x

Ilustrasi ponsel pintar dan aplikasi. Shutterstock

Iklan

Michael H. B. Raditya

Antropolog; peneliti musik, seni pertunjukan, dan budaya. Tinggal di Naarm, sesekali mudik ke Jakarta ketika natal.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Website Sebagai Media Kritik Pertunjukan Baru

Perlu rasanya website seni dan budaya berbahan bakar idealisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seminar nasional bertajuk “Kritik dan Kuratorial” dihelat di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, tahun lalu (30/9/2016). Ditujukan sebagai upaya pendataan akan persoalan kritik dan kuratorial kini, tujuan akhir dari seminar tersebut adalah didirikannya sekolah kritik dan kuratorial di ISI Surakarta kelak. Namun yang menarik dari seminar tersebut adalah upaya mengidentifikasi persoalan minimnya kritikus kini.

Pelbagai penyebab turut dilacak, seperti: minimnya pendidikan kritik; ketertarikan sarjana seni akan kritik; dan yang tak kalah menarik adalah semakin berkurangnya media yang mengakomodasi tulisan seni pertunjukan—baik ulasan ataupun kritik. Hal ini tidak dapat ditampik, terlebih memang porsi tulisan pertunjukan—ulasan dan kritik—di media koran semakin sedikit dalam ruang dan jumlah.

Alih-alih berhenti tanpa solusi, beberapa tahun belakangan kesempatan menulis tersebut ‘terbayar’ dengan munculnya pelbagai website berbasis seni dan budaya. Sebuah skema penciptaan media ‘baru’ yang organik dengan didasarkan pada perkembangan zaman—tentu dengan melihat relasi manusia dengan internet kini. Kesempatan ini pun turut digunakan tidak hanya para penulis baru untuk belajar dan menyulam eksistensi, tetapi para penulis lama yang kesulitan mendapatkan tempat di media koran dan sejenisnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pun cukup disayangkan bahwa website dan sejenisnya masih kurang dipercaya dari sisi kapabilitas, baik dari segi informasi maupun proses penerbitan artikel. Hal ini pun turut diamini oleh Aris Setyawan, yang menyarikan seminar “Kritik dan Kuratorial” dan dituliskan pada kolom Catatan Budaya Kompas (10/12/16) dengan tajuk “Kritik Jurnal(istik) dan Akademisi Seni.”

Aris menuliskan, “Masalahnya kemudian, rubrik seni dan budaya semakin tak mendapat tempat. Kalah oleh berbagai kepentingan dan tirani modal. Kita bisa saja memberi jawaban dengan menghadirkan media sosial (serta blog dan website) sebagai solusi alternatif. Akan tetapi, media sosial tak memiliki sisi kurasi dan seleksi yang ketat.” Demikian sari yang dituliskan Aris dari seminar yang turut mengundang para pelaku kritik seni, baik dari lingkungan akademis maupun media massa.

Tentu beberapa pengelola website tersebut akan menolak mentah-mentah pernyataan tersebut. Generalisasi yang telah dilakukan banyak orang—termasuk seminar tersebut—rasanya tidak dapat dipukul rata. Oleh karena itu, dibanding hanya mengeneralisir pola website yang tanpa kurasi dan seleksi, maka lebih baik kita bahas secara perlahan kerja dari para pengelola website demi mengubah stigma tersebut.

Website Seni Budaya dan Mekanismenya

Sejak tiga sampai empat tahun belakangan, kemunculan beragam website seni dan budaya yang dikelola mandiri dari pelbagai komunitas tidak dapat ditampik kehadirannya. Dengan beragam kecenderungan sudut pandang, seperti: jurnalistik, filsafat, antropologi, sejarah, pengkajian seni, dan sebagainya; baik bersifat informasi, maupun berisi ulasan dan kritik, telah mewarnai jagad “maya” masyarakat Indonesia. Namun perlu diakui bahwa posisi website belumlah mapan, ada beberapa dari website tersebut bertahan, ada beberapa lainnya tenggelam, dan ada beberapa website baru muncul.

Hal yang menarik dari skema tersebut, website seakan selalu mencari format yang paling tepat seiring dengan keberadaannya kini. Format tersebut lantas membayar pelbagai keraguan dari berbagai kalangan, seperti: kurang mempunyai alur yang jelas, ditempatkan sebagai informasi alternatif, tidak dapat diyakini kebenarannya, atau bahkan dugaan bahwa penulis di website adalah mereka yang tidak mendapatkan tempat menulis di media koran, tidak dapat dipungkiri terjadi.

Namun ada beberapa format yang sekiranya terus dibentuk para pengelola website, a.l: Pertama, website menyusun tim redaksi yang membentuk sistem seleksi naskah dan kurasi. Kendati pembuatan tim redaksi tidak dapat dipukul rata pada semua website seni dan budaya, namun beberapa website membuat tim redaksi yang mempunyai tugas masing-masing, mulai dari penilikian bahasa, konten tulisan, hingga layout tulisannya kelak. Alhasil sebuah naskah akan dibaca secara teliti, dan tidak jarang penulis diminta melakukan revisi artikel.

Kedua, sudut pandang tertentu menjadi paradigma yang digunakan sebagai dasar dari pembentukan website. Hal ini cukup penting, terlebih website—yang awalnya media alternatif—harus mampu memberikan perbedaan sudut pandang dalam menyikapi sebuah kesenian. Oleh karena itu, jika seorang penulis mengirimkan cara pandang yang tidak selaras, maka tulisan tersebut bisa jadi tidak ditayangkan. Secara tidak langsung, sudut pandang menjadi brand untuk website tertaut. Ketiga, proses penerbitan tidak cepat. Salah satu alasan mengapa website kerap kali dituding tanpa seleksi dan kurasi karena artikel yang dikirim oleh penulis langsung diterbitkan. Alhasil beberapa website kini benar-benar memperhatikan kevalidan informasi yang ditulis sehingga membutuhkan waktu dalam pembacaan oleh tim redaksi.

Keempat, munculnya beberapa kolom baru. Dimiliki mandiri oleh kelompok membuat website dapat diolah berdasarkan kemauan dari tim redaksi. Pengembangan pun turut dilakukan dengan berbagai jenis kolom penulis yang dapat diisi. Secara tidak langsung, penulis cukup diuntungkan dengan mendapatkan ruang penulisan yang semakin luas dan beragam. Keempat pola tersebut sekiranya yang kerap dilakukan para pengelola website berbasis seni dan budaya. Kendati masih ada beberapa kecenderungan, namun keempat pola tersebut sekiranya kerap dilakukan oleh pelbagai website, baik dilakukan secara sadar ataupun sebaliknya.

Pembaca Kini

Selama ini, koran memang menjadi media informasi yang terpercaya, namun bukan berarti kehadiran website dan media sosial berlaku sebaliknya. Dengan akses internet yang hampir dipunya oleh masyarakat Indonesia tanpa pandang usia, agaknya website lah yang lebih acap dijumpai oleh masyarakat kini. Media koran pun kini turut menyadari, pelbagai upaya seperti membuat media sosial—facebook, twitter, instagram, dsbnya—, mendigitalisasi surat kabar, hingga membuat website turut dilakukan.

Hal ini cukup selaras terlebih jika dirunut dari pola penggunaan media dan informasi, di mana masyarakat dengan usia produktif kini adalah mereka generasi Y—generasi yang lahir dari tahun 1986 hingga sebelum 2000-an, dengan pola resepsi informasi dari beragam media. Alhasil generasi Y yang lebih akrab dengan internet dan pelbagai medianya, lebih kerap membuka media sosial dan website ketimbang sumber bacaan fisik. Namun tidak perlu cemas, lebih kerap bukan berarti tidak sama sekali. Generasi Y—baik terinspirasi atau terkonstruksi generasi X dan babyboomer—akhirnya mencari informasi dari beragam jenis media, baik media sosial, website, blog, buku, koran, ataupun jenis informasi lainnya.

Secara lebih lanjut, dalam logika generasi Y—baik mereka adalah native generasi Y ataupun imigran di generasi Y: generasi Babyboomer dan X—percaya bahwa setiap individu mempunyai kuasa yang terbuka untuk memilih. Hal itu juga lah yang membuat generasi Y tidak hanya terpusat pada website dan media sosial, tetapi juga media informasi fisik lainnya. Selain berpengaruh pada sumber rujukan, pola ini turut menentukan seorang pembaca mempercayai, tidak peduli, ataupun mengkritik berita yang telah dibacanya.

Lantas sejalan dengan adanya media sosial dan website, masyarakat menggunakan peluang tersebut untuk berdiskusi membahas sebuah berita dengan lebih terbuka. Baik membuat komentar singkat di media sosial personalnya, atau membuat tulisan sanggahan ataupun tulisan dukungan di website. Hal yang lebih menggembirkan, aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh siapa pun, tanpa terkecuali.

Namun beriringan dengan pola pembaca kini yang lebih terbuka dan reaksional, serta kehadiran website yang muncul secara acak, perlu rasanya website seni dan budaya berbahan bakar idealisme. Idealisme akan membuat website menjaring wacana dalam sebuah sudut pandang tertentu dalam melihat fenomena seni dan budaya. Website jugalah yang sekiranya menjadi alat kurasi yang tepat pada jagad maya kini dan ke depan.

Bertolak dari kehadiran dan konsistensi website, sudah seyogyanya masyarakat mengubah stigma yang selama ini ditautkan dan ‘menerima’ website sebagai bagian dari budaya kini. Terlebih koran ataupun website hanyalah medium untuk menuliskan gagasan dalam membangun iklim berkebudayaan Indonesia ke depan.[]

Michael HB Raditya

Peneliti dan Penulis Seni Pertunjukan

Tinggal di Yogyakarta

 

Ikuti tulisan menarik Michael H. B. Raditya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler