x

Peserta menggunakan kostum perang adat Minahasa memeriahkan karnaval perayaan Cap Go Meh di Jakarta, 21 Februari 2016. Perayaan Cap Go Meh merupakan rangkaian terakhir masa perayaan Imlek. ANTARA/Wahyu Putro A

Iklan

Dwi Septian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perayaan Imlek sebagai Momentum untuk Meningkatkan Pembauran

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perayaan Imlek sebagai Momentum untuk Meningkatkan Pembauran Etnis Demi Pluralisme

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (Tionghoa: pinyin: zh?ng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Di negeri Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Imlek yang sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, namun penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. 

Bagi etnis Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru negeri sekitarnya, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi suku Han sangat signifikan.

Berdasarkan sejarah Tiongkok, Kaisar pertama China Qin Shi Huang menetapkan bahwa tahun Tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Kemudian pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang. Saat ini, tahun pertama Tahun Baru Imlek/Yinli dihitung berdasarkan tahun pertama kelahiran Kongfuzi (Confucius), hal ini dilakukan oleh Kaisar Han Wudi sebagai penghormatan kepada Kongfuzi yang telah mencanangkan agar menggunakan sistem penanggalan Dinasti Xia dimana Tahun Baru dimulai pada tanggal 1 bulan kesatu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pro dan Kontra Aturan Pemerintah

Sejak 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama No.2/OEM-1946 yang pada pasal 4 nya ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek). Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.

Pada tahun itu juga dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 6 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa; Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli; Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan Tahun Baru Imlek.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003. Karena kebijaksanaan dan keberaniannya tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid mendapat gelar sebagai bapak pluralisme. Sejak tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.

Warna-warni Perayaan Imlek

Perayaan Imlek atau Sin Cia tidak jauh berbeda dengan tahun baru Masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat Islam. Kata Imlek (im=bulan, lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau Bahasa Mandarin-nya Yin Li yang berarti kalender bulan (Lunar Newyear). Menurut sejarah, Sin Cia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baruTahun baru Imlek adalah tahun baru Cina. Pada umumnya, yang banyak merayakan Imlek adalah warga Tiongha.

Perayaan ini juga berkaitan erat dengan pesta perayaan datangnya musim semi yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh. Perayaan Imlek meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta/ Thian (thian=Tuhan dalam Bahasa Mandarin), dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari sembahyang Imlek adalah sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan harapan agar di tahun depan mendapat rezeki yang lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Sebagaian besar masyarakat Indonesia bila bicara Imlek tentunya tidak akan jauh beda dengan apa yang disebut Angpao atau hongpao (amplop berwarna merah yang berisi uang). Bagi anak-anak dan orang yang masih lajang, Imlek berarti banjir uang karena orang tua atau mereka yang sudah menikah diwajibkan memberikan angpao (amplop merah). Angpao ini biasanya diisi dengan sejumlah uang di dalamnya. Jumlahnya tidak harus besar kok, yang penting berupa uang kertas baru dan tidak berbentuk uang logam. Bagi-bagi angpao juga dipercaya makin memperlancar rejeki di kemudian hari.

Imlek Sebagai Momentum untuk Menghormati Kebhinekaan

Terlepas dari pernak-pernik, makna, tujuan dan tradisi asli masyarakat Tionghoa, maka masyarakat etnis Tionghoa harus lebih bersyukur sejak diijinkannya perayaan Imlek oleh pemerintah. Melalui perayaan Imlek yang selama dianggap sakral, seluruh masyarakat Indonesia terutama etnis Tionghoa harus mampu membuktikan kepada bangsa dan negara agar perayaan Imlek kali ini dan seterusnya dapat dijadikan momentum yang sangat berharga dan bersejarah untuk menghormati adanya kebhinekaan, keberagaman dan toleransi antar umat beragama, terutama bagi etnis Tionghoa yang merayakan.

Selain itu, perayaan Imlek tahun ini harus lebih bermakna dari tahun sebelumnya agar negara kita tercinta menjadi pelopor terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama. Adanya kesan eksklusif dan lebel bagi etnis Etnis Tionghoa yang selama ini tidak mau membaur masyarakat lokal di Indonesia harus dihapus di seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya, bagi etnis Tionghoa yang memiliki kemampuan untuk dan membangun dan meningkatkan menggerakan roda perekonomian Indonesia demi kejayaan Indonesia harus beri perlakuan dan kesempatan yang sama, tanpa adanya diskriminasi.

Ikuti tulisan menarik Dwi Septian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler