x

Sejumlah umat Hindu duduk bersama di depan sejumlah lilin saat berdoa dalam acara keagamaan, Rakher Upabash, di Narayanganj di Dhaka, Bangladesh, 8 November 2016. REUTERS

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama dan Kepribadian Individu

Dunia mungkin mundur berabad-abad, menyangkut kepribadian individu dalam soal pluralitas agama, yang saat ada salah urus, melahirkan "konflik absurd".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Agama dan Kepribadian Individu

 

Dunia  maju amat cepat dalam banyak sektor tapi tidak diikuti kemajuan peradaban, bahkan mundur mungkin berabad-abad, menyangkut kepribadian individu dalam soal pluralitas dan pluriformitas agama, yang manakala terjadi salah urus, ujungnya melahirkan ‘’konflik yang absurd’’ (jika konflik kok begini, jika bukan konflik kok begitu).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Padahal, menurut  bermiliar-miliar manusia, agama itu sumber perdamaian.  Mungkin begitu idealnya, tetapi dalam sebagian dogmatismenya selalu ada ruang untuk ‘’konflik absurd’’. Agama A atau B selalu benar dan baik bagi umat A atau B tetapi tidak selalu begitu bagi umat bukan A atau B. Inilah akar perbedaan dalam sikap pribadi berurusan dengan agama sebagai pluralitas dan pluriformitas dunia nyata yang harus dihidupi dan dihidupkan.

 

Bagi insan-insan bijak, keniscayaan perbedaan dalam pluralitas dan pluriformitas tersebut bukan masalah malahan diterima sebagai kekayaan peradaban. Sikap pribadi manusiawi macam inilah, apapun agama kita, yang mestinya menjadi dasar moral individu dalam menghidupi-menghidupkan dunia nyata peradaban manusia yang masuk akal atau kemanusiaan yang beradab. Di sini korelasi sebagai dasar otonomi manusia (makin korelatif makin otonom) dan kemerdekaan-pemerdekaan manusia, menjadi kunci. Masalahnya, agama yang diterima benar dan baik bukan hanya oleh pengikutnya tetapi juga oleh setiap orang yang ada di dunia, apakah ada?

 

Jika agama A menganggap Z bukan Tuhan ketika agama B memuliakan Z sebagai Tuhan, jika X dianggap sebagai nabi oleh agama C ketika agama D hanya menerima X sebagai orang baik, jika agama E penuh misteri ketika agama F lebih didasarkan pada refleksi atas pengalaman nyata, dan daftar ‘’jika’’ bisa diperpanjang… semua ini bisa menjadi sumber konflik dan sekaligus menunjukkan bahwa mustahil suatu iman-keyakinan-dogma agama ini atau itu sebagai paling benar dan paling baik.

 

Dari situasi di atas, bisa ditarik banyak pedoman dasar moral sosial universal, terpenting enam:

 

Pertama; mengingat pertemuan antardogmatisme agama bisa menjadi sumber masalah maka sikap pribadi yang manusiawi menjadi mutlak untuk prinsip kehidupan bersama ialah merangkul dan mengembangkan segala yang masuk akal dan wajar serta meninggalkan yang tidak keruan.

 

Kedua; sikap pribadi yang hanya berdasar dogma satu agama tertentu mustahil bisa menjadi sikap pribadi manusiawi yang universal sebab syarat universalitasnya terutama dengan asas: berpijak pada bumi dan hidup nyata sehingga bisa dicerna dan diakomodasi akal sehat. Produk-produk praktisnya, misalnya tentang bagaimana mengontrol perasaan, mengungkap kesaksian iman secara manusiawi, tentang bagaimana hidup mandiri sebagai orang beriman dan sebagainya. Terpenting dalam sikap pribadi manusiawi adalah bagaimana hidup secara manusiawi dan wajar.

 

Ketiga; sikap pribadi yang manusiawi terpenuhi saat kita merasa punya kewajiban moral untuk hidup lebih harmonis dengan orang-orang lain. Maka kita akan belajar menjadi lebih terbuka terhadap segala sesuatu di sekitar kita, memperoleh pemahaman lebih dalam tentang identitas kita sendiri, bisa hidup lebih damai, lebih bersyukur, dan siapa tahu mungkin lebih bahagia.

 

Keempat; sikap pribadi manusiawi adalah hidup pengembangan cinta kasih, memberi garis tebal ajaran agama pada sisi-sisinya yang positif, inklusif, altruistik dan pada saat yang sama kritis terhadap unsur-unsurnya yang negatif, eksklusif, dan egoistik. Inilah upaya menemukan cara berpikir yang sehat, yang gilirannya menghasilkan kepribadian dengan sikap mental yang sehat juga.

 

 

Kelima; sikap pribadi manusiawi adalah sumber pembuat langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran di dalam diri. Ini berlangsung terus menerus, dalam suatu aksi-reaksi dan refleksi yang tanpa henti. Peningkatan kesadaran adalah langkah untuk pencerahan di mana orang mengalami pelepasan dan pembebasan, sebagai titik tolak untuk memilih mana baik-buruk, benar-salah, terpuji-nista, dan seluruh dikotomi kemanusiaan secara manusiawi dan membumi.

 

Keenam; tanpa meremehkan keindahan dan keagungan misteri, sikap pribadi manusiawi lebih mengacu pada dan dengan kehidupan yang hidup, ialah apa dan siapa saja yang masih hidup dalam ruang-waktu yang nyata, sehingga mampu menyimpan hal-hal imajiner yang agung dalam relung batin terdalam. Sebagai contoh: jika sikap pribadi manusiawi melarang pembunuhan atau korupsi, di tempat pertama bukan karena pembunuh atau koruptor akan masuk neraka atau sesuatu seperti itu, tetapi karena pembunuhan dan korupsi menghancurkan harmoni kehidupan di dunia nyata dan tidak sejalan dengan hati nurani pribadi manusia yang beradab.

 

Gunung Merbabu, Nopember 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB