x

Iklan

Hajaruddin Anshar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Partai Politik Tanpa Komunitas

Pelembagaan kepentingan umum oleh partai mestinya bisa dalam bentuk komunitas kecil "desa" yang boleh disebut sebagai Indonesia mini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dijalan - jalan kota. Gerombolan anak anak muda menenteng bendera - bendera partai. Mereka menancapkan tiang - tiang dipinggir jalan setelah mengikat bendera diujungnya. Kadang ketika tak mampu ditancap, ia diikat diantara tiang tiang lampu penerang jalanan. Jikapun tak mampu bendera partai itu diikat dipohon pohon yang meneduhkan jalanan. Sementara di gedung – gedung besar, hotel berbintang kader kader partai menyamun diri.

Tradisi partai politik, menggempita dalam ruang structural. Tidak lebih ketika deklarasi pembentukan partai, pemilihan ketua dari tingkat daerah sampai pusat. Setalah itu, kita tak lagi mengetahui apa yang mereka lakuakan. Suatu kehidupan politik yang riuh dalam perebutan jabatan, namun seketika bisu ketika bicara soal kepentingan besar, menjembatani harapan rakyat.

Partai menghimpun kekuatan kala mengejar kursi parlemen, setalah itu kita tak menjumpai suatu pertemuan selanjutnya. Jarang yang kembali bersama rakyat bercerita panjang tentang harapan ketika menang apalagi ketika kalah. Tak ada “komunitas politik” hingga akhirnya kerja politik sebagai rengkuhan ide – ide kerakyatan menjelma dalam ide politis. Tindakan mereka tak memilki keterakaran dalam harapan masyarakat. Jikapun ada yang kembali duduk bersila bersama rakyat ia menyiapkan diri menerimka kutukan : politisi kesepian. kutukan dari kejahatan politik.

Apa yang salah, partai politik sebagai komunitas pelembagaan ide kerakyatan tidak berjalan dengan baik. Ketidak terakaran tindakan sosial kader partai tidak pernah dikoreksi bersama sebagai suatu komunitas nyata; interaksi gagasan- tidak sesemangat ketika mendirikan partai atau ketika menghelat pemilihaan pemimpin partai. Belum lagi system perwakilan lewat partai politik selalu berubah – ubah. Demokrasi prosedural seringkali dikatakan berlawanan dengan demokrasi subtansial. Padahal sebenarnya prosedural demokrasi adalah jalan bagi demokrasi subtansial, Huntington menyebutnya demikan. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Prosedural demokrasi yang mapan akan membentuk suatu pelembagaan komunitas, wewenang yang baik pula.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak adanya koreksi atas ketidakterakarannya tindakan social mereka dan berubahnya prosedur sesuai dengan keinginan mereka memunculkan egoisme individu dan kelompok. Partai politik demi menunjukkan eksistensi politisnya kadangkala tampil dengan pemaksaan pembenaran teoritis dalam menunjukkan posisinya yang selalu dianggap benar. Anggota partai lalu membangun argumen sekedar merasionalisasikan apa yang mereka lakukan. Persoalannya kemudian kita tidak bisa menemukan kejujuran pada pengungkapan fenomena kebuadayaan politis yang terus berkembang. Problem ini lalu mengurangi atau bahkan menyembunyikan fakta – fakta yang menjadi penyakit partai politis sendiri. meskipun hal ini selalu dibenarkan dengan dalih kita baru belajar demokrasi. Jika demikian halnya munjul pertanyaan, ketika rakyat tak pernah memanen maka sejak kapan pesta demokrasi itu ada.

Apa yang mesti dilakukan oleh partai politik, pelembagaan ide ide politik dalam suatu komunitas kecil menjadi alternatifnya. Komunitas partai politik: sebagai penjelmaan ide – ide kerakyatan harus membentuk ramuan pembangunan lokal yang pada akhirnya merupakan wajah dari keterwakilan kepentingan masyarakat. Tentunya ide ini bisa diterapkan dalam komunitas yang paling kecil misal satu desa, yang kemudian nantinya membentuk suatu “rumah kebudayaan partai” yang merupakan wujud “Indonesia kecil” dalam paradigm politik mereka. Di ruang itu, segala iktiar politik partai dimobilisasi untuk melahirkan komunitas yang mapan dalam hal ekonomi, sosial dan budaya.

Kita terbiasa menyaksikan partai telah lama membentuk diri, kadang harus terpental dalam masalah ambang batas partai, seteru itu kemudian disebut sebagai cara partai – partai besar menghabisi partai partai kecil. Tak jarang kemudian mereka yang tak mendapar ruang elite kekuasaan berevolusi membentuk wujud partai baru meskipun dengan bahasa – slogan yang berbeda. Melihat itu alangkah baiknya memang partai politik menyegerakan diri membentuk suatu rumah kecil, suatu komunitas yang mereka rencanakan hingga masyarakat dapat mengetahui bagaimana wujud Indonesia kecil dalam memobilisasi kepentingan mereka.

Andaikan komunitas politik itu terbentuk, maka semangat anak anak muda tidak lagi sekedar meneteng bendera dan memasang umbul - umbul partai dimalam hari sebelum musayawarah partai. tidak lagi sibuk hanya membentuk pengurus pengurus baru kemudian harus tersisih kemudian. Energi anak anak muda itu bisa ditransfer ke ruang publik yang nyata “ Desa” sebagai suatu komunitas politik dilain sisi transformasi pengetahuan- kaderisasi berjalan saling melengkapi hingga akhirnya terbentuklah Indonesia mini dalam kacamata partai politik.

Ikuti tulisan menarik Hajaruddin Anshar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu