Di Balik Perceraian Pemerintah dan JP Morgan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBAwalnya, kerja sama yang diputus ini berkaitan dengan penunjukan JP Morgan sebagai bank persepsi alias bank penerima dana pengampunan pajak.
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
Sebuah bank milik asing mendadak menjadi perhatian publik saat surat Kementerian Keuangan tersebar. Dalam surat tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengakhiri segala kerja sama dengan bank JP Morgan terhitung mulai awal Januari 2017. Awalnya, kerja sama yang diputus ini berkaitan dengan penunjukan JP Morgan sebagai bank persepsi alias bank penerima dana pengampunan pajak. Kasus berlanjut, dan ternyata imbas pemutusan kerja sama itu menyangkut pencabutan hak JP Morgan sebagai penjual surat utang Indonesia.
JP Morgan mendapat pukulan yang lumayan keras pada awal tahun ini. Isi surat Kementerian Keuangan memang awalnya tidak terlalu jelas. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa pemutusan kerja sama dilakukan karena JP Morgan menjadi an-caman bagi stabilitas sistem keuangan. Setelah ditelusuri, ternyata sikap Kementerian Keuangan ini ada kaitannya dengan hasil riset independen yang dilakukan JP Morgan pada November 2016.
Hasil analisis tersebut, JP Morgan dianggap tidak menguntungkan pemerintah Indonesia. JP Morgan merekomendasikan kepada investor atau kliennya untuk menjual surat utang negara. Alasannya, risiko surat utang Indonesia melonjak pasca-kemenangan Donald Trump. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya imbal hasil surat utang Amerika Serikat, baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Naiknya imbal hasil surat utang Negeri Abang Sam itu membuat investor buru-buru menjual kepemilikan utang di negara berkembang dan pindah ke Amerika Serikat.
Larinya modal dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ini sempat melemahkan nilai tukar rupiah. Bahkan, beberapa hari setelah kemenangan Trump, rupiah sempat menyentuh level 13.550 per dolar Amerika Serikat akibat aksi jual investor asing. Jumlah uang yang lari dari Indonesia atau capital outflow pun tercatat lebih dari Rp 5 triliun hanya dalam kurun satu minggu pasca-kemenangan Trump. Fakta lain juga menunjukkan betapa Bank Indonesia kerepotan mengendalikan rupiah sehingga US$ 3,5 miliar cadangan devisa habis pada November lalu untuk operasi moneter.
Dengan melihat kondisi tersebut, posisi Indonesia kemudian diturunkan dua tingkat, dari sebelumnya overweight (rekomendasi beli) menjadi underweight (rekomendasi jual). Turunnya outlook surat utang Indonesia ini bukan hal yang aneh. Sebelumnya, lembaga pemeringkat, seperti Standard and Poor’s (SnP), juga enggan memberikan predikat layak investasi bagi Indonesia. Dalam laporannya, SnP melihat kredibilitas fiskal Indonesia masih karut-marut. Pengelolaan anggaran belum realistis sehingga ancaman akan jerat utang semakin nyata.
Lihat misalnya shortfall atau selisih antara target dan penerimaan pajak pada 2016 yang masih cukup tinggi, yaitu diprediksi di atas Rp 230 triliun, kendati sudah dibantu dengan pengampunan pajak. Jika penerimaan tidak tercapai, defisit dipastikan terus melebar di atas 2,7 persen terhadap PDB. Batas aman defisit adalah 3 persen sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara.
Selain itu, kondisi fiskal yang gawat ini berkaitan dengan kebergantungan pemerintah terhadap utang. Meskipun sering terdapat klaim rasio utang terhadap PDB masih aman, di bawah 30 persen, pengukuran tingkat risiko utang terlalu sederhana jika hanya dibandingkan dengan PDB. Lihat misalnya defisit keseimbangan primer atau kemampuan bayar utang dibanding sisi penerimaan, angkanya sangat mengejutkan, yakni Rp 105,5 triliun, atau meningkat dibanding 2014 yang masih Rp 93,3 triliun.
Program pengampunan pajak yang diandalkan untuk menutup lubang penerimaan pun seakan kehilangan momentum. Setelah mencatatkan te-busan sebesar Rp 97 triliun pada periode I di akhir September lalu, minat wajib pajak untuk ikut program ini menurun drastis. Sampai akhir Desember 2016, total tambahan tebusan tak mencapai Rp 10 triliun. Target Rp 165 triliun yang digadang-gadang masuk kas negara dari program ini tampaknya masih jauh panggang dari api. Lantas, jika tidak ada pengampunan pajak pada 2017, dari mana pemerintah bisa menambal lubang defisit anggaran? Jalan pintas yang digunakan tidak lain adalah utang.
Karena itu, analisis independen JP Morgan sebenarnya hanya menguatkan analisis lembaga pemeringkat sebelumnya. Tidak ada yang baru dari rekomendasi JP Morgan untuk menjual surat utang Indonesia karena adanya kenaikan risiko. Sebelumnya, pada Agustus 2015, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah sudah pernah melayangkan keberatan atas hasil laporan JP Morgan. Bahkan saat itu pemerintah menuding JP Morgan membuat panik dan mengancam stabilitas keuangan domestik.
Sikap pemerintah juga berkaitan dengan kebu-tuhan akan utang yang semakin besar. Dalam kurun dua tahun terakhir pada era Jokowi, tambahan utang sudah hampir mencapai Rp 1.000 triliun, sedangkan porsi utang sebagian besar adalah surat berharga negara (SBN). Walhasil, jika bank internasional sekelas JP Morgan merekomendasikan kliennya untuk menjual, ada kekhawatiran surat utang Indonesia menjadi kurang laris di pasar. Target menutup defisit dari penerbitan surat utang semakin sulit tercapai.
Di pengujung 2016, sikap pemerintah memutus kerja sama dengan JP Morgan justru menguatkan analisis JP Morgan bahwa memang betul outlook surat utang Indonesia kurang bagus pada 2017. Reaksi berlebihan dari pemerintah merupakan blunder yang berpotensi menurunkan kepercayaan internasional. Seharusnya pemerintah tetap tenang. Langkah cerdas yang bisa dilakukan adalah menjalankan rekomendasi JP Morgan agar penilaian risiko menjadi positif kembali. Salah satunya dengan membuat fiskal lebih kredibel dan membuat suasana politik menjadi lebih stabil.
*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 5 Januari 2017
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Polemik Pemindahan Ibu Kota ~ Bhima Yudhistira Adhinegara
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBDi Balik Perceraian Pemerintah dan JP Morgan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler