Teori Bebas Banjir Bebas Penggusuran di Jakarta

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Inginnya Jakarta bebas banjir, namun bebas juga dari penggusuran. Salah satu Paslon menjanjikan hal ini untuk meraih simpati para pemilih di pilkada DKI.

Bebas banjir bebas gusur, teori dan implementasi

Menarik ketika melihat acara debat Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahap 2 di televisi yang mempertemukan ketiga Pasangan Calon (Paslon), yang diantaranya membahas mengenai upaya membebaskan banjir dari Jakarta. Salah satu Paslon memberikan konsep membebaskan Jakarta dari banjir tanpa penggusuran. Menurutnya cara membebaskan banjir tanpa penggusuran dimungkinkan dengan pemindahan sementara kemudian mengembalikan ke tempat asalnya lagi setelah bangunan dipercantik dan layak huni. Pasangan lainnya tidak sependapat dengan konsep tersebut. Menurutnya normalisasi sungai adalah jalan terbaik membebaskan atau setidaknya mengurangi banjir di Jakarta, dimana dalam prosesnya tidak terelakan harus ada pemindahan warga yang tinggal di bantaran sungai. Pemindahan warga dari bantaran sungai akibat normalisasi adalah bentuk relokasi bukanlah penggusuran, karena telah terlebih dahulu disiapkan area relokasi berupa rumah-rumah susun. Analisa keilmuan dapat membantu menjelaskan baik teorinya mapun implementasinya dari kedua argumen berlainan antar Paslon di atas, mana yang lebih sesuai dan implementatif.

Di dalam mencermati analisa keilmuan untuk kasus argumen di atas, kita ulas sedikit mengenai teori terjadinya banjir. Ketika air hujan dengan curah yang tinggi tidak dapat ditampung oleh sungai dan drainase serta bendungan/polder/situ sebagai “wadah” air maka terjadilah luapan, dinamakan banjir.  Secara proses hidrologi, air hujan akan sebagian terserap tanah (infiltrasi) dan sebagian diteruskan (run off).  Dengan demikian maka seberapa besar air yang terserap dan seberapa besar yang diteruskan akan menjadi faktor-faktor penentu banjir di samping “wadah”-nya. Infiltrasi dan run off akan bergantung kepada  land use di sekitaran sungai dan DAS (Daerah Aliran Sungai). Land use juga akan menjadi faktor bagi sedimentasi yang mempengaruhi “wadah” air, di samping sampah yang secara sengaja di buang ke sungai atau drainase. Berarti disini kalau kita urut, banjir akan dipengaruhi oleh curah hujan, wadah tampungan (sungai, drainase, bendungan/polder/situ), koefisien infiltrasi dan run-off yang tergantung land use, dan juga faktor sedimentasi serta sampah yang mempengaruhi kapasitas “wadah” air.

Di DKI Jakarta, kalau kita cermati teori terjadinya banjir yang telah di jelaskan di atas, maka kira-kira terjadinya banjir dapat diakibatkan oleh air hujan yang tidak tertampung oleh 13 sungai yang ada di wilayah Jakarta, yang menjadi “wadah” tampungan air. Bisa jadi air hujannya terlalu banyak dan atau “wadahnya” terlalu sempit. Wadah yang sempit bisa bertambah sempit karena faktor sedimentasi serta sampah. Apabila ditambah faktor Infiltrasi kecil dan run off besar maka akan memperburuk banjir di Jakarta. Faktanya land use di Jakarta sudah tidak bagus untuk menyerap (infiltrasi) air malah menambah besar koefisien run off. Kalau sudah begini apa kata kunci strategi yang tepat untuk mengurangi banjir di Jakarta? Kata kuncinya kalau kita kesampingkan faktor curah hujan, ada di kata “wadah” yang berarti geometri atau ukuran sungai, yang kurang cukup untuk menampung air.

Kembali lagi ke argumen Paslon, maka ketika faktanya di Jakarta ini kekurangan “wadah” untuk tampungan air yang menjadikannya banjir, maka apa strategi yang paling tepat untuk dilakukan?  Nah, Kalau kita bilang tidak ada penggusuran, orang-orang hanya dipindahkan sementara kemudian dikembalikan ke tempat semula setelah dipercantik diperlayak huniannya, apakah kekurangan “wadah” disitu akan terjawab?  Tentu tidak akan terjawab! Geometri atau ukuran sungai tetap segitu-segitu saja, hanya menjadi cantik, tetapi tetap tidak dapat menampung air yang akibatnya banjir tetap akan datang! Kalau mau digeser sedikit saja, artinya tetep tidak menggusur, pertanyaanya apakah lahannya ada? Jawabannya belum tentu ada, karena hampir sekitar seribu hektar tanah yang harus disediakan, di area Jakarta yang sudah padat, dengan harga tanah yang nilainya sudah selangit, jawabannya ya belum tentu ada. Bisa saja dilakukan konsolidasi tanah, yaitu dengan membeli tanah dengan harga yang tinggi, namun teorinya gampang, sementara implementasinya tidak semudah membalikan telapak tangan.

Argumen Paslon yang paling realistis untuk saat ini sepertinya adalah normalisasi sungai, dan relokasi.  Bentuk riil kegiatannya adalah melakukan pelebaran sungai, pengerukan sungai (dreging), pembuatan sheetpile untuk mencegah besarnya sedimentasi, dan beberapa kegiatan lainnya, termasuk membersihkan sungai dari sampah, dan proses relokasi pemukiman yang ada di bantaran-bantaran sungai, yang tidak akan terelakan. Tidak mungkin kita tidak merelokasi atau bahasa kasarnya tidak menggusur untuk normalisasi, karena “wadah” harus ada untuk menghindari banjir. Idealnya relokasi tidak ke tempat yang jauh, namun realita nya tidak mudah dalam mencari lahan, seperti dibilang di atas.  Kalau ada masalah ketakutan hilangnya mata pencaharian akibat jauhnya tempat kerja dengan relokasi, dapat dijembatani dengan pelayanan transportasi yang baik.

Kalau kita ambil jawaban dari alam, dapat kita lihat analogi banjir yang terjadi di kota Garut belum lama ini, dimana disitu air butuh wadah untuk tempat penampungan supaya tidak terjadi banjir, namun faktanya wadahnya tidak cukup, sehingga banjirnya datang. Pemukiman yang ada disekitar bantaran sungai hancur luluh lantah "tergusur" oleh kuatnya arus air.  Disitu alam sebenarnya memberi kita pelajaran, bahwa "penggusuran" adalah bagian dari sistem dalam urusan banjir. Jadi kalau kita ingin bebas banjir tanpa penggusuran, mungkin hanya bisa secara teori namun sangat sulit untuk bisa diimplementasikan.  Alam pun memberikan solusi yang lebih realistis.

Sah-sah saja ketika program bebas banjir menjadi isu untuk meraih dukungan suara dari masyarakat pemilih di pilkada DKI Jakarta.  Tetapi mari tolonglah reasoning-nya harus menggunakan dasar keilmuan yang benar dan realistis untuk diimplementasikan saat ini. Jangan sampai isu tidak ada penggusuran hanya menjadi janji manis bagi salah satu Paslon, namun sebaliknya seolah menjadi black campaign bagi Paslon lain yang programnya menggusur (baca relokasi), tetapi disini ujung-ujungnya masyarakat menjadi tidak dibuat cerdas, dan juga tidak akan mendapatkan manfaat. Mari kita cerdaskan masyarakat! Jangan sampai masyarakat tergiur dengan janji tidak akan tergusur misalnya, namun tetap ujung-ujungnya menderita. Jangan sampai pula masyarakat termakan black campaign “penggusuran” misalnya, namun sebenarnya hal itulah yang akan membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik. Misalnya!

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Bagikan Artikel Ini
img-content
Heri Andreas

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler