x

Iklan

Wawan Agus Aji Pamungkas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semen untuk Siapa?

Indonesia, mencoba untuk merobek Pegunungan Karst demi produksi semen. Padahal, 2016 produksi semen di Indonesia surplus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya sudah cukup lama mengikuti persoalan di Kendeng Utara yang melibatkan masyarakat dan pabrik semen. Masyarakat yang menginginkan Pegunungan Kendeng tetap lestari harus mendapat perlawanan yang cukup sengit dari pihak semen yang tentunya dibantu oleh aparat negara.

Bahkan, seorang Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar Pranowo di dalam acara Mata Najwa yang mempertemukannya dengan Kang Gunretno & Lek Sukinah, saya dapat memberi pandangan bahwa Ganjar bukan lagi menjadi pemimpin rakyat, melainkan hanyalah seorang juru bicara semen.

PT. Semen Gresik mulai masuk rembang pada tahun 2012, yang sekarang sudah berganti nama menjadi PT. Semen Indonesia. Pendirian pabrik ini ditolak warga karena jika terjadi penambangan di Pegunungan Karst Kendeng, hal ini dianggap bisa mematikan sumber daya air yang menghidupi ribuan petani dan warga di sekitarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pro dan Kontra dengan adanya pabrik semen sudah pasti terjadi, warga penolak semen beranggapan bahwa orang-orang pro pendirian pabrik semen adalah orang-orang yang memikirkan perutnya sendiri. Tidak memikirkan nasib anak cucu nantinya.

2 tahun lebih mereka melakukan perlawanan, saya yakin hal ini pasti cukup merepotkan pihak semen. Ditambah dengan semangat masyarakat yang tak dapat terbeli dengan uang. Bagi mereka, banyak sedikitnya uang bisa habis, namun, sumber daya alam adalah sesuatu karunia yang tak dapat terbayarkan oleh berapapun uangnya. Di sisi lain, tak sedikit pula tenaga dan pikiran warga yang terkuras akan hal ini.

Warga Kendeng Utara yang menyebut bumi ini sebagai “Ibu Bumi” bagi saya cukup menarik. Hal ini tidak semata-mata karena bumi telah melahirkan banyak hal untuk manusia, tapi, mereka menganggap bumi sebagai Ibu mereka harus dijaga.

“Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili”

Syair di atas merupakan syair yang diciptakan oleh masyarakat Kendeng, singkat namun sangat dalam maknanya. Ibu bumi sudah memberi, kita tahu semua yang ada di bumi ini adalah hasil dari perut bumi, maka ketika ibu bumi dilarani (disakiti), mereka akan membela ibu mereka apapun itu caranya. Kemudian, kewaspadaan masyarakat ketika ibu bumi mengadili atau memberi peringatan kepada manusia.

Banyak sudah terjadi di berbagai tempat, kejadian yang tak layak disebut bencana, lebih layak ketidakseimbangan alam yang disebabkan oleh kerakusan manusia, memotong gunung, untuk menguruk laut. Sesuatu yang tak lazim dilakukan, kini menjadi hobi manusia.

Ada hal yang menarik ketika masyarakat Kendeng menganggap bumi adalah ibunya. Hal ini bagi saya merupakan kisah spiritual antara manusia dan bumi. Kisah di mana manusia ingin melindungi sesuatu yang telah memberinya banyak hal, bumi.

Kisah spiritual lain pun tak kalah menyita perhatian. Longmarch ratusan kilometer untuk menjemput keadilan, hingga menyemen kaki sebagai simbol bahwa petani sedang ‘dibelenggu semen’.

“Jalan kaki sekitar 150 KM nggak berasa capek, Mas. Karena pikiran kami sudah bukan di kaki lagi, melainkan ada di Kantor Gubernur untuk menagih janji Gubernur,” kata Dayu, seorang pemuda Pati saat berbincang di Pondok Pesantren Annuriyah Soko Tunggal, Semarang.

Dalam kasus Kendeng ini, kita belajar sesuatu, yaitu bagaimana melestarikan bumi ini begitu berat. Terlebih, yang harus dihadapi adalah pemodal-pemodal yang memiliki kekuatan uang untuk bisa membayar siapapun demi melancarkan hasratnya.

Dari ibu-ibu petani pula, kita belajar sebenarnya kita lebih mementingkan semen atau padi? Apakah jadinya jika di Indonesia ini sawah sudah tak lagi menghasilkan padi. Coba kalian lebih memilih mana, padi atau semen?

Di Cina, pemerintah menerapkan program Langit Biru. Program tersebut secara serius ingin menghilangkan polusi udara yang dihasilkan Cina. Pemerintah Cina menutup sekitar 200-an pabrik semen. Kemudian, Cina juga sudah tak menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap / Batubara yang mana polusinya sangat berbahaya untuk kesehatan. Lalu, membuat panel listrik terbesar seluruh dunia adalah solusi yang keluar untuk memenuhi kebutuhan listrik.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan semen di Cina, mereka harus impor semen. Vietnam melindungi Pegunungan Karst, Filipina melindungi Pegunungan Karst, Thailand melindungi Pegunungan Karst. Indonesia, mencoba untuk merobek Pegunungan Karst demi produksi semen. Padahal, 2016 produksi semen di Indonesia surplus, dengan artian jumlah produksi lebih besar daripada jumlah kebutuhan dalam negeri.

Lalu, semen ini untuk siapa?

Ikuti tulisan menarik Wawan Agus Aji Pamungkas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu