x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rhythm dan Politik (kewargaan) Kota

ORGANIZE : Benefit Compilation For Community Empowerment

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“The crisis of the community, its dislocation, the distress of most of its members, went hand in hand with technological progress and social differentiation.” ? Henri Lefebvre

Hari ini, kehidupan kota yang ditawarkan semakin tidak jelas dan rumit. Kota telah kehilangan kebijaksanaan dan ketenangan, kota tidak lebih dari pusat-pusat kekuasan dan poros kapital. Kota lahir melalui pemusatan surplus produksi secara spasial dan sosial. Kota menyuguhkan kondisi dari relasi tertentu yang ter/dibentuk di tengah masyarakat, melalui pengembangan (jenis) relasi yang lain didalamnya dan berperilaku secara berbeda satu sama lain, sehingga harus terus menjadi bagian dari kota itu sendiri sampai  dapat menciptakan entitas-entitas yang membentuk komunitas yang sesungguhnya dari masyarakat itu sendiri. Relasi yang terbentuk inilah yang menimbulkan kompleksitas persoalan yang ditimbulkan. Hubungan relasional dalam hal timbal balik yang (tidak) sejajar dan adil menjadi pengalaman yang dimunculkan dalam memahami realita kota sebagai ruang dan waktu yang dikompresi ketika memberikan narasi (budaya) komposit melalui artefak dari orientasi spatial yang disuguhkan kota. Antara kutub dominasi dan resistensi pasti kita dapat menemukan repertoar yang luas dengan intermediasi nuansa yang mengungkapkan modalitas halus kelembagaan dalam masyarakat sipil.

Hegemoni penguasaan kota oleh kapital dan sistem aparatusnya membuka ruang-ruang gerak alternatif yang bersifat kewargaan dalam penciptaan solusi bagi ruang-ruang baru melalui relasi-relasi otonom yang memberikan narasi historisitas tentang kota-nya sebagai ruang yang berbeda dalam praktek produksi yang berbeda. Praktiknya, ruang  adalah arena konflik dan perjuangan antara fungsi dan kepentingan yang berbeda. Kontestasi praktik keruangan kota ditandai oleh dualitas  kekacauan dan  keteraturan. Kesatuan ruang-waktu-aktor bekerja sebagai landmark dari produksi-konsumsi yang dimaknai sebagai ruang publik dan berkembang menjadi ruang heterotopia yang muncul sebagai spatial activation.Historisitas yang terbentuk sebagai praktik produksi realitas dimana bentuk dan representasinya tidak serta-merta dianggap sebagai kausalitas yang berimplikasi waktu yang mewujud kepada peristiwa. Kota menjadi lansekap heterotopia yang berkembang berdasarkan keyakinan akan adanya kandungan nilai tertentu didalamnya yang terus menerus diproduksi-konsumsi dan saling berkontestasi dalam periodisasi tertentu untuk membentuk pola historisitasnya sendiri dalam praktik kewargaan yang kompleks.  Kota menjadi sebuah struktur bahasa melalui kerja manifesto bersejarah yang berlapis-lapis dari sebuah perubahan mental dan perkembangan teknik yang pragmatis, namun memiliki sistem hubungan yang ter/dibentuk melalui ekspresi yang kongkrit melalui publik dan ruang. Hubungan antara struktur spasial, waktu dan budaya bekerja beriringan dan terkadang bersinggungan dalam poros kerja sebuah kota. Membentuk komunitas otonom merupakan partisipasi politik massa yang diarahkan kepada mengubah pikiran dan tindakan dari kerja politik itu sendiri di sebuah ruang kerja (perkotaan) sebagai rekening partisipasi politik.

Setiap masyarakat menghasilkan ruangnya sendiri. Oleh karena itu setiap 'eksistensi sosial' bercita-cita untuk menjadi atau menyatakan diri untuk menjadi nyata, tetapi tidak menghasilkan ruang sendiri, akan menjadi entitas yang aneh, sebuah abstraksi mampu melarikan diri dilapangan ideologi atau bahkan budaya.  Pentingnya sebuah narasi rhythm, repetisi, dan siklus dalam gagasan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah imanen dalam ruang dan waktu. Renungan ini memungkinkan kita untuk secara kritis terlibat pertanyaan rumit terkait warga dan komunitas  untuk mengeksplorasi relasi narasi kota dan kewargaan dalam struktur masyarakat untuk mengenal dari celah pinggirian terkait perannya dalam hegemoni politik kota melalui koalisi kewargaan yang dipersingkat melalui arti kolektif waktu dan ruang. Komunitassebagai upaya berjenis tindakan politis terhadap kota, menjadi secuil oposisi yang berserak dalam pusaran politik perkotaan. Sebagai kelompok suatu ruang bermain yang berkoeksis dan memfasilitasi ruang pertukaran dan sirkulasi politik-kultural melalui beragam atribut dan artefak yang diproduksi dan konsumsinya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hubungan komunitas sebagai entitas kewargaan dan ruangnya tidak bisa lagi dipandang secara telanjang sebagai fungsi relasi hubungan ruang dengan fungsi fisikal-material semata yang saling terpaut, lebih dari itu menyediakan kemungkinan-kemungkinan partisipasi politik-kultural bagi warganya, salah satunya melalui kekuatan kerja rhythm yang dihasilkan dari musik.  Rhythm memberikan pengalaman sensorik lingkungan perkotaan dalam narasi kerja yang berbeda dan menunjukan cara kerja musik serta memberikan keterlibatan sensual bagi warga kota dalam meningkatkan hubungan sensorik dan politik (perkotaan). Hubungan antara musik dan warga melalui komunitas dengan beragam persepsi musikalitasnya masyarakat guna memetakan pijakan area politik perkotaan melalui penciptaan pengalaman restoratif dari memori kolektif warga. Hal ini menggarisbawahi cara di mana instrumen ini dapat membantu kita untuk memahami negosiasi politik dan lokasi budaya (ruang) yang  menjadi narasi baru bagaimana sejarah(ruang, waktu dan kewargaan), politik dan musik dapat berinteraksi dan melacak operasi wacana kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik-melalui media musik sehingga menghasilkan identitas politik . Adapun "negosiasi" identitas politik melalui mana unsur-unsur yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan terkait budaya , etnis atau sosial coba digabungkan secara merata dan terus menerus berlangsung serta mengalami fleksibilitas dan apropriasi identitas kewargaan (perkotaan) yang dinamis.

Namun, hal ini juga meninggalkan pertanyaan terbuka apakah kekuatan musik adalah subversif atau bentuk 'experiential marketing' politik. Peran komunitas musisi yang berafiliasi dengan kerja politis kewargaan akan bisa menjawab ini, minimal dalam konteks kerja partisipatori diruang-ruang yang disediakan, khususnya di arena perkotaan. Komunitas ini melalui kontribusinya mencoba berinteraksi dengan lingkungan perkotaan dengan cara memproduksi rhythm, agar komunitas-komunitas tersebut dapat mengikat kendali dengan ruang kotanya dalam perilaku keseharian yang nyata sebagai platform antarmuka, mobilitas, model interaksi kewargaan yang komunal. Melalui kerja komunitas dapat mengadopsi taktik politik dan desain tertentu yang berusaha untuk mendamaikan kontrol kualitas yang sistematis dengan kebebasan berekspresi yang otonom dengan wacana radikal yang menyasar bentuk-bentuk demokrasi partisipatoris yang lebih berorientasi kepada kemasyarakatan/publik. Ini dapat menjembatani kesenjangan antara skala mikro dan makro dari politik melalui kebebasan berekspresi, sehingga merayakan sifat istimewa dari kota. Sejauh mana musik menginspirasi dan memobilisasi aksi publik dengan cara mengorganisir, melakukan legitimasi dan platform kerja untuk kasus tertentu sehingga tindakan publik muncul melalui peran-peran komunitas otonom.

Musik memiliki kekuatan intrinsik untuk menyebarkan. Tidak seperti pamflet politik, itu menghibur. Tidak seperti pidato pengadukan, gaungnya bisa bertahan di luar asal-titik mimbar. Tidak seperti manifesto, itu bisa dihafal, diulang dan disebarluaskan. Kekuatan musik  akan meninggikan semangat komunalitas kewargaan, terlebih yang tengah mengalami diskriminasi hidup dan penghidupan diruang-ruang perkotaan. Rhythm pada musik menjabat sebagai media yang diterima sebagai sebuah kehadiran komunikasi verbal yang terinspirasi oleh realita keseharian warganya. Komunikasi antara kepatuhan dan pembangkangan menjadi bagian dari narasi keseharian warga dalam retrospeksi mencapai emansipasi politik. Melalui  membuat suara dan irama  ditujukan berdasarkan silang sekarutnya kota yang nyatanya semakin hening secara kewargaan dan kolektivitas, tetapi riuh dalam dalam praktik-praktik kekuasaan dan poros kapital karena kota telah kehilangan warganya.

Musik menjadi kendaraan yang langka dan ekspresi aman untuk menjadi entitas baru dalam pusaran politik perkotaan, tetapi dengan seperti itu justru menjadi titik dan kekuatan dalam bentuk keterlibatan politik yang bekerja melalui metafora dan makna ganda. Musik kemudian bisa menjadi tradisi (mistik) heterodoks dalam gerakan warga perkotaan melalui peran-peran kerja kolektif (antar) komunitas dengan menyediakan layanan sosial (hiburan-politis) melalui konversi, mekanisme untuk mobilitas dan meningkatkan relasi-relasi sosial. Justru karena musik tampaknya seperti bentuk yang tidak bersalah secara hiburan, menjadi kendaraan yang ideal dalam sebuah aktivasi ruang dan gerakan masyarakat sipil. Metafora dan double-entendre dikerahkan untuk berbicara tepat di bawah permukaan wacana dominan.Semua ini akan memungkinkan kita untuk mendapatkan gambar yang lebih fokus dari ruang terkait praktek kewargaan melalui komunitas dalam flatform kerja sosial budaya dan politik.

Musik menjadi alat transportasi dari proses serap-menyerap arus informasi pengetahuan dan kontruksi infrastruktur warga dan ruangnya untuk berkontestasi dengan cara berinteraksi sebagai koridor kerja yang dikontesktualisasikan dengan lingkungan perkotaan dimana musik itu diproduksi dan tumbuh untuk merespon dan merefleksikan proses-proses diatas. Hubungan musik dengan berbagai gerakan sosial dan politik tidak dianggap hanya sebagai window dressing, melainkan sebagai bagian integral dari gerakan tersebut.  Musik tidak hanya menyediakan kendaraan ekspresi politik, tapi juga memberikan narasi geo-spasial politik dimana musik itu diproduksi.

Musik yang disediakan sebagai sarana resistensi politik dan kanal ketegangan bahasa dan rhythm dapat dinyatakan dalam kerangka kerja oposisi (kota) terorganisir yang memiliki organisasi link antar komunitas dengan legitimasi yang dimilikinya dan kinerja kebudayaannya yang telah difokuskan pada gerakan hak-hak sipil dengan cara membawa warga secara bersama-sama dan membangkitkan pengalaman keseharian memori kolektif mereka sebagai sejarah gerakan hak-hak sipil untuk diaktivasi dan dimobilisasi dalam ruang-ruang perkotaan.

Rekaman yang terkait dengan musik dan kehidupan warga yang diproduksi terhubung  dengan kanal-kanal politik kewargaan dan ruangnya sebagai rhythm  yang menunjukkan rasa individu dan komunitas ditempat tertentu dan rasa dialektis ruang. Rhythm  yang dihasilkan merupakan salah satu dari kedua kegigihan sejarah memori kolektif warga, menunjukkan regulasi dan kontrol melalui perencanaan dan kebijakan, tetapi juga dari keterlibatan kompleks identitas sosial, habitus dan ruang  yang menantang kategorisasi kewargaan secara dangkal sebagai cerminan sebuah politik identitas tertentu. Musik yang dihasilkan berkontribusi mendefinisikan identitas kolektif dan mencerminkan preferensi sosial atau estetika masyarakat yang terwakilinya dan mempengaruhi pembangunan prestise politik. Ryhthm menjadi magnetik persuasi warga dengan fungsi politik yang jelas; untuk menarik warga terlibat dalam gerakan sosial dengan memelihara semangat dan solidaritas sementara di bawah pengepungan serta masalah yang lebih besar dari keterasingan sosial dan kesadaran kelas.

Aktivasi komunitas melalui musik dalam praktek ruang (kota) mendorong kontrol publik dan populer, untuk demokrasi partisipatif dan mendapatkan sedikit narasi politik partisan kontemporer.Dalam rangka memahami dampak politik dari musik,  bahwa warga (perkotaan) bekerja secara eksplisit untuk menghancurkan bentuk masyarakat individual dan membawa masyarakat ke dalam "dialog" dengan satu sama lain melalui bentuk panggilan-dan-respon. Oleh karena itu musik  diaktifkan melalui komunitas sebagai komunikasi yang membantu penempaan hubungan sosial pada saat masyarakat robek terpisah serta membantu warga dalam kesadaran ruang, politik dan memberikan tahanan dari situasi keadaan berat sekaligus  menyediakan sarana untuk subversi dala memperbesar gerakan mereka melalui musik dan pelayanan sosial, memberikan dukungan materiil dan pengangkatan spiritual bagi warga dan ruang kotanya sebagai ekspresi kerinduan kepada narasi kewargaan tetapi juga sebagai laporan melawan ketidakadilan sosial. Pola penciptaan ini dan konsumsi mencerminkan suasana meningkatnya optimisme tentang kemungkinan integrasi masyarakat sipil dan ruangnya yang equal dan plural. Set-punggung musik dari gerakan hak-hak sipil yang menandai adalah politik identitas yang tidak memerlukan protes eksplisit dalam menyatakan diri tetapi terlihat sebagai ritus dan situs kewargaan dalam memperoleh hak atas (ruang) kota sebagai  proses kodifikasikan narasi warga yang akan diwarisi sebagai rhythm perkotaan. 

November, 2016

*Tulisan ini ada dalam buklet CD kompilasi bertajuk "Organize" yang terdiri dari 21 band (punk, metal dan hiphop) dengan tujuan benefit untuk penguatan dan pemberdayaan komunitas, khususnya diperkotaan ( Bandung). 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler