x

Ketua Komisi Yudisial (KY), Dr. Aidul Fitriciada Azhari, menyeleksi salah satu calon hakim agung dan calon hakim ad hoc Tipikor di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, 20 Juni 2016. Seleksi ini dilakukan dengan Wawancara Terbuka. TEMPO/Subekti.

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Independensi Hakim dan Peradilan Modern~Muhammad Ilham

Bicara mengenai independensi kekuasaan kehakiman, sebaiknya kita juga tidak ahistoris bahwa prinsip tersebut tidak pernah berdiri sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Muhamad Ilham

Kepala Sub-Bagian Hubungan Antarlembaga Komisi Yudisial RI

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Binsar M. Gultom, dosen pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta, menulis artikel "Membagi Kekuasaan Kehakiman" di Koran Tempo pekan lalu mengenai Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim. Binsar mengkritik gagasan dalam rancangan itu, yang akan membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman kepada lembaga lain. Tulisan ini sebagai tanggapan atas artikel tersebut.

Reorientasi konsep pengelolaan peradilan menjadi wajar dilakukan mengingat lebih dari 10 tahun reformasi peradilan berjalan tanpa perubahan signifikan. Pada 2016 saja, sampai September tercatat setidaknya 28 aparat peradilan, yang terdiri atas 23 hakim dan 5 pejabat pengadilan, terlibat berbagai kasus, seperti mafia peradilan, pengaturan perkara, pertimbangan yang aneh, dan koneksi pejabat. Data terbaru sejak 2016, sebagaimana dirilis Doingbusiness.org mengenai Indeks Kualitas Proses Peradilan Bank Dunia, menunjukkan, pada aspek bisnis, Indonesia berada pada posisi 6,5 dari skala 0-18 atau sekitar 36,1 persen dari proses peradilan yang ideal pada aspek bisnis.

Deretan fakta di atas dan fenomena yang terus kita ikuti di media seharusnya mampu menyadarkan kita mengenai hal yang harus dievaluasi dalam cara negara ini mengelola peradilannya. Perbaikan pada pola manajemen hakim mutlak dan harus terus-menerus diperbaiki. Ini mengingat konsep perubahan awal pada 1999 lewat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman itu lebih didasari pada euforia untuk menghilangkan intervensi pemerintah melalui departemen.

Bicara mengenai independensi kekuasaan kehakiman, sebaiknya kita juga tidak ahistoris atau bahkan pura-pura lupa bahwa prinsip tersebut tidak pernah berdiri sendiri. Di mana ada independensi, di situ pula terdapat akuntabilitas yang sama penting untuk juga diperjuangkan. Dalam setiap prinsip universal, pada setiap momen internasional, atau melalui para sarjana di bidang hukum, dari International Commission of Jurists di Bangkok pada Februari 1965 sampai Mount Scopus International Standards of Judicial Independence di Yerusalem pada 2008 dan dari komentar hakim Kanada pada saat Montreal Declaration pada 1983 sampai pendapat Hakim Agung Paulus Efendi Lotulung pada 2003 di Denpasar, Bali, semua menyuarakan bahwa tidak pernah ada independensi yang disuarakan secara sepihak tanpa disandingkan dengan akuntabilitas.

Sebuah larangan hanya berlaku bagi upaya yang melanggar independensi individual hakim. Reorientasi konsep "atap" bukan merupakan pelanggaran independensi. Ia merupakan realitas sekaligus tuntutan yang terjadi di banyak tempat. Praktek pengelolaan peradilan modern adalah fakta yang paling jelas bahwa peradilan tidak mungkin diberi beban lebih selain hanya fokus dalam perkara dan kesatuan hukum untuk keadilan.

Berdasarkan dokumen Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), Resource Guide on Strengthening Judicial Integrity and Capacity (New York, Desember 2011), konsep shared responsibility (pembagian tanggung jawab) adalah fakta empiris yang telah terjadi di banyak negara, terutama rumpun negara-negara dengan tradisi hukum sipil (civil law). Intensi banyak negara membuktikan bahwa pemisahan jelas antara tugas yudisial dan tugas non-yudisial semata-mata bertujuan memfungsikan hakim dan tidak membebaninya dengan pekerjaan yang lain. Konsep tersebut sekaligus memberikan pelajaran berharga untuk mendudukkan hakim sebagai sebenar-benarnya pemutus perkara, bukan seorang manajer.

Intervensi tidak selalu ditafsirkan berasal dari pengaruh luar. Intervensi sangat mungkin datang justru dari pengaruh internal dan muncul karena tidak adanya kontrol. Masalah sebenarnya adalah kekuasaan yang tanpa kontrol, sehingga menumpuk kekuasaan pengelolaannya berada pada satu entitas saja sangat berpotensi mengulangi kesalahan yang sama. Perubahan yang signifikan hanya akan terjadi pada saat upaya perbaikan telah menyentuh oknum-oknum yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan menghentikan praktek oligarki pada kekuasaan mana pun, tidak terkecuali kekuasaan kehakiman.

Tidak ada istilah "harga mati" untuk seluruh upaya yang lebih baik, termasuk dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim. Rancangan ini terlalu sederhana jika hanya diperuntukkan bagi kesejahteraan dan fasilitas para hakim, karena di dalamnya ada kepentingan publik yang juga harus dipikirkan: orang-orang yang nasibnya berada di bawah palu para hakim. Jadi, dengan lahirnya UU Jabatan Hakim nanti, masyarakat berhak mendapatkan hakim yang lebih baik dan memastikan perkara mereka diurus oleh hakim yang berintegritas dan cakap.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler