x

Iklan

Oky Nugraha Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semangat Baru (Membaca)

Artikel yang dibuat untuk menyambut tahun baru 2017. Dimuat di harian Cianjur Ekspres edisi Sabtu, 21 Januari 2017.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak terasa kita semua telah memasuki tahun yang baru lagi. Setelah melewati selusin bulan di tahun 2016 kemarin, sekarang kita telah memasuki periode waktu baru di hitungan tahun 2017. Sebagian dari kita yang rajin mengevaluasi apa yang telah dilakukan di tahun kemarin dengan nama refleksi akhir tahun mengakumulasi apa saja keinginan yang telah tercapai di tahun tersebut. Dengan merefleksikan apa yang telah terjadi di masa lalu, kita akan mendapatkan gambaran untuk membuat resolusi di tahun yang akan datang.

Tahun baru seharusnya dapat dijadikan momentum untuk kita bangkit dari keterpurukan di masa lalu. Dengan secara sadar belajar dari kesalahan yang telah dibuat, maka kemungkinan membuat kealpaan di masa yang akan datang dapat relatif diminimalisir. Hal ini pun menunjukan sebuah sikap ksatria. Ksatria yang berani mengakui kesalahannya tanpa tedeng aling-aling. Ingat sebuah adagium yang menyatakan bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Sebaik dan seburuk apapun masa lalu kita sebagai sebuah bangsa, selalu ada sisi abu-abu yang tidak bisa kita nilai hanya dari sudut putih, maupun sudut hitamnya.

Bangsa besar bernama Indonesia ini seharusnya belajar dari bangsa Jerman dalam menghadapi masa lalu kelam NAZI-nya. Di dekade 1980-an seperti dituliskan oleh Taufik Ismail dalam bukunya Katastrofi Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba Jerman secara lugas mengusung semangat Bewaltigung der Vergangenheit. “Berdamai dengan masa lalu”. Ya, berdamai dengan masa lalu mereka yang penuh dengan bercak darah, genosida, dan perang hingga pada akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Adagium menyebutkan bahwa, yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Sebenarnya dalam perang tak ada pihak yang seratus persen diuntungkan. Selalu saja ada kerugian yang harus ditanggung pihak pemenang perang. Meskipun jumlahnya lebih sedikit dari si pesakitan perang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia sebagai sebuah bangsa besar, terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, serta bahasa ini memiliki masalah yang cukup bisa dikatakan kompleks dalam segala bidang. Mulai dari bidang HAM, seperti kasus ’65 yang sampai sekarang masih tetap relevan untuk diperbincangkan. Isu-isu sensitif seperti SARA, perbaikan kesejahteraan masyarakat, hingga paling fundamental dalam mempersiapkan Generasi Emas 2045 yakni bidang pendidikan. Jangan kita lupakan semangat pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberikan teladan, di tengah mengajak, di belakang memberikan dorongan. Itulah semangat yang harus menjadi sebuah sinergi di kalangan pendidik maupun terdidik.

Menilik pernyataan si empunya pendidikan asal Brazil, Paulo Freire, bahwa kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang dipraktikan. Kecerdasan yang harus disemai, disebarkan pada masyarakat. Jangan menjadikan pendidikan ini sesuatu yang eksklusif hanya untuk kalangan tertentu saja. Sudah jelas tercantum dalam konstitusi UUD 1945 bahwa penyelenggaraan negara Indonesia yang bebas merdeka ini salah satunya ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Aspek pemerataan pendidikan harus secara nyata diusahakan. Baik melalui lembaga formal  milik pemerintah dan swasta mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi maupun melalui usaha non-formal seperti sekolah bawah jembatan, sekolah sore hari, hingga perpustakaan jalanan. Banyak sekali cara untuk menyemai pendidikan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah kaum intelektualnya mau bergerak atau diam saja ? sebuah instrospeksi bagi kaum intelektual ibu pertiwi.

Pendidikan sendiri tidak akan pernah terlepas dari proses belajar-mengajar. Karena itulah ruh bagi pendidikan. Tidak mungkin dengan proses belajar saja pendidikan akan terselenggara. Bila diibaratkan belajar itu merupakan proses mengisi, charging diri dengan ilmu serta pengetahuan, maka mengajar adalah proses mentransferkan ilmu dan pengetahuan kepada manusia lainnya. Begitu seterusnya proses belajar-mengajar itu terjadi. Dalam hal ini aktivitas literasi yang mencakup kegiatan membaca dan menulis untuk mendapatkan ilmu serta pengetahuan menjadi aktivitas fundamental. Khususnya kebiasaan membaca buku.

Menjadi ironis ketika mengetahui aktivitas literasi bangsa kita begitu rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development ( OECD ) seperti tercantum dalam situs www.oecd.org mengenai budaya membaca di 52 negara Asia menempatkan Indonesia di peringkat paling buncit. Hal ini sungguh memilukan. Masih berkembang paradigma di sebagian masyarakat kita bahwa kegiatan membaca adalah untuk menghafal. Menghafal apa yang menjadi isi dalam bahan bacaan tersebut. Baik itu buku-buku cetak konvensional maupun buku-buku elektronik. Hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun menjadi permasalahan ketika mereka tidak menalar apa yang ada dalam buku tersebut. Menalar dengan kritis serta memahami isinya. Bukan hanya menalar saja. Bahkan dalam tahapan lebih lanjut, mereka bisa membangun argumentasi ilmiah dan mengkritik buku-buku yang telah dibaca tersebut.

Kebiasaan membaca merupakan aktivitas yang bisa menjadi tolok-ukur mutu pendidikan di suatu negara. Dengan membaca, kita dapat mengasah pemikiran. Mempertajam analisis terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. Melihat dari berbagai perspektif suatu peristiwa yang terjadi. Membaca seharusnya sudah menjadi rutinitas sedari kanak-kanak. Peran pendidik dalam hal ini sangat vital dalam membangun kesadaran akan pentingnya membaca. Membaca bukan hanya untuk kesenangan, namun juga bagaimana caranya dengan membaca, para pembaca mendapatkan sesuatu. Sebuah hadiah dari rangkaian kata perekonstruksi sebuah makna tertentu.

Para bapak bangsa pun sangat gandrung akan kebiasaan membaca. Sebut saja Soekarno yang terpengaruh oleh ajaran San Min Chu I tentang nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial yang digagas oleh tokoh nasionalis Tiongkok, Dr. Sun Yat Sen. Sahabat seperjuangannya dalam memproklamirkan kemerdekaan negara kita, Moh. Hatta, dikenal sebagai ekonom yang rakus buku. Belasan peti kayu yang semuanya berisi buku pernah Hatta bawa dari Belanda ke Indonesia setelah ia menyelesaikan studinya. Mereka sangat haus akan ilmu pengetahuan yang dapat mereka reguk dari membaca buku.

Melalui aktivitas membaca buku ini, kita dapat mengetahui berbagai macam ide dan gagasan yang dituliskan oleh si penulis. Semakin rakus dalam membaca buku, semakin nalar kita terasah dan pikiran kita terbuka untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Semakin kita mendapatkan yang baru, semakin kita tersadar akan pentingnya membaca. Seperti diungkapkan oleh Ong (dalam Moriyama 2005: 4-5) bahwa tulisan menata kembali kesadaran.

 

Oky Nugraha Putra

Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Padjadjaran.

Ikuti tulisan menarik Oky Nugraha Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB