x

Petani memetik daun tembakau di Desa Dampit, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 23 Agustus 2016. Petani terpaksa menimbun tembakau kering siap jual dalam sepekan ini karena belum ada bandar yang memborong pasca merebaknya isu akan n

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kampanye Pengendalian Tembakau Tidak Bunuh Petani

Tudingan yang misleading ketika penggiat pengendalian tembakau dituding memaksa petani beralih tanaman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perjalanan penggiat pengendalian tembakau kerap menemui batu sandungan. Banyak tudingan ngasal diarahkan kepada penggiat pengendalian tembakau. Di antaranya, aktivis pengendalian tembakau yang sejatinya mendambakan negara ini memiliki generasi sehat disebut antek kapitalis lantaran menerima duit dari konspirasi pabrikan obat dari Amerika dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Tuduhan itu masih tak terlalu menyakitkan sih meski ngeselin. Tapi yang bikin sesak napas saat kami dituding hendak membunuh petani tembakau. “Yang harus dikendalikan itu rokok, bukan tembakau. Tembakau gak salah. Kasihan petani. Serangan kalian ke petani ini pantas gak pernah goal,” kata seorang rekan.

Terus terang saya sedih mendengar protes itu. Tapi saya malas mendebat. Pernyataan setipe itu banyak mewakili ahli hisab atau orang yang sok berdiri atas nama petani, tapi sebenarnya justru mendukung kapitalisme itu sendiri. Kenapa? Karena kami tahu, mereka dibayar industri rokok. Atau  jika mereka menyangkal, gaya sok melindungi mereka itu tak memakai data alias omong doang. Wong petani tembakau selama ini hidup pas-pasan dan sulit bernapas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Benarkah tudingan bahwa kami tidak punya empati atas penderitaan petani? Program Manager Indonesian Institute for Social Development (IISD) Deni Kurniawan menuturkan para penggiat pengendalian tembakau memang kerap dibenturkan dengan petani, di samping isu kontribusinya terhadap perekonomian tanah air. Ini memang titik paling lemah ketika manusia diserang di sisi kemanusiaan kita.  

“Tudingan yang misleading ketika penggiat pengendalian tembakau dituding memaksa petani beralih tanaman,” kata Deni saat berbicara di The 3rd Indonesian Conference on Tobacco or Health di Yogyakarta, akhir bulan lalu.

Benarkah demikian? Deni punya data-datanya. Di seluruh dunia, tembakau (96 persen daun tembakau dipakai untuk membuat rokok ya) ditanam di 124 negara dengan luas lahan sebesar 3,8 juta hektare (Michael Eriksen, dkk. 2012. Tobacco Atlas (Georgia: American Cancer Society). Terluas di Cina. Negara itu menguasai 42 persen luas lahan tanaman tembakau, disusul gabungan negara Brasil, Amerika Serikat, dan India. di Negara-negara produsen tembakau di luar itu memproduksi 34 persen sisanya termasuk Indonesia. Bahkan, Indonesia hanya memproduksi 3 persen dari tembakau di dunia.

Jika bicara angka, produksi daun tembakau di Indonesia stagnan 180-225 ribu ton per tahun. Di sisi lain, industri rokok membutuhkan tembakau hingga 363.130 ton pada 2015 yang dipakai untuk memproduksi sebanyak 360 miliar batang pada 2014. Berarti industri tekor bahan baku (daun tembakau). Dari mana kebutuhan tembakau untuk menutupi kekurangan produksi? Ya tentu saja impor tembakau. Industri biasanya mengimpor dari Cina, Turki, dan Brasil dengan alasan harga lebih murah dan kualitas lebih baik, bahkan bila dibandingkan dengan tembakau dalam negeri. Inilah salah satu faktor yang bikin petani tembakau menderita.

Nah, bayangkan dengan Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau 2015-2020 yang dibuat Menteri Perindustrian tahun lalu. Pada 2020, pemerintah menargetkan bisa memproduksi 524,2 miliar batang rokok. Dengan target produksi sebesar itu, berapa banyak lagi tembakau yang akan diimpor untuk menutupi kebutuhan. Jangan-jangan, kenaikan produksi malah bikin mereka sengsara, jika lagi-lagi yang digunakan tembakau impor.

Masalah lain yang dihadapi petani adalah mekanisme pasar yang tidak menguntungkan mereka. Di lapangan, para pengepul akan memilih tembakau piliha dan dengan standar yang tidak ajeg. Penentuan harga dan kualitas dilaksanakan dengan sangat subyektif, hanya dengan dicium baunya saja! Masalah lain, ya cuaca yang tidak menentu dan tata cara pengelolaan tembakau pasca panen. Kombinasi beberapa faktor ini berperan besar menentukan kelaikan jual daun tembakau. Akhirnya harga tembakau tetap jelek dan petani merugi meski para taipan penjual nikotin untung besar.

Fakta-fakta itu terus ditutupi oleh industri. Mereka bahkan memperalat petani yang sudah terpuruk karena ketidakmampuan bernegosiasi dengan pengepul, dengan isu bahwa kampanye penggiat pengendalian tembakau akan ‘memiskinkan’ mereka.

Padahal, jika menilik Rencana dan Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014, terpampang nyata lho persoalan mendasar para petani itu. Bukan disebabkan oleh kampanye sehat para penggiat pengendalian tembakau. Para petani itu dihadapkan kepada:  

  1. Meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global
  2. Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air
  3. Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta KK < 0.5 Ha)
  4. Sistem perbenihan dan perbibitan nasional belum berjalan optimal
  5. Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani
  6. Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh
  7. Masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi
  8. Belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik
  9. Rendahnya nilai tukar petani (NTP)
  10. Belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian
  11. Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian

Yang lebih gila lagi, tudingan mematikan hak hidup petani jika pemerintah meratifikasi dan mengaksesi Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC). Padahal, jika Anda mau sedikit membaca, artikel-artikel di dalam FCTC itu jelas lho menyebut pendampingan ke para petani untuk alih tanam.

Article 17: Pemberian dukungan terhadap alternatif kegiatan yang mudah dan ekonomis

Negara anggota harus, dalam kerjasama satu dengan lainnya dan organisasi antar pemerintah international dan regional, menyebarluaskan, bila perlu , kepada petani tembakau, pekerja pabrik pengolahan tembakau dan bisa juga penjual perorangan mengenai alternatif kegiatan yang secara ekonomis viable.

Article 18 : Proteksi lingkungan dan kesehatan manusia

Di dalam menjalankan kewajiban-kewajiban mereka di bawah Konvensi tersebut, negara Anggota sepakat untuk memberlakukan jatuh tempo berkaitan dengan proteksi lingkungan dan kesehatan manusia sehubungan dengan lingkungan berkenaan dengan budi daya tembakau dan pengolahannya di  dalam wilayah terkait.

Kenapa tembakau perlu dikendalikan?

Ini untuk menjawab pertanyaan bahwa tembakau tidak salah. Seperti yang saya tulis di atas, 96 persen daun tembakau dipakai untuk memproduksi rokok. Sisanya dipakai untuk membuat bidis, snuff, dan kretek. Masih gak jauh kan dari merokok atau mengendusnya. Sama berbahayanya dan membikin candu.

Bicara dampak tembakau, sudah jamak diketahui, seperti yang tertulis pada peringatan tertulis dalam sebungkus rokok. “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.” Kalimat yang bahkan sudah hapal di luar kepala oleh Ricky, 19 tahun, perokok dan murid kelas 3 SMA di Papua Barat yang saya temui akhir bulan lalu.

Ricky mengetahui dampak merokok. Tapi ia tak sanggup berhenti. Satu bungkus rokok bisa dihabiskan dalam dua hari. “Dulu sehari bisa dua bungkus, saya kurangi. Kalau harga rokok nanti naik jadi Rp 50 ribu, saya akan berhenti total karena tak sanggup beli.”

Ia mengakui, akibat kecanduan merokok, ia kerap mengalami sesak napas dan perih di dada.  Badannya kerap keringetan tanpa sebab. “Makanya saya kurangi walau gak bisa total.”

Akibat rokok bukan saja yang tertulis dalam peringatan tertulis itu. Peringatan bergambar dalam bungkus rokok, juga menyebabkan kanker mulut, kanker laring, paru-paru bolong, dan keguguran janin. Rokok juga menyebabkan kemiskinan lho. Kenapa?  Tahukah Anda, kelompok masyarakat marjinal menghabiskan biaya tertinggi kedua setelah beras ya untuk beli rokok.

Jadi, orang akan memilih tidak usah pakai lauk dan gizi cukup asal tetap bisa merokok. Anak menderita gizi buruk, peduli amat. Gak usah peduli biaya sekolah menunggak lima bulan, yang penting anggaran untuk merokok tidak berkurang.

Tahukah Anda, bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok laki-laki terbanyak di dunia. The Tobacco Atlas pda 2015 melansir, dengan prevalensi 66 persen perokok laki-laki di atas 15 tahun, jumlah perokok Indonesia sebanyak 90 juta. Ini membuat kita juara perokok sedunia. Ini bukan prestasi ya. Ini adalah penyakit yang harus ditangani Indonesia.

Selama ini, industri rokok selalu menggembar-gemborkan cukai yang sudah dibayarkan (sebenarnya yang membayar ya konsumen lho bukan industri) kepada negara. Mari bicara data ya.

Anda tahu, penerimaan cukai rokok pada 2015 sebesar 139,5 triliun atau 96 persen dari total pendekatan cukai negara. Tampaknya besar ya. Tapi tunggu dulu. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melansir pengeluaran pemerintah pada 2015 untuk biaya rawat  inap dan jalan tertinggi semuanya berkaitan dengan rokok atau penyakit tidak menular. Misalnya, kanker atau tumor paru, trakea, tumor mulut dan tenggorokan, stroke, dan jantung koroner.

Berapa biayanya? Untuk tahun 2013 saja, menurut hasil Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Litbangkes), besar beban yang ditanggung pemerintah akibat penyakit ini sebesar Rp 378,75 triliun atau tiga kali lebih besar dari penerimaan cukai rokok tahun 2015.

Bayangkan jika kita bisa menghemat pengeluaran rokok. Tidak merokok satu hari, kita bisa menabung Rp 15 ribu. Jika dikalikan 30 hari, maka kita bisa menghemat Rp 450 ribu. Dalam  setahun, kita bisa berhemat Rp 5,4 juta. Dalam sepuluh tahun, tabungan kita bisa mencapai Rp 54 juta dengan berhenti merokok. Bisa buat naik haji, bayar uang muka kredit rumah, atau modal beralih tanaman bagi petani.

Nah, dari pemaparan itu, maka sungguh tak adil jika para ahli hisab, pecinta kretek, mitra industri rokok terus menjadikan kami kambing hitam atas ketidakberdayaan dan pemiskinan petani. Jika fakta-fakta itu tidak membuat Anda sadar, rasanya perlu piknik lebih jauh lagi.

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB