Kualitas vs Kuantitas
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBARANGKALI ada betulnya jika orang lebih percaya pada kualitas daripada kuantitas. Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw. juga mensinyalir hal tersebut d
BARANGKALI ada betulnya jika orang lebih percaya pada kualitas daripada kuantitas. Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw. juga mensinyalir hal tersebut dengan mengilustrasikan bagaimana lemahnya keadaan umat yang unggul secara kuantitas, tetapi naif secara kualitas. Mengapa demikian? Karena kaum yang hanya memiliki modal kuantitatif, cepat atau lambat, akan gampang diayun-ambing oleh mereka yang bermodal besar secara ”kualitatif” meskipun mereka kecil adanya.
Andaikata ”pigura” tersebut digunakan untuk memfotret konstelasi umat Islam, akan bertemulah kita pada fakta bahwa umat Islam berada dalam lingkup kehidupan yang tertinggal dan terbelakang. Para ulama melansir hal ini sebagai sebuah akibat dari ketidakutuhan pemahaman umat terhadap ajaran Islam. Mengapa demikian? Karena ajaran Islam sesungguhnya sarat dengan perintah yang kondusif untuk memaslahatan umatnya. Ia merupakan ajaran yang diturunkan untuk rahmatan lilalamin yang perwujudannya harus dimainkan oleh umat Islam, tentu harus sarat dengan nilai kemaslahatan, baik kemaslahatan sosial, budaya, ekonomi, politik maupun teknologi, dan sebagainya.
Jika pada hari ini ditelusuri aktivitas keagamaan di Indonesia, dengan sendirinya—tanpa perlu bersusah payah, kita akan menyaksikan bagaimana semaraknya aktivitas sosial keagamaan di masyarakat, baik itu dalam dimensi ritualistasa maupun dalam sisi tradisi dan budaya. Bahkan dapat dikatakan, hampir tidak ada unsur kebudayaan yang tidak dibalut oleh nilai keisalaman. Pun dengan jumlah organisasi massa, lembaga pendidikan, yayasan, dll. tidak terbilang jumlahnya; dari yang bersifat tradisional hingga yang bersifat modern, ada. Demikian pula dengan aktivitas dakwah, lisan, tatap muka, dan kajian agama yang ditayangkan oleh media elektronik, diudarakan oleh stasiun radio, dan disebarkan oleh media cetak, semuanya berjalan semarak.
Jika diukur secara kuantitatif, semua itu bolehlah membanggakan. Akan tetapi, bagaimana hasilnya secara kualitatif? Kemudian, mengapa di tengah kesemarakan aktivitas keislaman, kemiskinan dan kebodohan justru masih menjadi jangkar untuk kehidupan mereka? Mengapa kok bisa terjadi semacam kondisi yang marjinal, antara kemuliaan ajaran Islam di satu sisi dan kepahitan hidup umatnya di sisi lain. Di mana salahnya? Apakah hal ini tidak berarti umat Islam baru berada dalam konteks ”mengamankan” ajaran Islam agar diri dan keturunannya selamat—dan belum berada dalam konteks ”mengamalkan” ajaran Islam?
Untuk itu, secara kuantitatif kita memang menjadi kampiun, tetapi secara kualitatif, kita nyaris kedodoran. Bahkan kalau mau belak-belakkan, kentara bahwa yang lebih mengamalkan ajaran Islam jusru mereka yang non-muslim. Salah satu contohnya, jika dilihat bagaimana Islam memerintahkan dengan tegas untuk menggunakan akal sehat, yang maju secara keilmuan justru bukan orang Islam. Padahal, banyak ayat mensyariatkan hal itu. Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah, berbunyi: Iqra, bacalah!
Secara harafiah, iqra dimaknai membaca, tetapi ia adalah sebuah kata yang memiliki akar kata yang luas, bermakna menghimpun. Dari konteks ini, kata itu kemudian mengandung makna menelaah, mempelajari, meneliti, mengetahui, dan sebagainya. Oleh sebab itu, para ahli tafsir mengartikan iqra dengan bacalah, telitilah, dalamilah, dan ketahuilah. Lalu, apa yang harus dibaca, diteliti, didalami, dan diketahui itu? Semua! Segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh dimensi kemanusiaan, tetapi apa arti semua ini untuk umat Islam sekarang?
Faktanya, kini ternyata tidak berarti apa-apa untuk umat Islam. Dahulu selama lima belas abad, umat Islam dapat menguasai dunia karena mengamalkan ajaran ini secara kaffah—untuh menyeluruh sehingga dunia ilmu pengetahuan dan teknologi ada dalam genggamannya. Akan tetapi, kini? Data Unesco pada 2007 memperlihatkan bagaimana di Jepang dalam 2 juta jiwa lebih penduduknya terdapat sekira 6.500 orang pakar. Bahkan, Israel lebih dahsyat lagi, dalam 2 juta jiwa lebih penduduknya ada sekira 16.000 orang pakar.
Bagaimana dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim? Belum ada yang meneliti atau memperkirakan banyaknya pakar di Indonesia. Entah lebih sedikit jumlahnya daripada negara Asia lainnya. Di India saja, dari 2 juta jiwa penduduknya yang mayoritas Hindu, mereka memiliki sekira 1.300 pakar. Kalau begini adanya, apa makna iqra di sini? Di mana umat Islam menempatkan sabda Rasulullah, Thollabul i’lmi faridhotun a’la kulli muslimin wa muslimah; mencari ilmu wajib untuk masing-masing mulsim dan muslimah.
Demikian juga dengan dimensi kehidupan lainnya, Islam mengajarkan kita agar tidak menyia-nyiakan waktu: Wal a’shri. Akan tetapi, nyatanya yang menjaga waktu, disiplin, tepat waktu adalah mereka yang notabene non-muslim.Alex Inkeles, sosiolog, dengan tegas mengatakan bahwa ciri manusia modern di Barat, tampak dari disiplin mereka mengelola waktu. Di Indonesia, hal yang populer justru jam karet alias molor. Mengapa persoalan seperti itu terabaikan? Entahlah!**
Oleh EDI WARSIDI
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Tantangan Mendidik Anak di Era Perubahan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBHobi yang Diedukasi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler