tombol delete. Kedua matanya menyisir jalanan yang masih sangat gelap. Sesekali, kening kernyit terhantam kilau tajam lampu kendaraan dari arah berlawanan. Untuk rute kelok, kantuk sembunyi pada kabut kebun-kebun di jalur bertebing.
Aroma ikan bakar menghampiri makanan yang telah dipesan mereka. Teh tawar dan kopi berampas, sajian yang meninggalkan kenangan tradisi akan tempat memiliki ruang ingatan lain. Seketika suara ombak menghilang. Salah satu dari empat sekawan, dan yang kebetulan berdomisili di Pangandaran kota memberi tanda melalui bahasa tubuhnya. Ketiganya telah mengerti; diamnya gelombang bukanlah tenang bagi suatu malam.
Antara enam puluh delapan hingga tujuh puluh tahun, bumi tidak akan stabil. Di dataran tinggi yang lain, bangunan-bangung tua terselumuti hutan belantara yang dibiarkan hidup tanpa tersentuh mesin kinetika anatomi, yang engan mudah melakukan pembabatan besar-besaran. Berbagai legenda serta mitos-mitos kegelapan menjadi artifisial tugu-tugu rekayasa untuk hutan murni yang masih menjaga mentah hasil bumi. “Matikan mesin, sekarang, IRGC membabi buta di Timut Tengah!”
Tidak ada suara apapun, bahkan suara binatang yang melewati tempat ini. Sunyi dan kemerahan, itu memang pertanda; waspada. Gemuruh menyambar lima orang dari tim sybjre bs ivpgbel secara asimetris. Tubuh lima orang dari tim tersebut tersayat begitu sempurna, dan mati. Kini, mereka hanya tersisa tujuh orang saja. Panah kompas jaringan monetisasi kembali mengeluarkan kelip dua kali dan suasana masih hening. Kali ini, Cnyyn tetap mematung. Perlahan, ketujuh tubuh mereka berubah laksana embun.
Ada desain konstruksi huruf pada kaligrafi untuk simbol O atau oculi/plural yang menyusun nuansa kedekatan langsung melalui keberjarakan; nuansa cahaya kegelapan. Peperangan dan perdamaian menjadi proses tarik ulur terhadap jalan hidup manusia sebagai mahluk personal sekaligus sosial. Pada akhirnya, masa pandemi hanyalah tentang cara berdamai pada yang asing sebagai atas nadirnya pengabdian dalam evolusi kebudayaan.
Netai merasa asing yang hebat, ada pertalian putus, dirinya tidak tahu bagaimana untuk merajutnya. Tiada seorang pun yang memberikan jawaban yang memuaskan dahaganya atas jalan hidup. Tetapi, ibunya telah berpesan kepada Netai sebelum pergi meninggalkannya sejak dua bulan lalu sebelum dirinya memilih menghabiskan liburannya hanya di tempat ini. “Jagalah jalanmu, Tai.”
Airmatanya terjatuh dalam getir dan memanas. Jemarinya meremas tanah yang menyelimuti makam itu. Tiba-tiba tangan yang lainnya meraih selembar kain dengan rajutan dua buah daun jambu, kain wol berwarna toska yang diberikan kepadanya di hari ulang tahunnya satu bulan lalu dengan tulisan yang menyulam indahnya huruf italik: “Dia telah mengayak jiwaku dengan kemurnian cinta kasih yang disusunnya dari kedukaanku. Aku takkan goyah. Hatiku terjaga dan memujinya.”
Roknyah mendapati notifikasi yang terpinggirkan sebagai sekilas info, yang tertulis: Menurut data statistik penelitian dari suku dinas (sudin) keputusasaan terbaru, beberapa jenis korban sekaligus penanganannya bagi korban perang dunia, korban bencana alam serta korban virus pandemi, hanya korban janji palsu saja yang sulit terevakuasi. Para korban telah menerima bantuan dan rehabilitasi di setiap pos sudin patahasa yang tersebar di seluruh daerah.
“Besok aku akan pulang ke Jakarta.” Malam dalam purnama yang tertutup mega menjadi saksi betapa cinta keduanya tidak membutuhkan lisan. Aku akan menunggumu..... Di pantai ini.
Jika ini dikatakan sebagai puisi, maka: "ceritakanlah tentang karamnya yang terentang bersama sekat sekat geladak meredam terang"