x

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cinta dari Perempuan-Perempuan Berhati Tegar

Merayakan cinta tanpa syarat setiap hari

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak sekali pun nenek Sari mengeluh lelah tentang Galuh, cucunya. Padahal bangku yang tersedia di ruang rawat itu sungguh tidak nyaman untuk digunakan sebagai tempat tidur. Entah sudah berapa kali Galuh harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena kondisinya memburuk. Terakhir dirawat, Galuh harus menetap di rumah sakit lebih dari satu bulan. Kala itu, jamur yang merupakan salah satu infeksi penyerta HIV sudah menjalar hingga ke jantung Galuh. Buruknya kondisi Galuh membuat nenek Sari harus memberikan seluruh perhatiannya untuk pemulihan Galuh. Nenek Sari tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Baginya yang terpenting saat ini adalah pemulihan Galuh, cucu semata wayangnya itu.

 

Galuh hanya seorang anak yatim piatu berusia 12 tahun. Ia terlahir dengan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuhnya. Galuh tak pernah bermimpi untuk lahir dengan keadaan tersebut. Bila ia bisa memilih, tentu saja ia akan memilih dilahirkan dari seorang ibu yang sehat yang dengan penuh kasih sayang membesarkannya. Namun, Galuh tak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Nenek Sari, nenek berusia 60 tahun itu dengan sepenuh hati mengurus segala keperluan Galuh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kasih sayang yang ditunjukkan oleh nenek Sari kepada Galuh rasanya tak kalah dari kisah cinta dan drama legenda Romeo dan Juliet. Saat dunia merayakan kasih sayang hari ini, maka kasih sayang nenek Sari serta banyak nenek lain kepada cucu mereka pun mungkin harus dirayakan. Berdasarkan data pendampingan yang dilakukan oleh Lentera Anak Pelangi, setidaknya ada 70 persen anak HIV di Jakarta yang diasuh oleh nenek sebagai pelaku rawat utama. Mereka adalah nenek-nenek yang mengabdikan hidup mereka demi pengasuhan cucu mereka yang HIV.

 

Seperti kebanyakan nenek lainnya, nenek Sari tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Penghidupannya sehari-hari diperoleh lewat dukungan dari keluarga besar. Uang yang diterimanya harus dengan teliti digunakan, dibagi untuk keperluan dapur dan keperluan kesehatan Galuh. Nenek Sari tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah untuk pengasuhan Galuh. Satu-satunya yang membantu meringankan beban itu adalah adanya sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Dengan kartu yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pengobatan Galuh selama dirawat di rumah sakit tidak dikenakan biaya apapun.

 

Sayangnya, perawatan Galuh tak hanya berhenti di rumah sakit saja. Sepulang dari rumah sakit, perawatan lanjutan harus dilakukan di rumah. Nenek Sarilah yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam tahap ini. Ia harus memastikan bahwa jumlah obat anti retrovirus yang harus diminum Galuh setiap dua belas jam sekali tersedia untuk sebulan ke depan. Selain itu, ia harus mengupayakan agar tabung oksigen yang penuh tersedia di ruang tamu sehingga Galuh bisa bernapas dengan lega saat paru-parunya mulai sesak. Nenek Sari pula yang bertanggung jawab untuk membawa Galuh menggunakan angkutan umum setiap bulan untuk berobat ke RSCM dari rumah mereka di Cilincing, Jakarta Utara. Sungguh tak mudah apa yang harus dijalani oleh nenek Sari.

 

Nenek Sari tak pernah merasa sendirian. Dalam pertemuan kelompok dukungan sebaya yang digagas oleh Lentera Anak Pelangi, ia bisa bertemu dengan Nenek Ani, Nenek Hamid, Nenek Juli, Nenek Yola, dan nenek yang lain. Pertemuan rutin setiap bulan itu menjadi wadah bagi mereka untuk bisa berbagi, dan saling menguatkan. Mereka dibekali dengan informasi pengasuhan serta perawatan anak HIV di rumah. Selain itu, ada pula pelatihan terkait keterampilan untuk pemberdayaan bagi nenek. Bukan hanya sebagai teman senasib, para nenek ini kemudian menjadi sebuah keluarga bagi nenek yang lain.

 

Hingga tahun 2016 jumlah anak dengan HIV di Indonesia yang pernah masuk dalam perawatan dan dicatat oleh Kementerian Kesehatan menembus angka delapan ribu anak (Ditjen P2PL, 2016). Angka ini masih jauh lebih sedikit dibanding angka 190.000, jumlah orang dewasa yang terinfeksi HIV. Namun angka anak HIV tersebut bukan berarti dapat dikesampingkan demi angka yang lebih besar. Program dukungan dari pemerintah sudah seharusnya mulai memperhatikan kelompok rentan seperti anak. Dukungan dalam bentuk penyediaan obat antiretroviral tidaklah cukup. Selain itu dukungan psiksosial dibutuhkan, tidak hanya bagi anak, tapi juga bagi para pelaku rawat.

 

Nenek Sari, Nenek Ani, Nenek Hamid, Nenek Juli, dan Nenek Yola termasuk beruntung karena ada lembaga yang memberi dukungan bagi cucu mereka. Tapi ada banyak nenek, para perempuan berhati tegar lainnya di luar Jakarta yang juga mengabdikan hidup mereka bagi cucu mereka yang HIV. Bagi mereka, cinta untuk cucu tak perlu menunggu hari kasih sayang.

 

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler