Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Tak ada sejengkal hutan di Papua yang tidak ada pemiliknya. Biasanya Kaum Hawa adalah pengelana hutan Rimba setiap hari
Puisi Dari Rimba Papua
Hutan Mangrove dan masyarakat nelayan Teluk Yotefa, Kota Jayapura, tak terpisahkan. Ketika mangrove dirusak, seperangkat budaya masyarakat nelayan pun ikut tergeser.
Puisi Derita Anak Papua di atas tanahnya sendiri
Tulisan ini didedikasikan untuk mendiang istri saya, Maria F Suwae, yang telah memberi kontribusi pimikiran mengenai cagar alam Pegunungan Cycloop dalam pandangan adat masyarakat sekitarnya. Juga berangkat dari pesan para leluhur masyarakat adat: Jaga Cycloop supaya ada air saat kemarau dan tidak kebanjiran pada saat hujan. Dalam tulisan ini akan dideskripsikan kondisi Pegunungan Cycloop ketika masih dikelola dan dimanfaatkan masyarakat adat, hingga pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berbais aturan perundangan seperti saat ini. Tulisan bertujuan untuk membangun opini publi mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan status Geopark Site selain status perlindungan cagar alam saat ini yang terus-menerus mengalami sejumlah ancaman dan tekanan terhadap kelestarian sumber daya alam di Cagar Alam Pegunungan Cycloop saat ini.
Abstrak Tulisan ini didedikasikan khusus mendiang istri tercinta Maria F Suwae sebagai Tepra Iron Women, yang telah menjadi guru yang mengajari kami mengenal kebudayaan Tepra. Tulisan ini sebenarnya merupakan catatan kuliah dan tugas-tugas Mata Kuliah Etnolinguistik yang diasuh oleh Dr. Peter J Silzer ( Summer Institute Of Linguistic – UNCEN ) dan Dr Dan Ayamiseba ahli Etnolinguistik Pasifik tahun 1988 pada Jurusan Antropologi FISIP Uncen. Tulisan ini menyajikan pensebaran bahasa-bahasa daerah di Papua serta akan mengetengahkan beberapa informasi etnolinguistik sperti ; (1), Rumpun Bahasa Daerah dan Persebaran Bahasa Daerah di Papua (2). Analisis Pergeseran Bahasa Daerah di Papua, (3) Faktor-faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah.
Pembangunan dan industrialisasi di wilayah Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat melahirkan sejumlah dilema. Industrialisasi dapat menjadi pilihan mempercepat penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan. Tapi juga melahirkan proses marginalisasi dan kerusakan ekologis. Kawasan ini dihuni oleh 7 suku besar, yakni suku Wamesa, Sebyar, Aranday, Soub, Irarutu, Kuri dan Sumuri yang sebagian mungkin ikut menikmati dan menjadi bagian dari proses industrialisasi. Tapi, tidak jarang penduduk setempat dalam beberapa hal menjadi korban situasi dan terpaksa harus menanggung akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang lepas kendali. Penulisan artikel ini berangkat dari pengalaman 14 tahun bekerja sebagai pegawai kontrakkan BP LNG Tangguh Teluk Bintuni, sejak 2002 – 2016. Dalam menjalankan tugas sebagai pegawai kontrakan itu banyak bersinggungan dengan masalah sosio-ekologis yang belum terungkap ke publik sebagai akibat ekstrasi sumber daya mineral. Tujuan penulisan artikel sederhana ini agar semua pihak memperoleh gambaran mengenai proses masuknya perusahaan Migas dan berdampak langsung pada krisis air bersih dan sumber-sumber pangan masyarakat yang ada di sekitar area operasi LNG Tangguh di Teluk Bintuni, namun kami mengemas kedua issue ini dalam judul yang lebih luas.