x

Iklan

Erik Kuraniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Kebutuhan Kelembagaan Badan Pengawas Pemilu

Desain kewenangan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang memutus sengketa pemilu menghadirkan konsekuensi terhadap beban kerja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Erik Kurniawan

Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi - SPD

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Desain kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang memutus sengketa pemilu menghadirkan konsekuensi terhadap beban kerja Bawaslu. Tanpa mengesampingkan prioritas utama Bawaslu sebagai stakeholder kunci dalam menggandeng masyarakat sipil melakukan pengawasan pemilu agar berjalan demokratis, konsentrasi kerja juga harus mulai difokuskan dalam membangun mekanisme penyelesaian sengketa hukum pemilu. Dengan demikian, diharapkan kedapan Bawaslu dapat menjadi lembaga penyelenggara yang kredibel dalam upaya memulihkan hak elektoral peserta pemilu.

Berkaca pada pengalaman dua kali periode kerja Bawaslu dalam Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, sudah tentu banyak evaluasi yang dilakukan dalam memperbaiki kinerjanya. Desain kewenangan Bawaslu sebagai lembaga penyelesaian sengketa pemilu diberikan oleh UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, baru dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, Pilkada 2015 dan Pilkada 2017 yang saat ini sedang berlangsung. Mendasar pada pengalaman tersebut, diperlukan kapasitas kelembagaan Bawaslu sebagai penyelesai sengketa mulai dari personal komisioner Bawaslu yang memiliki visi yang kuat mengenai desain penyelesainan sengketa serta kapasitas daya dukung organisasi yang mumpuni dalam mengoperasionalkan kewenangan tersebut.

Kebutuhan kelembagaan

a. Komposisi keahlian komisoner Bawaslu

Momentum seleksi penyelenggara pemilu yang tengah berjalan diharapkan dapat memberikan jawaban awal akan kebutuhan kapasitas kelembagaan Bawaslu dalam menjalankan tugasnya. Pada level komisioner Bawaslu, hendaknya kita harus mulai memperhatikan komposisi keahlian dengan desain kewenangan Bawaslu saat ini dan prospeknya kedepan. Dengan regulasi yang ada saat ini, lima komisioner Bawaslu kedepan diharapkan dapat mencerminkan komposisi keahlian sebagai berikut.

Pertama, kapasitas personal komisioner mengenai manajemen kelembagaan pengawas pemilu, idealnya dua dari lima komisioner Bawaslu hendaknya memiliki kapastias yang mumpuni dalam mengembangkan core kerja utama Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu. Kedua, kapasitas personal komisioner mengenai hukum dan manajemen penyelesaian sengketa; diperlukan komisioner yang memiliki visi yang kuat dalam menerjemahkan UU Penyelengaraan Pemilu khusunya mengenai desain oprasional atau mekanisme penyelesian sengketa pemilu. Ketiga,  kapasitas personal komisioner mengenai komunikasi publik, hal ini penting agar Bawaslu dapat mengkomunikasikan hasil kerjanya dengan sangat baik kepada publik sebagai salah satu bentuk akuntabilitas kinerjanya.

Pengembangan desain operasional atau mekanisme penyelesaian sengketa pemilu tidak sebatas pada menerjemahkan UU Penyelenggaraan pemilu. Termasuk didalamnya bagaimana membangun peta jalan dan cetak biru penyelesaian sengketa yang dharapkan dapat menjadi bagian utama dari kerja Bawaslu dalam memastikan pemulihan hak elektoral peserta pemilu. Dengan melihat kebutuhan ini, maka faktor penting lainnya adalah perlu adanya penataan administrasi kelembagaan birokrasi Bawaslu dalam rangka peningkatan kapasitas daya dukung organisasi dalam operasionalisasi kewenangan penyelensaian sengketa pemilu.

b. Pembangunan pelembagaan administrasi sekretariat jenderal Bawaslu

Bawaslu sebagai lembaga negara yang mandiri harus dapat dicirikan melalui jajaran birokrasi yang prosfesional, kompeten, loyal, dan bertanggungjawab sepenuhnya sepenuhnya kepada konstitusi, undang-undang, dan komisioner Bawaslu sebagai atasan. Dengan kata lain, pembangunan administrasi khusunya di bawaslu ditujukan untuk menyediakan landasan infrastruktur, kompatibilitas sistem, serta daya dukung kelembagaan yang mapan.[1] Khusunya dalam core kerja ‘kedua’ Bawaslu dalam penyelesian sengketa pemilu.

Sebagai kekuatan penting dari berjalannya roda organisasi dalam mengoprerasionalkan kewenangan penyelesaian sengketa pemilu, maka perlu memperkuat posisi jajaran birokrasi Bawaslu. Sedapat mungkin birokrasi Bawaslu dijauhkan dari tarik menarik kepentingan politis dan pemerintah yang berkuasa. Karena birokrasi merupakan suatu organisasi yang hendaknya profesional, rasional, dan karir yang berjalan berdasarkan prinsip pengedepanan hukum dan perundang-undangan. Dengan demikian, meskipun antara birokrasi dan komisioner Bawaslu memiliki kewenangan yang berbeda, namun menjadi kesatuan dalam menjalankan roda organisasi.[2]

Salah satu dari beberapa indikator yang dapat menjadi ukuran untuk membuktikan apakah model birokrasi baru yang modern adalah model kepegawaian. Beberapa negara yang telah mengalami transformasi administrasi negara secara modern, personel birokrasi tidak hannya diisi oleh PNS. Di Jerman, personel birokrasi dibedakan dalam beberapa klasifikasi yang masing-masing memiliki syarat dan konsekuensi sendiri-sendiri. Status kepegawaian negara Jerman terbagi dalam tiga kategori yaitu PNS (Beamte), Pegawai Publik non-PNS (Angestellte dan Arbeiter), dan Pegawai honorer/Tidak tetap.[3]

Pembagian model kepegawaian tersebut berdasarkan pengalaman dalam melakukan set up birokrasi memerlukan biaya yang mahal, oleh karena syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh personelnya dan beban anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membiayai baik gaji, asuransi dan dana pensiun pegawai. Bahkan biaya anggaran negara akan menjadi lebih mahal lagi jika yang dimaksud dengan birokrasi adalah PNS.[4] Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk menghadirkan opsi Abdi Publik atau pegawai publik non-PNS yang dapat mengisi posisi-posisi yang membutuhkan pegawai tetap, dimana perekrutannya didasarkan pada keahlian dan sistem penggajiannya didasarkan pada prestasi. Pegawai publik non-PNS ini dapat menjalankan perannya sebagai pegawai negara dan menjalankan tugas-tugas kenegaraan meskipun bukan PNS. Sifat kepegawaian adalah tetap, sedangkan pola hubungan kerja berdasarkan sistem kontrak seperti yang diatur dalam perusahaan ataupun hukum privat. Sistem penggajian dilakukan secara profesional berdasarkan standar kompetensi dan prestasi. Sedangkan sistem jaminan kesehatan, asuransi dan bisa saja pensiun juga dipikirkan dengan dipotong dari gaji pegawai dan kontribusi pemberi kerja.[5]

Yang membedakan antara PNS dan pegawai Publik publik non-PNS antara lain; dalam hal pengangkatan sebagai pegawai. PNS[6], diangkat berdasarkan keputusan administrasi negara, sedangkan pengangkatan pegawai publik non-PNS berdasarkan kontrak kerja. Jika terjadi perselisihan, maka untuk PNS akan masuk menjadi wilayah PTUN, sedangkan pegawai publik masuk ke dalam wilayah peradilan perselisihan hubungan industrial.

Model kepegawaian seperti di Jerman memang coba diadopsi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Akan tetapi, sayangnya konsep pegawai publik non-PNS diterjemahkan berbeda dengan konsep Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pegawai publik non-PNS (sebagaimana dijelskan diatas) dengan PPPK yang hanya dikontrak setiap tahun oleh intansi pemerintah. Dengan konsep PPPK, profesionalitas birokrasi masih akan sulit tercapai.[7]

Melembagakan pengalaman yang telah ada

Bawaslu sendiri memiliki model kepegawaian selain PNS yang telah lama dipraktekan dalam mendukung kerja-kerja pengawasan dan penyelesaian sengketa pemilu. Untuk divisi pengawasan yang dipinpin oleh salah seorang komisoner Bawaslu  dibantu oleh seorang tenaga ahli dan enam orang tim Asistensi diluar tenaga birokrat yang berstatus PNS. Sementara untuk divisi Hukum dibantu oleh satu orang tenaga ahli dan tiga orang tim asistensi. Berdasarkan pada pengalaman dukungan kerja yang dilakukan oleh tenaga ahli dan tim asistensi, memunculkan beberapa evaluasi mengenai pola dan mekanisme kerja, rekrutmen, dan pengembangan kapasitas yang lebih baku.

Dengan model yang telah ada saat ini, dapat saja Tenaga Ahli dan Tim asistensi yang ada selama ini didorong untuk menjadi semacam pegawai publik non-PNS yang dapat mengisi posisi-posisi yang membutuhkan pegawai tetap, dimana perekrutannya didasarkan pada keahlian dan sistem penggajiannya didasarkan pada prestasi. Penyusunan peta jalan kebutuhan sumberdaya manusia harus mulai disusun berdasar pada aspek kebutuhan personel berdasarkan kewenangan Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu dan khususnya sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan penyelesaian sengketa pemilu.

Dalam hal penyusunan peta jalan kebutuhan personel berdasar kewenangan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan penyelesaian sengketa pemilu, berberapa hal yang bisa mulai dilakukan diantaranya:

  1. Melakukan pemetaan sengketa pencalonan di Pilkada 2017.
  2. Merumuskan agenda tindak lanjut kepada Bawaslu Propinsi/Panwaslu yang menangani sengketa dan Stakeholder lainnya untuk tindak lanjut keputusan yang dikeluarkan Bawaslu/Panwaslu.
  3. Membuat kajian atas putusan Bawaslu Propinsi/Panwaslu sebagai bahan evaluasi dan perbaikan SOP penanganan sengketa.
  4. Perbaikan SOP penanganan sengketa.
  5. Pengembangan kapasitas SDM divisi hukum (analisis, kajian, dan komunikasi publik).
  6. Pembangunan dan pengembangan sistem database keputusan dan peraturan pemilu, termasuk membangun protokol transparansi divisi hukum dan peyelesaian sengketa pemilu.
  7. Pengembangan model kerjasama dibidang riset dengan stakeholder kepemiluan mengenai penyelesaian sengketa pemilu.


[1] Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu; Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Jakarta, 2010. hlm. 37.

[2] Ibid. hlm.38.

[3] Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Prancis, Salamba Humanika, 2009. hlm. 20-24

[4] Umumnya diketahui bahwa seorang PNS mendapatkan gaji, berbagai tunjangan dan dana pensiunya ditanggung sepenuhnya oleh negara seperti yang terjadi di Jerman, sedangkan di Thailand, Malaysia dan Filipina untuk dana pensiunnya sebagian merupakan kontribusi pegawai dan sebagian lainnya ditanggung oleh negara sebagai pemberi kerja. Sedangkan besar beban yang ditanggung negara untuk dana pensiun PNS bervariasi, misalnya 3% di Thailand dan masing-masing sebesar 12% di Malaysia dan Filipina. Sedangkan untuk PNS Indonesia, untuk dana pensium murni berasal dari potongan gaji PNS itu sendiri sebesar 8% tiap bulannya dan tidak ada kontribusi tambahan dana pensiun dari negara. Keistimewaan liannya dari PNS adalah seumur hidup dan tidak dapat dipecat atau PHK seperti yang terjadi pada pegawai di sektor privat. Setidaknya syarat pemecatan seorang PNS bisasanya sangat sulit. Lebih lanjut tentang beban negara dan kesejahteraan PNS lihat Subianto, Achmad, Setelah Pensiun “Merumuskan Kembali Model Kesejateraan Bagi Purna Karya Pegawai Negeri Sipil Indonesia”, RBI Reseach, cetakan edisi II, maret 2006, hlm. 101-120. Dalam Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu; Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Jakarta, 2010.

[5] Pipit R. Kartawidjaja, Administrasi Negara atau Administrasi Pemerintah? “Perbandingan Administrasi negara Jerman dan Indonesia dalam Hubungannya dengan RUU Administrasi Pemerintahan. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi 31 Th. 2009. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, hlm. 101. Dalam Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu; Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Jakarta, 2010.

[6] Oleh karena posisinya yang istimewa seorang PNS Jerman memiliki hak Allementasi (honor/penghargaan) dari negara, dimana honornya diberikan setiap tanggal pertama di awal bulan. Hal ini berarti PNS diberikan honor terlebih dahulu sebelum bekerja. Sedangkan untuk pegawai publiknon-PNS menerima gaji pada akhir bulan, yang berarti bekerja terlebih dahulu baru kemudian mendapatkan haknya. Untuk masalah asuransi dan pensiun seorang PNS, sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Sedangkan untuk pegawai publik non-PNS, separuh ditanggung oleh negara dan separuhnya lagi ditanggung oleh majikan/pemberi kerja. Lebih lanjut dapat dilihat pada Ahmad Subianto, Setelah Pensiun”Merumuskan Merumuskan Kembali Model Kesejateraan Bagi Purna Karya Pegawai Negeri Sipil Indonesia”, RBI Reseach, cetakan edisi II, maret 2006, hlm. 101-120. Dalam Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu; Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Jakarta, 2010.

[7] Wawancara dengan Pipit R. Kartawidjaja, Peneliti Senior SPD, 20 Oktober 2016.

Ikuti tulisan menarik Erik Kuraniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler