Hoax, Ujaran Kebencian, dan Kebodohan Sejarah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika dibaca awam, buku-buku ahistoris justru disukai dan mudah diamini.

Pemerintah telah bersikap tegas menyikapi kasus-kasus hoax dan ujaran kebencian yang tersebar di media-media sosial. Langkah hukum lantas diambil untuk membuat pembuat dan penyebar hoax menjadi bergeming dan jera. Harapannya tentu agar dapat menangkal hoax dan berbagai ujaranyang motifnya dilakukan, baik: secara sadar maupun tidak, disengaja maupun tidak, atau serius maupun iseng, yang pada akhirnya menuai hasutan kebencian. Dan meski langkah hukum telah diambil, tapi toh nyatanya kasus-kasus hoax danujaran kebencian masih saja terus bergulir. Kasus teranyar dilontarkan oleh penyair senior Taufiq Ismail yang menolak seraya menyesatkan lagu “Padamu Negeri” karya Kusbini.

Berkaca dari kasus-kasus ujaran kebencian selama ini, tersirat ada permasalahan mental serius yang tengah diidap oleh elemen bangsa Indonesia, yaitu kian (atau mungkin ada juga yang sengaja) lupa pada sejarah bangsanya sendiri. Mari ingat kembali kasus hukum yang menjerat Dwi Estiningsih, seorang guru dan kader dari Partai Keadilan Sejahtera di Yogyakarta, saat ia bercuit di akun media sosialnya: “iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung saya belajar #sejarah (cetak tebal oleh saya).

Sebelumnya ada pula Tere Liye, penulis yang buku-bukunya digandrungi anak-anak muda. Pada Maret 2016 ia pernah keseleo kala menggunakan kata “sejarah” dalam status yang ditulis di akun media sosialnya: "Indonesia itu merdeka, karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan yang sebagian besar di antara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh-tokoh agama lain. Orang-orang religius, beragama. Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silakan cari. Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan” (cetak tebal oleh saya).

Apa yang dituai ketika ujaran kebencianseperti kasus di atas tersebar sebenarnya bukan hanya kebencian berlatar SARA yang dapat memengaruhi pikiran dan mental para follower atau penggemarnya. Hal yang patut dicermati adalah ketika ujaran kebencian menjadi dapat dengan mudah tersebar kala ditopang dengan kebodohan kolektif yang terawat dan terus dibiarkan membodoh. Baik si penghasut maupun yang dihasut sama-sama berada dalam siklus kebodohan; dan keduanya tidak menyadari tengah berpilin di dalamnya.

Anatomi Kebodohan Sejarah

Kebodohan, baik yang disadari maupun tidak disadari, merupakan sumber marabahaya, mengingat imbasnya yang dapat memicu kekisruhan bahkan perpecahan. Ketika memikirkan hal ini, saya jadi teringat dengan pemikiran sejarawan Italia, Carlo M. Cipolla, dalam bukunya The Basic Laws of Human Stupidity (2011) yang secara lugas memaparkan anatomi kebodohan dalam sejarah.

Menurut Cipolla, ketika seseorang yang bodoh menyebabkan kerugian pada diri orang lain, maka dirinya sendiri tidak mendapatkan keuntungan dan malahan justru menimbulkan kerugian. Kebodohan, baik disadari maupun tidak oleh individu yang bersangkutan, seringkali menimbulkan kerusakan. Itulah mengapa Cipolla mengatakan bahwa kebodohan bisa lebih berbahaya dari perbanditan. Jika bandit hanya merusak fisik atau properti milik individu lain tanpa ia menulari kejahatannya, maka seseorang yang bodoh, baik disadari maupun tidak disadarinya, bisa merusak mental dan pikiran orang lain seraya ia menularkan kebodohannya. Jika ini yang terjadi, maka bisa muncul keresahan dan kerusakan tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mungkin juga ada yang beranggapan, membuat hoax dan menyebarkan hasutan adalah hal sepele dan lucu-lucuan. Tapi mereka yang beranggapan begini mesti segera insyaf.

Belajarlah dari kasus Jerman pada masa Perang Dunia II. Kala itu, pemimpin Nazi Hitler secara sadar dan sengaja membuat hoax dengan melakukan manipulasi sejarah demi membenarkan doktrin pemurnian rasnya, bahwa: bangsa Jerman ditakdirkan sebagai übermensch, ras paling unggul dari segala ras. Para simpatisan Nazi dibuatnya terbius. Mereka berhasil dibodohi dengan sejarah palsu dan lantas menjadi permisif dengan aksi-aksi Hitler yang menitahkan para loyalisnya melakukan genosida atas jutaan orang Yahudi.

Jutaan orang Yahudi tewas mengenaskan di tangan Hitler. Dan hidup Hitler sendiri berakhir mengenaskan, ia mati bersama ideologi, kebodohan dan bualan sejarahnya.

Mari Berpikir Historis

Setidaknya masyarakat dapat belajar lebih waspada dari ungkapan “belajar sejarah” dan “bacalah sejarah” versi orang-orang seperti Dwi dan Tere. Alih-alih “belajar dan membaca sejarah”, bukan berarti dengan begitu membuat orang serta-merta lepas dari kebodohan sejarah. Kini memang banyak buku atau artikel sejarah beredar di pasaran dan jagat maya. Siapapun, sekalipun bukan sejarawan, bahkan mengklaim bisa menulis “karya sejarah”.

Padahal, perlu diwaspadai, banyak yang dikategorikan “karya sejarah”, tapi nyatanya tidak ditulis lewat proses berpikir historis. Yang ada justru sekumpulan hoax berupa ahistorisitas, pembenaran, penyelewengan, dan fitnah yang dibalut fantasi dan sensasi penulisnya. Ketika dibaca awam, “buku dan artikel sejarah” jenis seperti ini justru disukai dan mudah diamini tanpa dipertanyakan kesahihan sumber dan datanya serta kritik dan interpretasi si penulis dalam menyarikan fakta-fakta. Berpikir historis pun bukan semata soal konten, tapi juga gagasan di balik penulisan sejarah yang sejatinya ditujukan untuk menanamkan pemahaman dan penyadaran atas masa lalu yang tidak menimbulkan sesat-pikir pembacanya. Sebagaimana dikatakan Sam Wineburg dalam Historical Thinking and Other Unnatural Acts (2001): “the problem is not the content of textbooks, but the very idea of them.”

Segala bentuk upaya pemurnian atas nama agama atau kelompok tertentu seraya meliyankan hingga mengkafirkan orang dan kelompok di luarnya dengan mengatasnamakan masa lalu palsu adalah bibit-bibit tumbuhnya kebodohan sejarah. Pemerintah mesti tanggap menghimpun secara selektif kalangan sejarawan untuk melakukan perumusan baru kurikulum sejarah, buku ajar sejarah, serta metode pengajaran sejarah di sekolah-sekolah dengan basis mengajak siswa berpikir historis. Langkah ini ditujukan untuk menangkal tumbuhnya bibit-bibit kebodohan sejarah yang memantik praktik hoax dan kebencian.

Ingat, ketika masyarakat bodoh sejarah, simak baik-baik pesan filsuf George Santayana: “those who cannot remember the past are condemned to repeat it!” Jangan pernah lagi Indonesia dikoyak oleh luka dan duka masa lalu akibat merebaknya kebodohan sejarah!

 

Fadly Rahman

=============

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fadly Rahman

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Antara Libur dan 'Kurang Piknik'

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler