Butuhkah Indonesia Kontrol Kebebasan Berpendapat dan Pers?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dengan makin menggilanya penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan pers, butuhkah Indonesia kontrol berupa upaya sensor di berbagai lini?

Sebenarnya boleh dikatakan, sudah tinggal menunggu waktu saja sebelum pemerintah Indonesia menerapkan sensor yang lebih ketat di media sosial dan internet, seperti yang diberlakukan di negeri seberang itu.

Kapan itu? 

Nanti saat makin banyak pihak sudah makin muak dan lelah dengan semua kebebasan berpendapat yang kebablasan dan disalahgunakan ini. 

Nanti saat penduduk Indonesia yang mengakses media sosial makin banyak jumlahnya dan makin tidak terkendali mengumbar opini mereka. 

Nanti saat sudah mustahil membedakan berita bohong dan faktual karena semua konten yang beredar itu ternyata sampah semuanya. 

Nanti setelah sebuah pemerintahan yang berkuasa secara sah telah dikudeta gara-gara percikan isu kecil yang dibuat berkobar dan menyebar. 

Nanti setelah makin semrawut kondisi ekonomi, politik, budaya, dan semua kehidupan dalam negeri yang jalan di tempat ini.

Mungkin juga nanti para terhukum dalam kasus-kasus penyebaran ujaran kebencian tidak cukup dipidana tapi juga diamputasi semua jari-jarinya. Tandas tak bersisa. Mulutnya dijahit supaya tak bisa memakai fitur speech-to-text. Habis riwayat mereka. 

Kondisi ini diperburuk dengan menghambanya pers pada kepentingan pemilik modal. Pilpres 2014 rasanya sudah menjadi bukti nyata preseden itu. Peperangan 'TV merah' dan 'TV biru' dengan segala grup media yang bernaung di bawah para pemilik modal cum politisi (yang konfliknya masih saja berlanjut sampai sekarang itu) membuat kita sudah makin jengah dengan produk pers kita sendiri. 

Akibat dari terseretnya pers ke dalam pusaran keberpihakan itu adalah pupusnya kredibilitas pers sebagai pilar demokrasi keempat. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang jika dibandingkan negara-negara tetangga tergolong 'liberal' itu  saja mau direvisi secara diam-diam oleh pihak-pihak yang ingin membatasi kebebasan pers yang sudah keblinger. 

Ibarat seekor kuda, sekarang orang Indonesia sedang tergila-gila dengan kebebasannya setelah terkurung selama 32 tahun oleh majikan lama. Lari ke sana kemari, tubruk sana sini. Sampai lengah ada jebakan di rimbunan rerumputan. Begitu terperosok dalam jeratan itu, kekang baru akan disiapkan majikan anyarnya.

Kekang ini mungkin terasa mengerikan pada awalnya tetapi menurut pengalaman, sedikit kekangan bisa membuat kondisi dalam negeri menjadi lebih kondusif dan stabil yang memungkinkan kita fokus pada pembangunan yang nyata, bukan cuma mencurahkan energi secara sia-sia pada isu-isu di media sosial dan berita-berita bohong dan ujaran kebencian yang merajalela di dunia maya.

Jadi, intinya siapa perenggut kebebasan kita? Ya, bukan orang lain, tetapi diri kita sendiri. (*)

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler