Mencurigai Kebencian
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMarilah mulai dengan pertanyaan kecil ini, apakah benar aku harus membenci orang yang berbeda denganku? Karena kita sudah lelah diteror.
Jika ditanya, ‘Pernahkah (secara pribadi) dirugikan oleh tindakan terorisme?’ Mungkin jawaban sebagian besar orang adalah ‘tidak’. Namun, benarkah demikian? Tunggu dulu, ingatkah sebelum maraknya kasus terorisme di dunia, seperti yang terjadi di beberapa gedung di Amerika Serikat pada 11 September 2001, yang lebih dikenal dengan peristiwa 9/11. Tidak kalah sadisnya, beberapa kali bom meledak di Indonesia yang membunuh banyak orang. Ditambah aksi-aksi teror di belahan dunia lainnya. Setelah kejadian-kejadian teror itu, pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan dibanyak situasi, semua atas nama keamanan. Naik pesawat tidak semudah sebelumnya, kita harus melalui beberapa pemeriksaan, kalau-kalau kita membawa ‘senjata’ yang bisa menyakiti orang lain. Masuk ke mall harus diperiksa petugas keamanan. Singkatnya, tambahan aktivitas yang berusaha meyakinkan kita bahwa kita berada di suatu tempat yang aman tidaklah gratis. Tentu membutuhkan biaya tambahan, dan biaya tambahan itu dibebankan kepada kita, konsumen. Sangat terasa kenaikan harga tiket pesawat, bukan? Itu masih hanya pesawat, masih banyak contoh yang lain, maka memang aksi teror merugikan semua orang, secara pribadi.
Teror sendiri adalah misi dari sebuah terjemahan visi radikalisme yang sudah berubah ekstrem. Demi perubahan atau pembaharuan sosial dan politik di suatu tempat, aksi teror menjadi sebuah cara. Sesuai cara berpikir pelaku teror penganut paham radikal ini, ada tatanan sosial dan politik yang merugikan hidup masyarakat dan sebaliknya menguntungkan sekelompok orang lain. Tindakan-tindakan ektrem yakni teror, yang melewati batas-batas hukum yang berlaku mau tidak mau berubah menjadi negatif. Itulah sebabnya terorisme dikumandangkan menjadi musuh bersama dunia. Musuh dari tatanan hidup bersama.
Dunia, dengan banyaknya paham-paham yang berbeda membuat antar penganutnya menjadi saling mencurigai. Nyaris tidak ada lagi pihak yang benar-benar netral dengan situasi yang ada saat ini. Nyaris tidak ada lagi yang berpikir objektif. Tidak sedikit yang mau (rela) memberi (kebaikan) semata-mata karena yang diberi seagama atau sesuku atau kesamaan-kesamaan yang lain. Tidak ada lagi ruang bagi orang yang berbeda, bahkan di dalam pikiran.
Orang-orang ektrem seperti di muka tidak muncul seketika. Mereka ter-indoktrinasi, sejak kecil. Latar belakang yang hendak didoktrin tentu dipelajari lebih dahulu. Mereka rata-rata datang dari keluarga miskin. Tidak nyaman dengan kehidupan yang dialaminya. Kebanyakan orang-orang dengan latar belakang di mukalah yang mudah kena doktrin. Karena begitu percayanya terhadap petinggi-petinggi suatu paham tertentu membutakan mata, mata hati. Apapun yang disampaikan petinggi-petinggi itu semuanya benar, manalah mungkin seorang Pendeta atau Pastor atau Ulama atau Biksu dan banyak petinggi lainnya mengatakan atau melakukan hal yang tidak benar, mana mungkin mereka berbuat yang yang tidak baik. Hingga, pada akhirnya sungkan menerima kenyataan bahwa orang yang di samping kiri dan kanan, orang yang di depan dan belakang benar-benar berbeda. Kalau apa yang dipahami belum menjadi pemahaman bersama dengan orang (yang) lain, maka kecurigaan akan tumbuh. Kecurigaan demi kecurigaan bertumpuk hingga sampai pada keyakinan bahwa kekerasan seperti aksi teror menjadi sebuah aksi kebenaran, kekerasan sangat beralasan dan masuk akal untuk dilakukan.
Dengan adanya peristiwa-peristiwa ekstrem yang oleh banyak media disebutkan kebanyakan dilakukan orang-orang Muslim membuat stigma negatif melekat pada ajaran Islam. Kemunculan film ‘My name is Khan’ adalah salah satu indikator pada stigma negatif yang terkesan buru-buru itu. Islamphobia muncul di mana-mana. Dikisahkan bahwa usaha Khan untuk bertemu Presiden Amerika Serikat tidak lain hanya untuk mengubah stigma negatif orang tentang agamanya. Pun kata Gauher Afab yang disiarkan di YouTube pada channel TEDx Lahore pada 24 Maret 2016 “The socialization of violent extremist beliefs within Muslim communities and how this is certainly NOT a part of Islam. Radicalism is reversible; we can fight it as long as guns, bombs and drones are not our weapons.” – Sosialisasi tentang kekerasan yang dilakukan keyakinan ekstrimis dalam masyarakat Muslim dan bagaimana hal ini (terjadi) pasti bukanlah bagian dari Islam. Radikalisme bisa dilawan; kita bisa memeranginya selama kita tidak bersenjatakan pistol, bom dan pesawat tanpa awak. Secara implisit dijelaskan bahwa memang selama pistol, bom, pesawat awak menjadi senjata untuk memerangi radikalisme maka selamanya radikalisme itu tidak akan pernah musnah dari peradaban kita.
Cara-cara itu seharusnya sudah lama ditinggalkan, mari memulai cara-cara yang persuasif. Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah pernah disosialisasikan tentang Islam Nusantara yang dipelopori oleh NU. Pernyataan Hakam Mabruri saat mensosialisasikan Islam Nusantara yakni “Apa yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam yakni dengan penuh hikmah dan bijaksana. Lebih toleran dan lebih menghargai terhadap sesama” (www.nu.or.id). Mahatma Gandhi juga sudah meperkenalkan ahimsa, satyagraha dan swadesi. Ahimsa artinya setiap manusia harus menjunjung tinggi semangat nir-kekerasan dalam setiap lakunya. Satyagraha seruan untuk tidak ada sedikitpun toleransi atau sikap kompromi dalam menegakkan nilai kebenaran. Swadesi adalah cinta tanah air sendiri.Sedang Kristus sendiri mengajarkan; “Jika pipi kirimu ditampar berilah juga pipi kananmu!” Artinya, sama saja, bahwa kekerasan tidak harus dilawan dengan kekerasan lainnya.
Pada dasarnya, semua agama mengajarkan penganutnya untuk berlaku damai dan adil. Jika ingin hidup damai tentulah salah jika memperjuangkan perdamaian dengan tidak berdamai. Jika ingin hidup adil tentulah tidak benar jika memperjuangkan keadilan dengan cara tidak adil. Maka, jika ada suatu perbuatan yang tidak damai, yang tidak adil, yang meresahkan, yang intoleran, yang merugikan orang lain yang dilakukan atas nama sebuah agama, tentulah semua itu salah, karena semua itu tidak diajarkan oleh agama manapun. Agama berusaha mengubah manusia agar menjadi lebih beradab bukan malah menjadi lebih biadab.
Sejarah agama Katolik sudah mengajarkan bahwa kita harus melawan tindakan ‘korup’ itu. Tidak lagi boleh menganggap bahwa petinggi agama tidak pernah khilaf. Lihatlah sebelum diadakannya Konsili Vatikan II, lahirlah agama Kristen Protestan yang dilatarbelangi dengan penyalahgunaan wewenang oknum petinggi Gereja Katolik pada saat itu, selain Gereja (Katolik) memandang dirinya sendiri sebagai sumber kebenaran, dan di luar gereja pastilah tidak benar. Kesalahan-kesalahan ini kemudian diakui oleh Gereja Katolik sendiri dengan diadakannya Konsili Vatikan II yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII. Sejak saat ini, Gereja Katolik berubah menjadi lebih terbuka, dari sebelumnya yang sangat tertutup dan defensif.
Kini dan untuk hari-hari selanjutnya kita harus melawan sebuah tindakan, baik fisik maupun verbal yang mengatasnamakan agama, yang dilakukan demi mendapat keuntungan pribadi, yang mengesampingkan nilai-nilai perdamaian, keadilan dan kebebasan. Kebenaran bukanlah milik seseorang atau sekelompok orang tapi haruslah milik bersama. Maka untuk memperoleh kebenaran itu harus ada dialog, dan untuk itu dibutuhkan kerendahan hati bahwa saya tidak selalu benar, mungkin saja saya salah. Kebenaran jangan dicari sekali seumur hidup, tapi harus dicari selama kita hidup. Mari kita mulai dari hal-hal kecil, seperti pepatah Cina kuno “qi?n l? zh? xíng, sh? yú zú xià” – bahwa sebuah perjalanan yang jauh dimulai dengan satu langkah kecil. Jangankan melangkah kecil, kita sudah tahu bagaimana caranya berjalan. Sebenarnya, tidak terlalu sulit. Marilah mulai dengan pertanyaan kecil ini, apakah benar aku harus membenci orang yang berbeda denganku? Karena kita sudah lelah diteror.
Jakarta, 12 Januari 2017
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Mencurigai Kebencian
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBNasibnya adalah Harapan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler