x

Iklan

Hijrah Ahmad

Editor Penerbit Erlangga
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Islam dalam Cengkeram Trump

Mereka-reka nasib muslim Amerika dan konflik di Timur Tengah pasca terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah Trump resmi menjabat presiden Amerika, Commission on Radical Islam (Komisi Islam Radikal) kemungkinan besar akan diaktifkan. Artinya, kebijakan penindakan tegas kepada warganya yang terlibat radikalisme dan pelarangan imigran muslim masuk ke Amerika akan segera diberlakukan. Campur tangan Trump di Timur Tengah dengan dalih memukul mundur pasukan ISIS pun tinggal menghitung hari.

Kalimat “Sulit melepaskan Islam dari radikalisme” yang dilontarkan Trump menunjukkan betapa ia ‘tampak’ begitu phobia terhadap Islam. Trump mengatakan bahwa setiap tahun, Amerika menerima hampir 100.000 imigran dari Timur Tengah. Data ini jelas membuatnya semakin phobia. Itulah sebabnya Trump ingin merigestrasi imigran muslim dengan alasan menjaga keamanan warganya.

Keinginan Trump untuk menggempur ISIS juga patut diapresiasi. Siapa pun tidak akan setuju dengan apa yang dilakukan ISIS. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan, tuluskah langkah Trump mengingat ISIS disinyalir sengaja diciptakan Amerika sendiri untuk mengacaukan Timur Tengah?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaan tersebut tentu sulit dijawab. Dalam kenyataannya, ISIS dengan segala berita kejahatannya telah membuat hampir kebanyakan orang yakin bahwa mereka berafiliasi dengan Islam. Jadi, dalam benak mereka, apa yang dilakukan ISIS kemungkinan juga akan dilakukan oleh muslim yang lain.

Stigmatisasi dan phobia terhadap Islam di Amerika sudah terjadi lama terlebih pasca tragedi WTC tahun 2001 silam. Dalam buku “Bulan Terbelah di Langit Amerika” besutan Hanum S Rais misalnya, potret umat Islam pasca tragedi WTC dapat kita saksikan begitu memprihatinkan. Muslim Amerika menjadi kaum yang sangat menderita. Sekumpulan minoritas ini tak hanya dibenci dan dihujat, mereka pun seperti diasingkan dari kehidupan sehari-hari.

Tak hanya dibenci dan dihujat, anggapan bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan pun semakin menjalar dan menjadi-jadi. Di Miami misalnya, kampanye negatif terhadap Islam bahkan dipasang di sejumlah badan bus.

Islam pun seperti tidak dianggap. Tahun 2010 ketika sebuah bom meledak di dekat masjid di kota Jacksonville, Florida, pemerintah seakan acuh tak acuh padahal bom tersebut meledak saat puluhan muslim tengah melaksanakan salat berjamaah. Banyak nyawa yang terancam pada waktu itu tapi pemerintah terkesan membiarkan kejadian tersebut bahkan liputan media pun sangat dibatasi.

Stigma mengenai Islam inilah yang kemudian selalu menjadi ‘menu segar’ dalam setiap pidato Trump ketika kampanye. Trump bahkan kerap menyamakan ISIS dengan Fasisme, Nazisme, dan Komunisme yang harus dilenyapkan. Trump berambisi ingin mengulangi kejayaan Amerika seperti yang terjadi ketika Perang Dingin dahulu. Karenanya, tak hanya ISIS, Trump pun berjanji akan menumpas Al Qaeda, dan Islam radikal lainnya.

Cerdiknya, Trump tidak menggerus ISIS sendirian. Trump menggunakan negara Arab dan sekutunya di Timur Tengah sebagai ‘tangan’nya. Dalam program Commission on Radical Islam selain merangkul negara Arab dan sekutunya di Timur Tengah, komisi ini juga akan menyiapkan dana besar, untuk memperluas intelijen dan cyber warfare untuk mengganggu dan menonaktifkan propaganda ISIS.

Di tengah stigmatisasi dan phobianya terhadap Islam, langkah Trump jelas kontradiktif dan justru akan memperparah konflik. Tapi jangan-jangan memang itu yang ia harapkan. Kekacauan dan konflik di Timur Tengah harus terus terjadi agar gerakan, konsentrasi, dan kekuatan Islam di Timur Tengah terpecah dan dapat ia atur. Jika semua negara di wilayah tersebut memperoleh kemerdekaan, maka itu akan mengancam sekutunya, Israel.

Selain itu, Amerika jelas mempunyai kepentingan ‘pengamanan’ minyak mentah yang besar di Timur Tengah. Pasca tumbangnya Hosni Mubarok, sekutu Amerika di Mesir, Amerika tentu tidak ingin kehilangan kaki tangannya lagi. Suburnya minyak di Timur Tengah selalu menjadi daya tarik bagi Amerika. Negara adikuasa ini akan terus berusaha mengejar tujuan ekonominya dengan cara apa pun, termasuk membuat kekacauan dan perang.

Sumber Gambar: americasfreedomfighters.com

Ikuti tulisan menarik Hijrah Ahmad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler