x

Seorang jamaah membaca Al Quran sambil menunggu waktu salat qiyamul lail di Masjid Habiburrahman, Bandung, Jawa Barat, 25 Juni 2016. Seluruh jamaah membaca 3 juz Al Quran per malam hingga khatam di hari ke 10. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

ilham ds

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Al-Maidah 51: Tidak Boleh Berkawan dengan Non-Muslim???

Penjelasan bahwa Al-Maidah 51 adalah ayat berkonteks perang, sehingga tidak tepat jika diberlakukan dalam situasi damai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam memahami ayat Al-Quran, kita mesti jeli dan membacanya secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong. Misal, ayat al-Maidah 5:51 menyatakan:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) [auliyaa]; mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka...

(Catatan: terjemahan di atas adalah versi Depag terbaru. Dalam terjemah Al-Quran Depag versi lama, kata “auliyaa” diterjemahkan menjadi “pemimpin-pemimpin[mu]”.)*

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi, di surah yang sama, Al-Maidah 5:82, dinyatakan begini:

"Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya [mawaddah] dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani". Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri.”

Nah lho, bagaimana ini? Di Al-Maidah 51, Allah melarang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia. Tetapi, di Al-Maidah 82, Allah justru menyatakan bahwa orang Nasrani paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman.

Dan, yang lebih seru, kata “persahabatan [umat Nasrani]” dalam Al-Maidah 82 itu adalah terjemahan dari kata Arab “mawaddah”, yang juga berarti hubungan cinta-kasih. Kata “mawaddah” yang sama digunakan Al-Quran untuk menggambarkan hubungan cinta-kasih antara suami-istri: “Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya [litaskunuu ilaiha], dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih [mawaddah] dan sayang [rahmah].” (Al-Quran, S. Ar-Rum 30:21).

Jadi, Allah menggunakan kata yang sama --mawaddah (cinta kasih)-- untuk menggambarkan hubungan cinta suami-istri (QS Ar-Rum 30:21) dan untuk menggambarkan hubungan orang Islam dan orang Nasrani (QS Al-Maidah 5:82)! Tapi, di Al-Maidah 51, orang beriman dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia. Bagaimana ini?

Mungkinkah ayat Al-Quran saling bertentangan? Buat orang Islam, jelas tidak mungkin! Lantas, bagaimana memahami dua ayat yang tampak kontradiktif ini?

(Logika gampang-gampangannya sih gini: walau saling cinta, suami-istri saja bisa ribut, benci, dan cerai juga tokh? Bisa cerai selamanya, tapi bisa juga rujuk lagi. Jadi, mawaddah [cinta-kasih] antarumat beragama pun fluktuatif tergantung situasi dan kondisi).

Titik terang akan muncul ketika kita membaca Al-Quran Surah Al-Mumtahanah [60]:8-9 ini:

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu [ta-wallau] orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan [yatawallahum], maka mereka itulah orang-orang yang lalim.” (QS 60: 8-9)

(Catatan: tawallau/yatawallahum [kata kerja] = kamu/dia/mereka menjadikan (mereka) sebagai kawan. wali [jamak: awliyaa; kata benda] = kawan.) 

Jadi, dari QS 60:8-9 ini, kita tahu bahwa larangan berteman setia dengan nonMuslim dalam Al-Maidah 51 hanya berlaku jika nonMuslim itu memerangi umat Muslim karena alasan agama/dan atau karena mereka mengusir umat muslim dari negerinya sendiri.

Jadi, dari sini kita tahu bahwa larangan dalam QS Al-Maidah 51 itu bukan larangan yang berlaku umum, tetapi larangan yang berlaku khusus hanya dalam situasi ketika umat Muslim diperangi nonMuslim.  

Jika kita menelaah kitab-kitab tafsir, akan semakin jelas bahwa ayat Al-Maidah 51 itu memang turun dalam konteks perang (lihat misalnya artikel Prof KH Nadirsyah Hosen ini: “Awliya”). Jadi, sebenarnya aneh sekali jika ayat Al-Maidah 51 yang berkonteks perang itu dipakai dalam suasana damai. Karena, memaksakan menerapkan larangan QS Al-Maidah 51 dalam situasi damai justru akan bertabrakan dengan QS Al-Maidah 82 dan QS Al-Mumtahanah 60:8-9.   

Dalam ilmu fikih dan ushul fikih, penting sekali mengetahui illat: motif/alasan penetapan hukum, agar kita tidak keliru menggeneralisasi perintah/larangan khusus, atau sebaliknya: keliru mengkhususkan perintah/larangan umum. 

Untuk memahami soal ini lebih dalam, berikut ini tulisan berharga dari Prof KH Nadirsyah Hosen, profesor hukum Islam di Monash University Australia, sekaligus rais syuriah PCI NU Australia-New Zealand. Beliau ini putra alm. KH Ibrahim Hosen, penggagas dan ketua Komisi Fatwa MUI periode 1980-2000:

"Logika dan Illat Hukum"

wallahu a'lam 

ilham ds (penerjemah dan editor lepas di sebuah penerbit buku-buku Islam tanah air)

________________

*Catatan: di terjemah Al-Quran Depag versi lama, kata “auliyaa” diterjemahkan menjadi “pemimpin-pemimpin[mu]”; di terjemah Al-Quran Depag versi terbaru, “auliyaa” diterjemahkan menjadi “teman setia[mu]”. Simak alasannya di sini: Penjelasan Kenapa 'Awliya' Pernah Diterjemahkan 'Pemimpin' di Masa ORBA | by @Nadir_Monash | oleh Prof KH Nadirsyah Hosen. 

** Lihat juga: Al-Maidah 51: MUI vs Buya Syafii Maarif 

*** LIhat juga: Apalah arti lidahku berseru Allahu Akbar, jika...

Ikuti tulisan menarik ilham ds lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler