x

Iklan

Ahmad Supardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mati Terjepit di Tiga Simpang

Museum Tekstil Palembang salah satu cagar budaya yang telah dibangun ketika zaman Hindia Belanda dulu, sayang, semenjak 2011, museum ini kosong. Mati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selepas satu putaran berjalan santai mengelilingi Taman Kambang Iwak Palembang, Regi Charles berjalan tergopoh-gopoh ingin melihat Museum Tekstil Palembang. Ia semangat ingin melihat barang tenunan yang dipamerkan di museum itu. Pagi itu hampir bertemu siang, Minggu, 5 Februari 2017.

“Kalau saja ada songket yang cantik, atau diajarkan cara menenun songket itu sendiri,” harap Regi.

Namun sayang, lima meter mendekati pintu masuk Museum Tekstil dari samping di Jalan Dokter Wahidin, ia melihat pagar tergembok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ahh… masih terkunci,” ucapnya dengan nada rendah.

Memang, jarak Taman Kambang Iwak dan Museum Tekstil tak lebih 100 meter saja di Jalan Merdeka Palembang.

Museum itu diapit oleh tiga jalan utama, dari depan langsung ke Jalan Merdeka, sebelah kiri langsung ke Jalan Dokter Wahidin dan sebelah kanan ke Jalan Diponegoro.

Diantara gedung-gedung di Kota Palembang, gedung Museum Tekstil terlihat berbeda, bangunannya sangat khas Eropa, tepatnya arsitek art deco. Tepat di depan pintu masuk museum, ada satu meriam yang condong kedepan. Tak ketinggalan, ada sepasang patung pria dan wanita yang mengenakan pakaian adat khas Palembang. Usut punya usut, gedung itu dibangun oleh Hindia Belanda untuk Kantor Gubernur Hindia Belanda di Sumatera bagian Selatan.

Regi masih penasaran, ia berjalan ke arah Jalan Merdeka. Namun nihil, pintu depan juga terkunci.

Regi, pemuda 21 tahun dari Desa Kartajaya, Kabupaten Musi Banyuasin, memang belum sekalipun ia berkunjung di museum itu. Padahal, sudah tiga tahun ia tinggal di Palembang untuk kuliah di Universitas Islam Negeri Raden Fatah.

“Yang saya tahu dan pernah dikunjungi itu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera), Benteng Kuto Besak, Pulau Kemaro, Kompleks Pemakaman Ki Gede Ing Suro, Bukit Siguntang dan Al-Qur’an Al Akbar di Gandus, nah, Museum Tekstil ini belum tahu sama sekali karena kurang informasi,” jelasnya.

Informasi ikhwal Museum Tekstil di Palembang sangat minim sekali, Regi tak sekalipun menemukan promosi dari Pemerintah Kota Palembang atau Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

“Sejak tahun 2011, museum ini kosong, dek,” seorang juru parkir di depan Museum Tekstil menjawab penasaran Regi.

Juru parkir itu bernama Rian. Pria itu salah satu perantau dari Kota Padang, dan ia mengaku sudah dua belas tahun bekerja menjaga parkir di depan museum itu.

***

Tahun 2011, Museum Tekstil memang sempat menjadi pusat perhatian di Sumatera Selatan. Ketika itu, museum ini diwacanakan untuk dibangun Palembang Heritage Hotel. Para seniman dan mahasiswa pun ramai-ramai menolaknya.

Para seniman dipimpin Vebri Al Lintani, sebagai Koordinator Lapangan Aliansi Seniman Menggugat, ketika dikonfirmasi ulang lewat facebook, senin, 6 Februari 2017, ia menjelaskan pembangunan Palembang Heritage Hotel itu sangat mengkhawatirkan akan menggeserkan fungsinya sebagai cagar budaya.

“Pembangunan itu bertentangan dengan semangat pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) sebagaimana amanat undang-undang ( UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya),” tulisnya.

Disinggung masalah terlantarnya museum itu sampai saat ini, menurutnya, itu menunujukkan ketidakpedulian pihak Pemerintah Sumsel terhadap cagar budaya.

“Sebaiknya gedung itu difungsikan untuk pengembangan budaya,” lanjutnya.

Vebri juga menyinggung Kota Palembang yang berkembang pesat menuju kota metropolitan, seharusnya sudah ada gedung kebudayaan.

“Bukan hanya gedung olahraga.”

***

Sepulang dari museum, langit Palembang mendung, disusul gerimis pada minggu siang itu. Regi tergopoh-gopoh menghampiri Motor Yamaha Jupiter Z warna putih keluaran 2006. Ia pulang ke kontrakannya di Jalan Seruni, Lorong Kebun Raya, Perumahan Bank Sumsel babel.

“Parah, pagar terkunci, museum sepi bahkan cat gedungnya ngelupas tak terawat. Lebih baik pulang.”

Ahmad Supardi

 

Ikuti tulisan menarik Ahmad Supardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler