Jurus Baru Redam Gejolak Harga Daging

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Analisa problem harga daging dan Jurus Baru Redam Gejolak Harga Daging

Oleh Subairi Muzakki

 

Mulai kwartal IV tahun 2016 ini, pemerintah mengeluarkan jurus baru menghadapi gejolak harga daging sapi. Jurus baru itu adalah sistem rasio indukan yang mewajibkan importir untuk menyertakan sapi indukan dengan rasio lima sapi bakalan satu indukan bagi pengusaha penggemukan (feethloter) dan sepuluh bakalan satu indukan bagi peternak rakyat.

Awalnya, pengusaha keberatan dengan sistem itu. Mereka yang sudah nyaman dengan sistem kuota impor, merasa dirugikan. Tapi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tak bergeming. "Saya juga pengusaha. Kalau mereka bilang rugi, ayo kita berhitung. Sebenarnya mereka tidak rugi. Tapi kalau keuntungannya berkurang, itu iya," kata Enggartiasto.

Sebagai menteri dengan latar pengusaha, Enggartiasto tak mau kalah cerdik dengan importir. Importir yang mengaku rugi, kata dia, pasti bohong. Bertahun tahun mereka menikmati untung besar. Mereka berada dalam zona nyaman.

“Saya sadar betul saya pengusaha dan saya nggak mau pengusaha rugi. Kita butuhkan mereka. Tapi tolong sudahlah cukup, cukup mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kita ingin rakyat kita kaya, sejahtera,” imbuhnya.

Dengan sistem rasio itu, Enggartiasto mengajak semua pengusaha untuk berpikir jauh ke depan. Saat ini, penyebab gejolak harga adalah kurangnya stok daging nasional. Kekurangan itu merupakan efek dari kebijakan importasi selama ini yang tidak memerhatikan populasi sapi nasional. Dari tahun ke tahun, populasi sapi nasional makin berkurang. Kalau tren ini tidak distop, sudah pasti harga daging akan terus melonjak.

Setelah melalui berbagai pertemuan, para pengusaha itu akhirnya menyadari pentingnya sapi indukan untuk masa depan sapi di Indonesia. Mereka juga sadar bahwa hanya dengan sistem rasio itulah populasi sapi Indonesia yang terus berkurang bisa kembali ditingkatkan. Mereka menjalankan sistem tersebut dan pada tanggal 21 November 2016, tercatat sudah ada 5.800 ekor sapi indukan yang masuk ke Indonesia.

 

Riwayat Daging Sapi Impor

Sistem rasio indukan adalah jurus visioner dalam menghadapi gejolak harga daging sapi. Umumnya, untuk menekan harga yang diakibatkan oleh kurangnya stok nasional, pola yang diterapkan adalah impor sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, impor dilakukan dalam bentuk daging langsung, yang biayanya lebih murah ketimbang impor sapi. Daging sapi impor itu akan masuk ke pasar dengan harga lebih murah. Dan, gejolak harga pun bisa diatasi dengan cepat.

Pola ini dilakuan dari tahun ke tahun sejak Indonesia melakukan impor pertama kali pada tahun 1990. Dalam waktu singkat, harga memang langsung bisa dikendalikan. Tetapi, dalam waktu singkat pula, Indonesia semakin bergantung pada daging sapi impor. Tahun 1990, Indonesia mengimpor sapi bakalan sejumlah 8.061 ekor. Dua belas tahun kemudian, angka ini melonjak drastis jadi 429.615.

Pada periode 1997-2001, Indonesia pernah mengurangi impor sapi bakalan. Tapi, itu dilakukan karena terseret krisis ekonomi. Bukan dilakukan dengan pertimbangan dan strategi matang untuk menghentikan gejolak harga daging secara permanen.

Karena itulah, pengurangan impor justru menjadi bencana baru bagi Indonesia. Sebab dalam waktu singkat, populasi sapi lokal menurun drastis akibat melonjaknya permintaan. Maka, pada tahun 2002, impor sapi bakalan terpaksa kembali dilakukan secara besar-besaran.

Impor sapi kembali dikurangi pada tahun 2009. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu mencanangkan visi swasembada daging. Visi itu ditempuh dengan mengurangi impor sapi sekitar 10 persen tiap tahun dan meningkatkan produksi sapi lokal.

Namun demikian, saat impor dikurangi, populasi sapi lokal ternyata justru makin menyusut. Pasalnya, produksi belum mampu mengimbangi tingginya permintaan yang selama ini diisi oleh daging sapi impor. Pelan tapi pasti, harga daging pun terus merangkak naik. Saat ini, harga daging Indonesia bahkan termahal ke 57 dari 108 negara. Dan termahal kelima di Asia Tenggara, lebih mahal dari harga daging di Philipina, Thailand, dan Malaysia.

Dari riwayat daging sapi impor ini, terlihat bahwa gejolak harga dibentuk oleh relasi antara kebijakan impor dengan populasi sapi nasional. Suatu relasi yang makin tidak berimbang karena populasi sapi terus menyusut dan impor makin besar. Mengurangi impor juga bukan cara yang tepat karena terbukti justru mempercepat kelangkaan sapi nasional yang makin membuat harga bergejolak.

 

Memutus Problem Utama

Di tengah relasi yang tak berimbang itu, lahirlah kebijakan sistem rasio indukan. Sistem ini sebagai ganti dari sistem kuota impor yang diberlakukan sebelumnya. Dengan sistem baru ini, pemerintah mewajibkan importir untuk menyertakan sapi indukan dalam rasio 1:5 bagi pengusaha feethloter dan 1:10 bagi peternak rakyat. 

Pengusaha diwajibkan menyertakan satu sapi indukan dalam lima sapi bakalan yang diimpor, sementara peternak rakyat dibolehkan mengimpor sepuluh sapi bakalan dengan menyertakan satu sapi indukan. Bagi pengusaha yang menggandeng peternak, rasio yang dipakai adalah rasio indukan untuk peternak, yaitu 1:10.

Sistem ini jelas bukan semata dimaksudkan untuk memecahkan problem harga saat ini, tapi juga problem harga daging sapi di masa depan. Caranya dengan masuk pada penyebab utama dari rangkaian gejolak harga selama ini, yaitu minusnya gairah industri pembiakan sapi atau dikenal dengan istilah breeding.

Selama ini, breeding dipasrahkan kepada peternak rakyat. Sementara pengusaha besar memilih hanya melakukan penggemukan atau feethloter. Breeding yang dijalankan oleh peternak rakyat itu membutuhkan waktu antara 3-4 tahun, sedangkan pengusaha besar hanya butuh waktu 4 bulan. Dari selisih waktu produksi ini, jelas sapi hasil breeding peternak rakyat tidak akan mampu mengimbangi kebutuhan industri penggemukan yang masa produksinya hanya 4 bulan. Dan ketidakmampuan itulah yang memaksa Indonesia terus bergantung pada sapi bakalan impor.

“Coba lihat pengusaha besar. Mereka hanya proses penggemukan dan langsung potong. Lho enak betul. Selama 90 hari penggemukan dan langsung potong. Saya balik. Pengusaha besar breeding, nanti rakyat beli untuk penggemukan. Rakyat disuruh jangka panjang, sementara pengusaha besar tinggal menggemukkan dan langsung bisa dijual. Ini yang harus diubah,” kata Enggartiasto

Sistem rasio indukan adalah upaya untuk mengubah pola itu. Pengusaha besar yang selama ini dengan enaknya tinggal impor dan potong, dipaksa untuk mendatangkan sapi indukan untuk breeding. “Kalau mau impor sapi bakalan boleh tapi sapi indukan breeding dong. Kalau nggak punya tanah, ya cari tanah. Kalau sudah menemukan tanah untuk peternakan, ada persoalan, saya turun. Saya akan bicara sama Bupati-nya. Ini ada investor turun,” tuturnya.

Dengan begitu, sistem rasio indukan mendorong gairah pembiakan sapi dan mengakselerasi peningkatan populasi sapi Indonesia. Sehingga, di masa depan, populasi yang terus bertambah itu, tidak hanya menjawab gejolak harga, tapi juga mampu mengembalikan negeri ini pada posisi yang pernah dicapainya pada era 1970-an, yaitu sebagai eksportir. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Subairi Muzakki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler