x

Iklan

Susianah Affandy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ragam Masalah Anak Disabilitas

Anak yang terlahir dengan menyandang disabilitas sangat rentan dan menghadapi resiko hidup di bawah kemiskinan di bandingkan anak tanpa disabilitas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Susianah Affandy

Ketua Bidang Sosial, kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)

Tiap kali penulis menyebut istilah “difabel atau disabilitas”, banyak orang mengeryitkan dahi sebagai tanda tidak mengerti istilah tersebut sampai akhirnya bertanya lugas, “apa maksudnya”. Istilah disabilitas baru digunakan secara resmi sebagai nama UU Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Masyarakat lebih “familier” dengan istilah “penyandang cacat”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam diskusi penulis dengan kelompok disabilitas, mereka tersinggung mendapat sebutan “penyandang cacat”. Mereka protes disebut “cacat” karena itu identik dengan “rusak” atau “sakit” untuk tubuh. Mereka menyebut dirinya sebagai orang sehat dan tidak sakit. Kondisi fisik dan/atau mental yang berbeda dengan masyarakat lainnya mereka sebut sebagai bagian dari keanekaragaman ciptaan Tuhan di muka bumi.

Stigma

Sebelum membahas  ragam persoalan anak disabilitas, UU 8/2016 pasal 1 menyebutkan penyandang disabilitas adalah setiap individu yang mengalami keterbatasan dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Ragam disabilitas menurut UU 8 tahun 2016 ini terdapat 4 macam meliputi penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental dan penyandang disabilitas sensorik. 

Kultur di masyarakat khususnya di pedesaan masih banyak yang memberi stigma buruk terhadap anak yang lahir dengan menyandang disabilitas. Di banyak tempat, anak-anak yang terlahir dengan menyandang disabilitas sangat rentan dan menghadapi resiko hidup di bawah kemiskinan di bandingkan anak-anak yang terlahir tanpa disabilitas. Laporan Unicef (2013) menyebutkan di banyak Negara, respon terhadap situasi anak penyandang disabilitas mengalami keterbatasan pada institusionalisasi dengan pilihan di tinggalkan atau diterlantarkan. Keterbatasan pengetahuan masyarakat menyebabkan anak disabilitas seringkali ditempatkan “di belakang”, di sebunyikan dari sorotan warga karena dianggap aib keluarga.

Masyarakat di daerah-daerah pedesaan dan terpencil masih memelihara keyakinan bahwa anak disabilitas lahir karena “kutukan”. Bagi masyarakat primitive, masih banyak dijumpai aksi pembuangan anak-anak penyandang disabilitas. Anak disabilitas di beberapa daerah masih banyak yang dipasung tanpa jaminan perlindungan dari pihak keluarga dan masyarakat. Stigma buruk hadirnya anak disabilitas dalam keluarga menyebabkan mereka sangat beresiko mengalami pelecehan, penghinaan dan pelabelan negative terkait dengan kondisi disabilitasnya.

Akses Pendidikan dan Kesehatan

Laporan Unicef (2013) memaparkan jika anak-anak yang hidup dalam kemiskinan sangat sulit mengakses dan menerima manfaat pendidikan dan kesehatan, pun demikian resikonya dua kali lipat jika dalam keluarga miskin terdapat anak-anak yang dilahirkan dengan disabilitas. Anak miskin dengan disabilitas sangat kecil kemungkinannya bisa mengenyam pendidikan dan manfaat kesehatan.

Anak miskin dengan disabilitas mendapat tantangan lainnya dibandingkan anak yang (hanya) terlahir dari keluarga miskin. Tantangan yang dihadapi anak disabilitas sejak lahir, atau sejak Balita adalah ketidak mampuan mereka akibat keterbatasan fisik/intelektual/mental/sensorik dan juga berbagai rintangan dalam masyarakat itu sendiri.  

Masalah disabilitas menyebabkan anak-anak menghadapi hambatan untuk mengenyam pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan yang ada selama ini masih belum “akses” bagi anak penyandang disabilitas. Dulu kita mengenal konsep belajar khusus bagi anak disabilitas dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah inilah dalam pandangan penulis telah menciptakan “pemisahan” dan membentuk mental eksklusif bagi anak disabilitas dan juga bagi masyarakat. Sejak dini tertanam dalam diri anak disabilitas bahwa mereka “berbeda” dan dibedakan. Mental “merasa dibedakan” tersebut di bawa terus oleh anak disabilitas sampai mereka menginjak dewasa. Wal hasil tanpa disadari, selama ini kita telah memisahkan anak disabilitas dengan anak-anak lainnya, tak hanya di lingkungan sekolah namun juga dalam pergaulan sehari-hari.

UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberi solusi bagi aksesibilitas di bidang pendidikan. Pada bagian penjelasan pasal 15 UU 20/2003 disebutkan bahwa yang dimaksud pendidikan khusus adalah pendidikan yang peserta didiknya memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan untuk mengikuti pendidikan dalam satu lingkungan secara bersama-sama. Sitem Pendidikan yang akses bagi anak disabilitas secara operasional dijabarkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa. Pertanyaannya, jika di masa lalu SLB hanya ada di kota Kabupaten, apakah pendidikan inklusi ini bisa diterapkan di semua Kecamatan se-Indonesia sebagaimana mandat Permendiknas 70 tahun 2009 tersebut?

Pemerintah Daerah seharusnya menyiapkan sarana dan prasana yang dibutuhkan bagi anak-anak peserta didik sesuai kebutuhan masing-masing disabilitas (penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental dan penyandang disabilitas sensorik). Selain sarana dan prasarana, prasyarat pendidikan inklusi adalah tersedianya tenaga pendidik yang memiliki pemahaman dan metode pengajaran kepada anak disabilitas. Jika Pemerintah bisa menjawab semua pertanyaan tersebut sebagaimana mandat UU 20/2003 dan Permendiknas No 70/2009, penulis optimis hak anak disabilitas di bidang pendidikan akan terpenuhi.

Selain masalah akses pendidikan, anak disabilitas masih mengalami masalah dalam mengakses layanan kesehatan. Data Riset Kesehatan Dasar (2007) menyebutkan sebanyak 20% penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Laporan WHO menyebutkan bahwa sebagian besar anak menyandang disabilitas disebabkan karena gizi buruk, kemiskinan serta minimnya pengetahuan tentang kesehatan. Kondisi keterbatasan yang dialami anak disabilitas menyebabkan mereka rentan dengan permasalahan kesehatan.

Partisipasi Sebagai Warga Negara

Inilah masalah utama yang dihadapi penyandang disabilitas. Apakah kita pernah bertanya, bagaimana karir penyandang disabilitas ketika dewasa? Berapa instansi, perusahaan, perguruan tinggi dan lainnya yang “mau menerima” penyandang disabilitas sebagai pekerjanya?

Kondisi disabilitas menyebabkan kelompok masyarakat ini mengalami diskriminasi di ruang publik. Partisipasi untuk tumbuh dan berkembang sejak usia dini tercerabut oleh adanya rintangan yang ciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Partisipasi dalam lingkungan masyarakat ketika anak-anak ini menjadi dewasa juga tidak terpenuhi. Padahal konstitusi kita mengatur semua warga Negara berhak berpartisipasi di ruang publik. UUD 1945 pasal 27 ayat (2) mengatur tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Padal 28 B ayat (2) mengatur setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Pasal 28 C ayat (1) mengatur hak anak atas pengembangan diri, memperoleh manfaat pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup. Padal 28 H ayat (1) menyatakan setiap warga Negara berhak hidup sejahtera. Pembahasan tentang hak-hak warga Negara lainnya dijabarkan dalam pasal 28 I, pasal 31 (ayat 1,2 dan 4), pasal 34 (ayat 1, 2 dan 3). Selain UUD 1945, Perlindungan Anak Disabilitas diatur dalam UU 23/2002 dan UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak.

Mangakhiri tulisan ini, penulis teringat kisah seseorang yang ingin memberikan partisipasinya pada Pemilu tahun 2009 silam. Petugas TPS memberi uang recehan kepada orang tersebut karena dipikirnya seorang pengemis. Memilukan, tapi demikian adanya perilaku masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Wallahu’alam

Sumber Foto : http://www.hipwee.com/list/mereka-adalah-anak-anak-luar-biasa-yang-berkebutuhan-khusus-berhentilah-menyebut-mereka-cacat-atau-idiot/

Ikuti tulisan menarik Susianah Affandy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler