Tak perlu waktu panjang, sejak Trump terpilih mejadi Presiden dan mengeluarkan kebijakan keimigrasian dengan melarang masuk warga dari 7 negara dengan penduduk mayoritas muslim selama 120 hari, langsung memicu protes yang luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk organisasi-organisasi dunia, seperti Badan PBB untuk pengungsi.
Tampaknya Trump telah mengambil sikap kurang tepat dalam kebijakannya. Melindungi warga dari tindakan terorisme dengan melarang masuknya warga asing ke dalam negeri, merupakan tindakan perlindungan yang amat konvensional. Itu sama saja dengan berbagai kebijakan masa lampau dengan membangun tembok agar orang asing tak bisa masuk ke dalam sebuah negeri.
Pada gilirannya, kebijakan ini tidak saja akan memicu kelompok-kelompok kritis melakukan perlawanan, lebih fatal lagi justru memberikan ruang empuk bagi kelompok-kelompok Islam garis keras menggalang dukungan dan menempatkan posisi mereka sejajar dengan kelompok kritis yang lain.
Bisa diperkirakan, tak akan lama lagi, kelompok-kelompok garis keras akan melakukan perlawanan secara langsung. Manifestasinya bisa bermacam-macam. Sebut, misalnya, sweeeping dan pengusiran terhadap warga AS yang ada di negara-negara yang dilarang masuk ke AS dan merambat kepada negara-negara lain tempat kelompok garis keras sekarang tinggal. Celakanya, pengusiran ini juga bisa dialami warga AS yang memiliki misi pengetahuan dan pendidikan di negara-negara luar AS.
Manifestasi yang lain, pengusiran duta besar, atase dan misi-misi politik lainnya, serta pemboikotan dan penolakan hadirnya berbagai sektor bisnis yang memiliki afiliasi dengan bisnis Amerika.
Artinya, kebijakan sesaat itu akan memiliki dampak yang amat luas dalam tatanan politik dan ekonomi di seluruh dunia. Selain memberikan pekerjaan rumah yang amat serius kepada negara-negara yang sudah dilanda berbagai gerakan intoleransi, termasuk Indonesia.
Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.