x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Atas Piring, Identitas Terpenting adalah Kelezatan

Ada beragam hidangan, tapi satu-satunya identitas terpenting darinya adalah kelezatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Dalam tradisi kita, makanan, pada akhirnya, adalah sesuatu yang suci. Ini bukan perkara gizi dan kalori. Ini tentang berbagi. Ini tentang kejujuran. Ini tentang identitas.”

--Louise Fresco (Ilmuwan, 1952-...)

 

Baru-baru ini, saya bersama beberapa saudara dalam grup WA ngobrol tentang soto yang paling enak rasanya. Masing-masing punya jago. Saudara yang lama menetap di Purwokerto menjagokan soto Sokaraja. Keponakan yang beberapa tahun terakhir tinggal di Semarang menganggap soto Semarang paling oke (Mertua keponakan ini protes: “Soto kuahnya rasa baso kok ditawar-tawarkan!”) Kakak tertua yang tinggal di Mojokerto, Jatim, bilang: “Soto Djarkawik paling top markotop! Yang lain lewat.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manakah yang lebih lezat? Bagi saya, persoalan sesungguhnya terletak pada kemampuan adaptasi lidah terhadap makanan. Masing-masing orang menjagokan soto lokal lantaran lidah mereka sudah beradaptasi bertahun-tahun dengan soto masing-masing. Padahal, jika lidah kita dilatih untuk adaptif terhadap perubahan, cepat menyesuaikan diri dengan cita rasa baru, perbedaan rasa itu tak perlu dilebih-lebihkan. Ini soal selera, soal gaya. Masing-masing punya kelezatan yang berbeda.

Masing-masing tempat dan daerah punya selera dan gaya penyajian yang berbeda. Apakah ini sesuatu yang serius? Saya rasa tidak, terutama jika lidah kita adaptif dan mudah belajar mengenal rasa-rasa baru. Oleh sebab itu, setiap kali saya mendatangi kota-kota tempat tinggal mereka, maupun kota-kota lain, lidah saya mudah menyesuaikan diri. Bila makanan itu enak disantap, identitas lain tidak lagi penting. Identitas terpenting makanan (dan minuman) adalah kelezatannya.

Saya terkadang heran dengan saudara yang tidak menyukai soto yang kuahnya bersantan. Saya tahu, alasannya bukan pertimbangan kesehatan, melainkan kebiasaan makan soto bening. Ini tidak ubahnya saudara yang terbiasa makan pecel kemudian ditawari makan karedok ketika ia berkunjung ke Bandung. Meskipun mirip, ia merasa kesulitan untuk menyantap karedok, oleh karena sayurannya mentah—bukan ‘dimatangkan’ dulu seperti sayur pecel. Lagi pula, bumbu kacangnya sebenarnya mirip-mirip juga walau cara mencampur dengan sayurannya berbeda.

Tantangan adaptasi terhadap makanan sebenarnya ada dalam otak kita, yang buru-buru menutup pintu bagi pengalaman baru. Belum sempat mencoba hidangan baru, pintu sudah ditutup. Andai otak kita dibiasakan terbuka terhadap pengalaman baru, kita akan selalu siap untuk menikmati hidangan yang beraneka. Soto Semarang yang baru kita nikmati, misalnya, mungkin tidak sama dengan soto favorit kita, tapi ini soal kebiasaan lidah. Bila otak kita membuka diri, lidah kita pun akan mudah menikmati hidangan baru. Bila soto Semarang itu berbeda dengan soto yang kerap kita santap, bukan berarti soto Semarang itu tidak enak, melainkan hanya beda gaya.

Dalam bukunya, The Language of Food, Dan Jurafsky—seorang ahli bahasa di Stanford University, AS—menelusuri ‘sejarah kecap’. Ternyata kecap memiliki banyak ragam. Mula-mula kecap digunakan oleh orang China, khususnya yang menetap di kawasan pantai selatan, selama berabad-abad. Di abad ke-17, pelaut serta pedagang Inggris dan Belanda berlayar ke Asia dan di China mereka menjumpai ketchup—saus ikan. Pulangnya, mereka membawa banyak sekali ketchup. Kata tchup berarti saus dalam dialek China, tulis Jurafsky, sedangkan ke bermakna ‘ikan yang dihidangkan’—kata Hokkian.

Saus ikan bernama ketchup ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru bumi dan mengalami modifikasi. Di Inggris, cita rasanya berubah ketika di sini kecap kehilangan ikannya dan berganti dengan tomat, dan selanjutnya orang-orang Amerika menambahkan gula. Di Indonesia, kecap dibuat dari bahan dasar kedelai. Masing-masing punya gaya berbeda dalam mendefinisikan kecap atau ada yang menyebutnya saus karena faktor geografis, kultural, maupun bahan yang dipakai. Masing-masing menawarkan kelezatan yang berbeda, dan sama-sama enak.

Seperti juga evolusi kata macaroon menjadi macaron dan kemudian menjadi macaroni yang menggambarkan sejarah perjalanan makanan ini ketika melewati sejumlah wilayah budaya: Persia, Arab, dan Romawi. Dari satu lidah ke lidah yang lain ada perubahan komposisi dalam menu hidangan: modifikasi, penambahan dan pengurangan bahan dan bumbu.

Bila otak kita terbuka, lidah akan menikmati ragam masakan dengan begitu enaknya. Masing-masing hidangan punya cita rasa berbeda, tapi di atas piring semua keragaman itu menawarkan identitas terpenting yang sama, yakni kelezatan. Identitas kelezatan inilah yang menyatukan keragaman masakan. (Ilustrasi foto soto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu