x

Wasit Lee Mason memberikan kartu merah kepada pemain Everton, Gareth Barry dalam laga Liga Primer Inggris di London, 24 Oktober 2014. Barry menerima kartu kuning kedua sehingga wasit memberikannya kartu merah. Reuters/Dylan Martinez

Iklan

Eddi Elison

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax dalam Sepak Bola

Hoax pun sudah lama bersarang di dunia sepak bola.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Virus hoax, saat ini berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat bukan “penyakit masyarakat” baru. Dalam sepak bola, hoax pun sudah lama bersarang. Hanya namanya saja yang dikategorikan aktual dan “keren”. Dulu sebelum kata “hoax” populer, orang bola menyebutnya sebagai “tipu-tipuan”. Person yang paling banyak melakukan tipu-tipuan itu adalah para pemain atau wasit.

Misalnya, ada pemain yang tersenggol sedikit, begitu jatuh langsung berguling-guling, sambil meringis, seakan-akan di“tackle” berat. Tentu dengan harapan hoax fisik itu dapat mengibuli wasit, sehingga lawannya terkena kartu kuning atau merah. Bahkan jika terjadi di garis pinalti dan wasit tak menguasai peraturan, bukan mustahil timnya dapat hukuman tendangan pinalti.

Hoax bukan saja telah menipu wasit, tapi juga penonton. Tipu-tipuan begini, bisa “berniat” baik sebagai spirit tim untuk menang, namun bukan mustahil merupakan hoax berspirit duit, bila dikaitkan dengan match-fixing (atur mengatur skor).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wasit juga bisa melakukan yang sama, dicontohkan dalam menentukan pinalti. Bisa saja karena kekurangan pahaman tentang ketentuan yang harus dikenakan hukuman pinanti, tapi bisa pula demi kontestasi uang.

Dalam konteks hoax itu, seiring dengan perkembangan teknologi persepakbolaan dunia, bukan saja mereka berada di lapangan yang melakukan hoax, tapi menjalar ke semua aparat pertandingan di luar lapangan, dengan cara mempengaruhi pemain/wasit melakukan hoax fisik di lapangan hijau. Klub juga seperti dua tahun lalu melakukan hoax, menyembunyikan kontrak pemain, bahkan juga terkait masalah keuangan, bahkan legalitasnya.

Hoax sepak bola pada dasarnya telah terjadi sejak berdirinya Football Association di Inggeris tahun 1863. Untuk menghindari hoax, Asosiasi Sepak Bola kemudian menetapkan peraturan mulai tahun 1866 dengan paraturan tentang off-side, disusul hands-ball, hanya kiper yang menggunakan tangan, corner kick dan lain sebagainya dan terus berkembang sampai seperti yang diterapkan saat ini.

Namun demikian hoax di lapangan masih saja terjadi, meskipun wasit mulai menggunakan pluit (sempritan) di tahun 1876, apalagi sesudah dilaksanakan turnamen Piala Asosiasi, sehingga 1882 dibentuk International Board (IB), terdiri dari 10 orang (masing-masing 2 orang wakil dari Asosiasi Inggeris Raya + 2 wakil FIFA), selanjutnya menetapkan segala bentuk peraturan permainan plus penerapannya. IB yang merupakan Mahkamah Tertinggi FIFA terus berusaha merevisi dan menetapkan ketentuan-ketentuan baru, sehingga pada 1885 ketika dilaksanakan sepak bola profesional dan kompetisi mulai dilaksanakan (1888), “wajah sepak bola” semakin nyata sebagai olahraga yang menegakkan sportivitas.

Bahwa hoax merupakan perbuatan sangat cela, karena mengandung kebohongan, kepalsuan, bahkan manipulatif dan fitnah, telah diakui pemerintah dan masyarakat luas, apalagi setelah sosial media berkembang pesat. Oleh karena itu rekan saya Todung Mulya Lubis memprediksi hoax bisa saja dianggap sebagai kenormalan baru kelak.

Mengutip pendapat seorang pengamat, Todung menyebut pula, bahwa produsen hoax bisa siapa saja, bahkan unur-unsur pemerintah, sebagai pelaksanaan rencana strategis, berdalih kepentingan publik.

Hoax di sepak bola, produsennya pada dasarnya bukan PSSI sebagai lembaga, karena terkait erat dengan statuta FIFA/AFC/AFF/PSSI yang berkonsekuensi berat. Biasanya dilakukan oleh oknum pengurus, demi semangat kelompok dengan menggunakan person aparat pertandingan yang bisa dijebak. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari “permainan” seperti selama ini terjadi, sehubungan dengan “bisnis gol”, sepak bola gajah, taruhan dan lain-lain.

Sebenarnya sama seperti hoax yang terjadi dan dirasakan masyarakat luas, hoax di sepak bola juga dapat kategorikan sebagai tindak pidana. Namun harus diakui untuk dapat membuktikannya sama seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Konon pula kebanyakan pengurus PSSI yang lalu, dikuasai para tokoh yang integritas persepakbolaannya sangat tipis, sehingga terjadi pembiaran terhadap hoax tersebut.

Efek hoax bukan saja menyebabkan prestasi persepakbolaan nasional ambruk di kancah global, tapi juga PSSI kehilangan kepercayaan dari komunitas sepak bola.

Dengan terpilihnya kepengurusan baru PSSI yang dikomandani Letjen TNI Edy Rahmayadi, apalagi menyerahkan pimpinan Komisi Banding di pundak Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia Todung Mulya Lubis, tokoh anti korupsi dan hoax, penyemaian dan peredaran hoax di persepakbolaan nasional semoga dapat dicegah, seperti ketika ia menjadi Ketua Komite Etik di era awal kepengurusan Djohar Arifin Husin (2011), yang memecat 4 anggota exco (La Nyalla Mattalitti, Tony Apriliani, Roberto Rouw dan Erwin Dwi Budiawan), karena melanggar etika.

Semoga! ***

Eddi Elison

Pengamat Sepakbola Nasional

 

Ikuti tulisan menarik Eddi Elison lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB