x

Wakil Sekretaris Tim Pemenangan Anies-Sandi, Angga Wira; Koordinator Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano; Juru Bicara Basuki-Djarot, Ansy Lema; dan Juru Bicara Agus-Sylvi, Muhammad Rizki bicara soal pentingnya debat kand

Iklan

surya ferdan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencatat Pilkada DKI: Adu Strategi Citra Diri

Pilkada DKI 2017 terbilang paling riuh diberitakan media massa. Kontroversi, persaingan, saling serang ditampilkan sebagai strategi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Proses Pilkada DKI Jakarta sebentar lagi akan memasuki masa akhir kampanye. Stategi demi strategi dijalankan masing-masing kandidat pasangan. Serang sana, tahan sini, pukul sana, balas sini, keriuhan disaksikan masyarakat bahkan bukan hanya Jakarta melainkan juga  Indonesia.

 

Sejak awal bergulir dari penjaringan bakal calon, partai-partai sudah memasang strategi terbaik masing-masing. Ini bukan soal menang di DKI Jakarta semata. Ini soal Pilkada serentak dan persiapan menuju Pemilu tahun 2019. Partai sangat serius membangun strategi bukan hanya untuk menang di satu wilayah, melainkan upaya terobosan menuju kekuasaan yang lebih besar. Wajar saja jika masyarakat melihat begitu kerasnya persaingan dalam Pilkada serentak khususnya di DKI sebagai barometer nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Masyarakat Jakarta khususnya, menyaksikan bagaimana kerasnya tokoh-tokoh nasional dan lokal berlomba mendekati kendaraan politik untuk dapat tiket maju di Pilkada DKI. Segala upaya dilakukan untuk memperoleh dukungan masyarakat. Mulai dari ikut pengajian, mendatangi lokasi warga miskin, mengunjungi lokasi penggusuran dan berkeliling di pasar dan lainnya semua dilakukan untuk menokohkan diri “dekat dengan masyarakat” untuk memperoleh dukungan.

 

Dalam proses penjaringan bakal calon ini ada dua hal yang menarik perhatian. Pertama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang “menantang” dukungan partai lewat dukungan independen 1juta KTP. Kedua, diangkatnya kembali politik identitas, “Umat Islam harus memilih pemimpin se-Iman.”

 

Peta politik berubah jelang penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPUD) DKI Jakarta. Ahok yang awalnya digadang-gadang maju lewat jalur independen, berubah karena PDI Perjuangan menetapkannya maju bersama Djarot Saiful Hidayat. Tidak hanya PDI Perjuangan, Partai NasDem, Hanura, bahkan Golkar berdiri bersama sebagai partai pendukung. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai yang baru saja lolos verifikasi KPU pun turut mendukung pasangan ini.  PPP yang masih dalam tahap rekonsiliasi pun memecah dukungannya pada dua pasangan termasuk pasangan Ahok-Djarot.

 

Pada sisi yang lain, Partai Gerindra dibawah komando Prabowo Subianto akhirnya menetapkan Anies Baswedan yang merupakan salah satu pendukung lawannya dalam Pemilihan Presiden 2014 sebagai calon gubernur bersama Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Padahal sebelumnya partai ini menjagokan Sandiaga Uno sebagai calon gubernurnya. Beberapa tokoh yang sebelumnya dipasangkan dengan Sandiaga Uno pun harus rela gigit jari karena tidak diberi tiket. Bersama Partai Keadilan Sosial (PKS), Gerinda menjadi partai pendukung pasangan Anies-Sandi.

 

Secara mengejutkan, di hari-hari terakhir menujut penetapan, Partai Demokrat akhirnya menetapkan Putra Mahkota Ketua Umum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon gubernur berpasangan dengan Sylviana Murni yang merupakan mantan birokrat Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), seorang mantan perwira menengah TNI AD yang diprediksi banyak kalangan akan memiliki karir gemilang di TNI akhirnya keluar dari dinas ketentaraan demi menjadi calon gubernur DKI Jakarta. PKB, PAN, dan PPP kubu Romi, menjadi partai penyokong pasangan ini.

 

Dilihat dari komposisi, pasangan Ahok-Djarot memang memiliki dukungan partai yang terbanyak dan secara perhitungan matematis besar kemungkinannya untuk memenangkan kontestasi. Disusul oleh pasangan Agus-Sylvi, dan Anies-Sandi. Namun politik bukan hanya perhitungan matematis. Banyak faktor yang bisa menentukan kemenangan atau kekalahan seorang calon kepala daerah.

 

Strategi dilancarkan oleh masing-masing kontestan untuk memenangkan kandidatnya. Disinilah pengalaman, kelihaian membaca situasi, dan strategi dipertarungkan untuk memenangi pasangan calon yang diusung. Dalam urusan ini, harus diakui kelihaian dan kemampuan strategi yang berada dibelakang pasangan calon Agus-Sylvi. Pepo, panggilan kesayangan Agus kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan tim pemenangannya di pemilihan presiden 2 periode 2004-2014 cukup jauh diatas pasangan Ahok-Djarot walaupun PDI Perjuangan dan Golkar adalah partai lama yang sudah malang-melintang didalam politik Indonesia.

 

Membuat kejutan dihari terakhir jelang penetapan pasangan calon, baru lah strategi awal yang dilancarkan tim Agus-Sylvi. Kecuali mereka yang berada dalam lingkaran politik elit, penetapan Agus merupakan strategi untuk memperoleh wow effect.Semua orang kemudian membangun hipotesa-hipotesa dan asumsi-asumsi mengapa Partai Demokrat memajukan Agus. Dari sini, Agus sudah memenangkan 1 tahapan untuk memperoleh awareness dari masyarakat Jakarta. Orang-orang kemudian mencari latar belakang, dan kiprah Agus atau setidaknya membincangkan pencalonannya. Popularitas Agus pun langsung melesat.

 

Masyarakat sudah tahu Ahok-Djarot, warga Jakarta sudah kenal Anies Baswedan, namun Agus untuk dunia politik memang baru. Kebaruan inilah yang memicu pertanyaan masyarakat dan akhirnya menjadikannya populer. Sedangkan Cagub yang lain cenderung sudah dikenal dan hanya berharap tetap memiliki popularitas di masyarakat.

 

Sebagai mantan pemenang di Pilpres 2 Periode, tentu SBY tahu bahwa popularitas ini belum bisa menjadi ukuran keterpilihan, elektabilitas. Keputusan masyarakat untuk mengkonsumsi/membeli produk tidak serta merta karena ada produk baru. Konsumen akan mencari informasi lebih jauh keunggulan produk baru ini. Informasi produk pun disebar bersamaan dengan distribusi diberbagai pasar. Inilah strategi yang kemudian dimainkan. Mengenalkan Agus-Sylvi di berbagai kalangan.

 

Sebagaimana juga dalam promosi produk, potensial konsumen sudah dipetakan sebelum promosi dijalankan. Dalam terminologi pemasaran, Segmenting, Targeting, and Positioning (STP) sudah ditetapkan. Brand Image Agus dibangun sebagai calon yang Muda-Profesional-dan Tegas. Tagline atau pesan kunci yang disampaikan adalah “Pemersatu.”

 

Lihat saja pola kampanye yang dijalankan tim Agus-Sylvi. Simbol-simbol Muda-Profesional-Tegas dengan mudah kita dapatkan. Misalnya, untuk mengesankan “muda” dipakailah pakaian non formal, jaket tactic cool yang selalu dikenakan dengan kancing terbuka dan celana lapangan berkantong banyak. Jangan lupa, moshing atau loncat dari panggung bukan hal incidental yang dilakukan, ini adalah salah satu cara branding.

 

Selain berkeliling kampung dan menemui komunitas masyarakat, Agus-Sylvi juga membuat kampanye dalam ruangan dengan gayanya menggunakan pakaian formal-profesional. Pidato-pidato visi-misi disampaikan dalam ruangan yang di setting sedemikian rupa menunjukan kesan profesional. Cahaya yang tidak terlalu terang, fokus cahaya di pembicara, setting tempat duduk dan peralatan pendukung diarahkan untuk membangun kesan profesional ini.

 

Dalam berbagai kesempatan Agus juga selalu menyebutkan latar belakang militer dan pendidikan tinggi yang dilaluinya. Ini untuk mengesankan ketegasan sekaligus profesional-ilmiah untuk konsumen kalangan menengah yang menjadi sasarannya.

 

Sebagai brand baru, Agus didistribusikan ke sejumlah kalangan potensial. Korban gusuran, warga pinggiran aliran kali dan kalangan masyarakat kecil dikejar, karena potensi suara dari rakyat miskin ini cukup besar. BPS DKI Jakarta mengatakan setidaknya 385.840 jiwa penduduk Jakarta adalah warga miskin. Belum lagi warga yang terancam miskin karena pendapatannya menurun untuk memenuhi konsumsi. Kalangan profesional juga tidak luput dari distribusi produk bernama Agus-Sylvi.

 

Bagaimanapun strategi yang dijalankan tiap pasangan calon, pasar potensial suara umat Islam merupakan pasar yang menjadi ladang rebutan kesemuanya. Jumlah penduduk beragama Islam di DKI berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta (2015) berjumlah 8,533,544 atau 84% dari total penduduk Jakarta. Maka wajar setiap pasangan calon akan memperebutkan pasar yang demikian besar ini.

 

Sejak awal, pasar inilah yang terus berusaha di kuasai. Pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi nampak tidak rela bila pasar mereka juga diperebutkan Ahok. Itulah kenapa kedua pasangan calon tersebut bersahut-sahutan dalam kampanye “Pilih Pemimpin Islam.” Apalagi setelah mendapat resonansi dari sejumlah ormas Islam. Walau demikian Ahok ternyata tetap berusaha untuk masuk di pasar ini dengan mendekati sejumlah tokoh Islam seperti Nusron Wahid, Hamka Haq (PDI-P) dan terakhir mendapat dukungan dari PPP Djan Fariz serta sejumlah tokoh Islam lainnya.

 

Persaingan besar dalam pasar suara penduduk Islam ini terjadi antara pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Keduanya berupaya keras mendekati kelompok kantong suara umat Islam. Agus dan Anies keduanya datang ke markas Front Pembela Islam (FPI) atau sengaja mengundang pimpinan ormas tersebut ke markasnya. Semboyan-semboyan pimpinan umat, cinta Islam, Cinta ulama dan seterusnya berhamburan sebagai strategi meraih dukungan melalui brand association, Islam.

 

Namun jika menilik strategi branding yang dijalankan, Agus-Sylvi jauh lebih kuat asosiasinya dalam pasar ini ketimbang Anies-Sandi. Kalau melihat spanduk-spanduk “pemer-Satu,” “Satukan Jakarta” yang banyak menghiasi jalan dan gang di Jakarta, mayoritas berasal dari pasangan Agus-Sylvi.

 

Strategi inilah yang juga digunakan tim Agus-Sylvi untuk meraih dukungan. Lihat saja misalnya konferensi pers SBY setelah aksi 4 November 2016, aksi 411. Strategi SBY ini cukup berhasil meresonansi dan memimpin isu “penyelamatan Islam” ketimbang apa yang dijalankan Anies-Sandi. Tuntutan aksi untuk segera mempidanakan Ahok digaungkan dengan rasionalisasi “mencegah perpecahan bangsa.” Buah dari hal ini adalah aksi 2 Desember 2012 yang menuntut Ahok segera di tahan. Namun kali ini aksi sedikit bisa diredam karena aparat hukum benar-benar memproses perkara dugaan penistaan Al Maidah 51 dalam waktu yang cepat, walaupun diakui Kepolisian RI hal ini telah melanggar Peraturan Kapolri yang telah dibuat jauh hari untuk menunda proses hukum pasangan calon dalam Pilkada/Pemilu.

 

Tidak lama berselang, pemberitaan media massa beralih pada pendana dugaan makar yang menyeret suami dari Sylviana Murni, pasangan Agus. Sylviana pun kemudian juga diberitakan diduga korupsi dana hibah Pramuka dan Pembangunan Masjid. Namun hal ini tidak belangsung lama.

 

Melihat potensi “mencuri” suara, Anies mendatangi FPI dan ikut serta dalam pertemuan di Masjid Al Azhar untuk aksi bela ulama setelah Polres Bandung melakukan pemeriksaan terhadap Habib Riziq dengan dugaan penistaan Pancasila (lambang negara). Survei yang dilakukan sejumlah lembaga menunjukan, elektabilitas Anies pun meningkat. Mulai dari sinilah Anies mengubah strategi untuk secara frontal memposisikan dirinya sebagai wakil umat Islam yang “direstui” kalangan ormas Islam yang dicitrakan sebagai penjaga marwah ulama dan Habaib. Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra, tak segan langsung turun tangan untuk ikut berkampanye karena menurut perhitungannya Anies-Sandi sudah melampaui Agus-Sylvi dalam perolehan kue suara kalangan Islam.

 

Ahok yang masih babak belur karena setiap Selasa harus menghadapi persidangan setelah eksepsinya ditolak, otomatis semakin mengalami kesulitan meraih kue suara umat Islam. Persidangan yang baru menghadirkan saksi-saksi pelapor menjadi medan perjuangan Ahok untuk membuktikan bahwa sentimen agama yang menjeratnya adalah sentimen politis untuk menjegalnya semata. Lahan ini pun tidak luput menjadi pantauan kelompok yang mem-branding dirinya “pimpinan dari kalangan Islam yang tepat.”

 

Perjuangan tim Ahok nampak sedikit berhasil memisahkan kelompok bertendensi politis dalam gugatan “penodaan agama” dengan asosiasi “saksi palsu,” walaupun tidak sempurna dilakukan. Tendensi politik “penodaan agama” yang sedang menjerat Ahok diarahkan sebagai tendensi politik pasangan Agus-Sylvi, dengan sedikit melupakan pasangan lainnya yang siap menerkam kelengahannya.

 

Namun harus diakui Tim Agus-Sylvi dengan komando dibalik layar dari Ketua Umum Partai Demokrat jauh lebih canggih dan massif dalam strategi meraup suara umat Islam. Begitu ada celah disaat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia mejadi saksi atas keluarnya Fatwa (belakangan disebut Pendapat Keagamaan) tim Agus-Sylvi pun tidak menyianyiakan kesempatan.

 

Brand “Pemer-Satu,” kembali diperkuat. Kini bukan dikenalkan namun sudah pada tahap membangun keyakinan calon pemilih sebelum memutuskan pilihannya. Kembali SBY menyampaikan konfrensi pers. Kali ini soal dugaan penyadapan illegal percakapan SBY dengan Ketua MUI yang menurut pengacara Ahok diduga “memesan” keluarnya Fatwa. Intensitasnya pun diperkuat hingga menyentuh kekuasaan tertinggi negara. Hak Angket di DPR pun berupaya digulirkan untuk meresonansi hal ini. Tidak lupa pesan “pemersatu” juga mengiringi langkah strategi politik yang sedang dijalankan.

 

Untuk dapat terasosiasi dengan brand “Pemer-Satu” maka harus ada kondisi yang terasosiasikan perpecahan. Asosiasi inilah yang kemudian disematkan kepada Ahok. Asosiasi yang dibangun adalah Ahok biang keladi perpecahan, Ahok bibit perpecahan dan sejenisnya. Beberapa hari kedepan, kampanye akan berakhir, tempur strategi tentu harus di maksimalkan.

 

Cukup menarik menyimak hadirnya Ketua Umum MUI di persidangan Ahok. Jarang atau mungkin tidak pernah terjadi, Keputusan Lembaga yang dimintakan kejelasan prosesnya langsung menghadirkan ketua lembaga yang bersangkutan. Dalam gugatan Judicial Review produk Undang-Undang misalnya, jika DPR Dipanggil, maka MKD atau Komisi III (Bidang Hukum) yang akan mewakili lembaga. Begitu pula dengan Peraturan Presiden, maka Kementerian Hukum Dan HAM, Sekretariat Negara dan Kementerian lainnya yang hadir sebagai wakil pemerintah. Demikian juga halnya dengan peraturan daerah dan peraturan gubernur. Namun mengapa dalam putusan pendapat keagamaan MUI harus langsung Ketua MUI yang hadir yang nota bene juga merupakan Rois Aam PBNU? Kemana Zainut Tauhid (Ketua), Tengku Zulkarnain (Wakil Sekjen), atau Bachtiar Nasir (Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan) atau Pimpinan Komisi Fatwa seperti Prof DR H Hasanuddin AF atau Pimpinan 4 Komisi yang kabarnya menangani masalah penodaan agama oleh terduga Ahok? Pada titik inilah umat Islam Indonesia patut berbangga terhadap kepemimpinan Ketua Umum MUI Dr. (HC) KH. Ma’ruf Amin sebagai suri tauladan kepemimpinan.

 

Strategi dan orang-orang dibalik strategi Agus-Sylvi layak diacungi jempol karena kecermatan dan taktik yang dibangunnya dalam setiap tahapan. Tanpa harus berspekulasi tentang gelontoran uang yang konon tidak kecil jumlahnya di tim Agus-Sylvi, tim ini memang solid, terkomando dan terfokus. Tidak banyak strategi dan taktik yang dilancarkan, namun walau sedikit terlihat fokus dan dalam komando yang sistematis dan konsisten. Keunggulan ini yang tidak terlihat di pasangan Anies-Sandi. Jangan tanyakan tim Ahok. Belum belum, tim ini sudah harus pecah konsentrasi antara mengkampanyekan klaim prestasi sebagai petahana, dan menghadapi gempuran strategi pesaingnya.   

 

“Perang” pernyataan, tempur kicauan, dan segala pernak-perniknya akan segera berakhir. Masyarakat Jakarta akan menentukan pilihannya 15 Februari nanti. Siapapun harus menerima dengan hati lapang kontestasi ini apapun hasilnya. Awam makin banyak belajar tentang persaingan politik, namun tidak harus memendam dendam dalam kontestasi. Berjabat tangan dan kembali kepada persaudaraan untuk mengisi kemerdekaan yang telah diraih bangsa ini. Karena kita semua adalah Indonesia dengan segala kemajemukannya yang menjadi perekat kebangsaan.

Ikuti tulisan menarik surya ferdan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler