x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melampaui Batas-batas Nalar

Ketika seseorang telah mencapai puncak keilmuan, sangat mungkin ia akan melompat ke tataran yang lebih tinggi, memasuki wilayah spiritualitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Sains tidak akan mampu memecahkan misteri tertinggi alam semesta. Dan karena kita adalah bagian dari alam semesta, kita jadi bagian dari misteri yang kita coba pecahkan.”

--Max Planck (fisikawan, 1858-1947)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Relasi antara sains kealaman dan agama sejak lama bagaikan gelombang. Di masa-masa kebudayaan tertentu, resonansi di antara keduanya begitu kuat. Di masa yang lain, keduanya seperti lawan yang sukar untuk berdamai. Apakah ini perkara relasi kuasa di antara otoritas-otoritas wilayah yang berlainan, ataukah ada perbedaan yang lebih dalam dan melekat di dalam watak sains dan agama itu sendiri?

Astrofisikawan Stephen Hawking percaya bahwa terdapat perbedaan fundamental antara agama, yang—menurut Hawking—didasarkan atas otoritas, dan sains, yang didasarkan atas observasi dan nalar. Hawking bahkan begitu optimistis perihal keunggulan sains, hingga ia berujar, “Sains akan menang, sebab sains berhasil.”

Berhasil dalam apa? Menyingkap rahasia alam semesta? Sebagian orang memang percaya bahwa sains berhasil menemukan rahasia bagaimana alam semesta bekerja. Bahkan, orang seperti John Horgan menulis buku The End of Science beranggapan bahwa rahasia-rahasia besar alam telah ditemukan, sehingga sains berada di ambang batas pertumbuhannya. Tak akan lagi ada pemikiran sains yang menggegerkan seteleh relativitas umum Einstein ataupun evolusi Darwin, kata Horgan. Selebihnya, capaian sains akan berada di bawah kebesaran keduanya.

Tapi benarkah kita telah mengetahui persis dan mendalam perihal alam semesta seperti diklaim sebagian ilmuwan dan para pendukungnya? Kita mengaku telah mengenal materi di alam semesta. Ketika kita mengaku telah mengenal konduktor dan isolator sebagai dua sifat yang dimiliki zat yang berbeda, siapa sangka zat yang sama bisa memiliki kedua sifat itu secara bersamaan kendati pada lapisan yang berlainan?

Akankah misteri materi yang baru terungkap itu hanya menjadi bagian dari capaian manusia tanpa mengantarkan penemunya kepada spiritualitas atau pun agama? Bila jawabannya dimintakan kepada Edward O. Wilson, ahli biologi yang tekun memelajari perilaku semut, mungkin ia akan mengulang pernyataannya: “Alam semesta menyimpan kunci menuju kepuasan estetis, intelektual, kognitif, dan bahkan spiritual kita.” Namun, biolog lain seperti Richard Dawkins mungkin memilih untuk tak menafsirkannya lebih jauh. Dawkins berhenti pada tafsir materialistik semata.

Mengapa tak mudah keduanya, sains dan agama ataupun spiritualitas, untuk bertemu? Seperti halnya Hawking, banyak orang berpikir bahwa sains dan agama tidak bisa bertemu sebab sains berbasis fakta sedangkan agama berbasis keyakinan. Neuroscience barangkali dapat membantu kita untuk melihat lebih terang hubungan yang kompleks antara keyakinan agama dan sains.

Sejumlah ahli neuroscience mengatakan, konflik ini mungkin berakar pada struktur yang sangat dalam pada otak manusia. Mereka mengamati pada tingkat neurologis ketegangan antara penalaran analitik yang diasosiasikan dengan ketidakyakinan kepada Tuhan (disbielif) dan penalaran moral yang diasosiasikan dengan keyakinan kepada Tuhan atau ‘spirit universal’.

Studi ini memperkuat hasil studi sebelumnya oleh tim yang sama yang menunjukkan bahwa otak memiliki jejaring analitik yang digunakan untuk pemikiran kritis dan jejaring sosial yang memungkinkan kita berempati dan terlibat dalam penalaran moral. Terdapat pertentangan di antara kedua jaringan itu. Ketika orang merasakan keyakinan di dalam entitas supernatural, mereka akan menekan jejaring otak yang dipakai untuk pemikiran analitik. Sebalikna, ketika mereka berpikir tentang dunia fisik, mereka tidak menyertakan jejaring otak yang terlibat dalam empati dan penalaran moral.

Tapi apakah temuan ini kebenaran yang final, yang tidak mungkin salah, atau tidak dapat ditafsirkan secara berbeda? Alih-alih berlawanan, bukankah jejaring-jejaring itu dapat digunakan untuk memahami sesuatu dari sudut pandang yang berlainan tanpa harus saling meniadakan fungsinya? Ini tidak ubahnya pertanyaan: “Apakah kamu seniman atau ilmuwan?” Mengapa mesti memilih salah satu bila bisa keduanya? Seperti Leonardo da Vinci yang ilmuwan sekaligus seniman rupa, atau seperti Umar Khayyam yang matematikawan dan astronom sekaligus pujangga?

Haruskah memilih salah satu? Seperti ditulis Carl Sagan dalam bukunya The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark (1996): “Jelas tidak ada jalan untuk kembali. Suka atau tidak, kita terjebak dengan sains. Kita lebih baik membuat yang terbaik dari itu. Ketika kita akhirnya datang untuk berdamai dengan sains dan sepenuhnya mengakui keindahan dan kekuatannya, kita akan menemukan spiritualitas maupun hal-hal yang praktis..” (sumber ilustrasi: thinglink.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

38 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB