x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maldemokrasi Elit Penguasa

Demokrasi seturut dengan kebebasan berpendapat. Namun ketika kebebasan berbicara dikontrol oleh kekuatan kekuasaan, maka yang terjadi adalah maldemokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wacana Menteri Agama Lukman Hakin Syaifudin tentang setifikasi pembicara khotbah Jum'at sangat menarik. Wacana ini, tentu saja mengingatkan kita tentang seseorang atau masyarakat yang dibatasi hak pendapatnya. Persis, tentu saja seperti masa Orde Baru yang melarang pemikiran PKI sampai kepada masyarakat. Baik melalui buku, makalah, film atau orasi. Wacana ini tentu juga setarikan nafas dengan kasus pemblokiran situs-situs Islam yang dituding menyebarkan hoax atau berita palsu.

Wacana sertifikasi, seperti yang dikatakan Lukman Hakim adalah untuk mengontrol hal-hal yang berisi konfrontatif dan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Wacana ini mungkin saja sah dan menarik karena memiliki dimensi politik penataan (sepihak). Namun, Kontrol terhadap hak berbicara atau menyampaikan pendapat dengan alasan apapun dalam makna demokrasi seungguhnya adalah sebuah maldemokrasi dan tercela.

Celaan itu dalam demokrasi kita, tentu saja memiliki sudut sejarah secara empiris. Di mana, kita semua tahu -masyarakat pernah mengalami situasi yang menegangkan karena adanya kontrol penguasa terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat atau mengakses pengetahuan yang tidak direstui penguasa. Phobia itu ditanamkan sedemikian dalam, sehingga menjadi realitas semu yang mengaburkan pengetahuan obyektif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada masa Orde Baru, pemerintah saat itu getol sekali memburu buku-buku yang berbau komunisme. Bau di sini bukan saja bermakna penyebaran paham komunisme praksis, tetapi juga buku-buku yang dinilai memiliki kaitan dengan komunisme masa lalu.

Paling populer di masa itu adalah pelarangan dan penyitaan buku-buku sastra karya Pramodya Ananta Toer. Seperti banyak orang mahfum saat ini, buku-buku Pramudya seperti tetralogi Bumi manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca bukanlah buku yang mengajarkan tentang komunisme, tetapi lebih memiliki pesan humanisme universal.

Pemerintah saat itu, melarang semua buku Pram karena ia adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang beafiliasi ke PKI. Tegangan itu kendor setelah suskesnya gerakan mahasiswa membawa era Reformasi di tahun 1998 yang menempatkan demokrasi sebagai sudut pandang baru kita.

Fenomena ini tentu bukan hal baru. C. Wright Mills, sosiolog Amerika Serikat, sudah membedahnya di dalam bukunya yang populer di kalangan sosiologi kritis, The Power Elite (1956). Munculnya kelas elit penguasa seperti militer, polisi, penguasaha dan politisi sekaligus menghadirkan tindakan-tindakan yang melahirkan upaya kontrol dari elit penguasa secara halus dalam demokrasi.

Jadi upaya kontrol terhadap kebebasan berpendapat atau beropini masyarakat oleh elit penguasa adalah kelaziman dosa yang mungkin agak khilaf dilakukan atau sebaliknya dilakukan dengan kesadaran tertentu demi tujuan tertentu di luar yang bersifat retorika yang biasa disampaikan elit penguasa.

Mills menjelaskan kondisi kelompok masyarakat yang terkontrol oleh elit penguasa sebagaimana ia tulis, "realisasi sebuah opini dalam aksinya dikendalikan oleh otoritas yang mengatur dan mengontrol saluran aksi tersebut" (The realisation of opinion in action is controlled by authorities who organise and control the channels of such action).

Mills juga menandai realitas di dalam kelompok massa seperti apa yang ia uraikan sebagai kondisi seperti ini, "Massa tidak memiliki kebebasan menentukan (nasib-tindakan) karena tidak punya wewenang, sebaliknya agensi dari lembaga yang punya wewenang menekan massa, mengurangi segala bentuk kebebabasan tersebut yang bisa terjadi dalam opini-opini yang dilakukan melalui diskusi (The mass has no autonomy from institutions; on the contrary, agents of authorised institutions penetrate this mass, reducing any autonomy it may have in the formation of opinion by discussion).

Dalam wacana Menteri Agama atau kasus pemblokiran oleh Menkominfo beberapa waktu lalu membuktikan situasi Mills di atas. Maka, hal demikian bisa kita artikan sebagai tindakan penyumbatan yang bertolak belakang dengan prinsip demokrasi. Karena tentu saja, dalam demokrasi sesungguhnya tak mengenal penyumbatan. Kontrol penguasa terhadap hak berpendapat adalah pengingkaran terhadap hak dasar manusia.

Nalar demokrasi dan kebebasan berpendat bahkan sudah disadari sejak masa sebelum masehi. Euripides (408-406 SM) dramawan Yunani (misalnya) mengatakan kebebasan sejati adalah, ketika orang-orang bebas lahir, bebas bicara dan berpendapat di ruang publik.

Dalam deklarasi Hak Asasi Manusia, 26 Agustus 1789 (Perancis), misalnya kita mendapati kalimat meyampaikan ide dan pendapat adalah hal yang paling istimewa dari hak-hak manusia. Setiap warga negara bebas berbicara, menulis dan mencetak. Hal ini pula yang menginspirasi UU Pers Tahun 1999.

Toh, demikian, sebaiknya kebebasan berpendapat tidak disertai fitnah terhadap kelompok-kelompok tertentu. Bukankah setiap agama juga melarang keras tindakan itu? Tetapi, bukankah kita juga sudah sepakat dengan nalar demokrasi?

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler